Kamis, 16 Januari 2014

Membongkar Mitos dalam Kampanye

Membongkar Mitos dalam Kampanye

Benni Setiawan  ;   Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta,
Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity
SINAR HARAPAN,  15 Januari 2014
                                                                                                                        


Musim kampanye Pemilu 2014 sudah dimulai. Partai politik (parpol) dan calon anggota legislatif (caleg) pun sudah mulai memperkenalkan diri kepada masyarakat.
Salah satu media memperkenalkan adalah dengan memasang foto (gambar) di spanduk, poster, dan baliho. Tidak aneh jika di sepanjang jalan, kita akan dimanjakan gambar-gambar “selibriti” baru di tengah semakin sumpeknya pemandangan di jalan raya.

Bahkan, caleg pun sudah tidak memedulikan tata kota, keindahan kota, dan tidak menghargai tumbuhan untuk berkembang dengan baik. Banyak caleg yang memasang gambarnya di pohon dengan cara memaku. Jika di daerah tersebut ada 100 caleg, setidaknya satu pohon dipaku 100 kali.

Namun, ada hal yang menarik jika kita mencermati gambar-gambar tersebut. Hampir seluruh caleg, selain memasang foto dan namanya, memasang “sesepuh” parpolnya. Caleg dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), pasti akan memasang foto Soekarno, Megawati, dan kini Jokowi. Bahkan, gambar Jokowi kini lebih banyak jika dibandingkan foto Ketua Umum PDIP.

Caleg dari Partai Demokrat (PD) memasang foto Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), baik sebagai presiden maupun Ketua Umum dan Dewan Penasihat Partai. Caleg dari Partai Amanat Nasional (PAN) sebagian memasang foto M Amien Rais dan Hatta Radjasa.

Caleg Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) memasang foto Prabowo Subiyanto sebagai calon presiden. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), memasang foto Wiranto-Hary Tanoesoedibjo (WIN-HT) sebagai capres dan cawapres.

Fenomena ini menunjukkan betapa calon pemimpin masa depan bangsa Indonesia tidak mampu lepas dari bayang-bayang pendiri atau “orang besar” yang telah berjasa kepada parpol. Mereka pun tampak tidak percaya diri.

Mereka masih terkungkung dalam ikatan primordial yang sempit. Gambar-gambar berukuran besar terpampang di dalam rumah dan di setiap sudut kantor dewan pimpinan pusat (DPP) hingga dewan pimpinan ranting.

Mitos

Banyaknya caleg yang memasang foto-foto sesepuh parpol tersebut tentunya tidak dapat dipisahkan dari kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia. Keadaan seperti ini mengutip pendapat Kuntowijoyo, termasuk dalam masyarakat tradisionalis yang masing mengagungkan mitos (kharisma).

Pengagungan terhadap mitos ini tentunya sangat membelenggu. Artinya, masyarakat akan semakin bodoh dan tidak berdaya dengan pilihannya.

Caleg sebagai salah satu calon pemimpin bangsa yang diharapkan mampu ngemong (mencerdaskan) masyarakat, ternyata menjadi “organisasi” yang menyesatkan dengan kepalsuan.

Mereka dengan bangga menyesatkan rakyat dengan cara-cara yang tak lazim. Caleg tidak lagi menjual program-program pencerahan bangsa, tetapi menjual kharisma seseorang yang belum tentu terbukti kebenarannya.

Mungkin benar apa yang pernah dikatakan Jason Jones dan Shân Wareing, “Bagaimana caranya agar kita tahu kapan politikus berbohong? Jawabnya setiap kali mereka berbohong, mereka selalu menggerakkan bibir mereka”. Artinya, politikus tidak pernah berhenti berbohong dan selalu berbohong.

Keadaan yang demikian sudah saatnya disadari masyarakat. Artinya, ketika caleg masih belum mampu menjual program kerjanya, kewajiban rakyat untuk menjauhinya dan tidak memilihnya. Memilih caleg yang demikian, sama artinya membeli “keledai dunggu” yang tidak dapat memberikan manfaat lebih.

Masyarakat Terdidik

Rakyat sudah saatnya keluar dan menjadi masyarakat terdidik. Artinya, peran serta kaum cendekiawan sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan persoalan ini.
Beberapa pihak yang berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa pertama, mahasiswa dan kaum intelektual (terdidik) sebagai agent of social change. Mereka dapat melakukan pendampingan ini ketika kembali ke kampung halaman.

Warga desa yang mudah dibodohi caleg “korup” tentunya menjadi lahan garap bagi mahasiswa dan kaum intelektual (terdidik). Mereka dapat memberikan pengarahan dan pendidikan bagi pemilih pemula maupun pemilih lama dengan menjelaskan latar belakang, program kerja, dan seterusnya.

Kedua, lembaga sosial keagamaan. Walaupun lembaga ini tidak dapat dilepaskan secara langsung dari parpol dan caleg tertentu, mereka mempunyai kewajiban membina warganya agar tetap kritis. Ormas tentunya tidak menginginkan warganya dibodohi kepentingan sesaat, yang pada gilirannya merusak citra ormas dan basis organisasinya.

Ketiga, kesadaran rakyat sendiri. Artinya, mereka berkewajiban keluar dan mencari informasi sebanyak mungkin agar mereka tidak terjebak tipu daya caleg.

Keempat adalah peran serta media massa. Media massa cetak maupun elektronik sudah saatnya menyajikan berita dan fakta secara aktual dan dapat dipertanggungjawabkan. Independensi media massa saat ini sangat dibutuhkan masyarakat. Jangan sampai media massa dibeli kepentingan caleg yang tidak percaya diri “PD” dengan apa yang telah mereka programkan.

Semoga Pemilu 2014 nanti rakyat mampu memilih caleg yang dapat memperjuangkan nasib dan masa depannya. Ini tak terkecuali, rakyat mampu memilih caleg yang tidak hanya menjual kharisma pendahulunya, tetapi program pencerahan dan pendidikan bagi rakyat.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar