Membongkar
Mitos dalam Kampanye
Benni Setiawan ; Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta,
Peneliti
Maarif Institute for Culture and Humanity
|
SINAR
HARAPAN, 15 Januari 2014
Musim kampanye Pemilu 2014 sudah dimulai.
Partai politik (parpol) dan calon anggota legislatif (caleg) pun sudah mulai
memperkenalkan diri kepada masyarakat.
Salah satu media memperkenalkan adalah dengan
memasang foto (gambar) di spanduk, poster, dan baliho. Tidak aneh jika di
sepanjang jalan, kita akan dimanjakan gambar-gambar “selibriti” baru di
tengah semakin sumpeknya pemandangan di jalan raya.
Bahkan, caleg pun sudah tidak memedulikan tata
kota, keindahan kota, dan tidak menghargai tumbuhan untuk berkembang dengan
baik. Banyak caleg yang memasang gambarnya di pohon dengan cara memaku. Jika
di daerah tersebut ada 100 caleg, setidaknya satu pohon dipaku 100 kali.
Namun, ada hal yang menarik jika kita
mencermati gambar-gambar tersebut. Hampir seluruh caleg, selain memasang foto
dan namanya, memasang “sesepuh” parpolnya. Caleg dari Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP), pasti akan memasang foto Soekarno, Megawati, dan
kini Jokowi. Bahkan, gambar Jokowi kini lebih banyak jika dibandingkan foto
Ketua Umum PDIP.
Caleg dari Partai Demokrat (PD) memasang foto
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), baik sebagai presiden maupun Ketua Umum dan
Dewan Penasihat Partai. Caleg dari Partai Amanat Nasional (PAN) sebagian
memasang foto M Amien Rais dan Hatta Radjasa.
Caleg Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
memasang foto Prabowo Subiyanto sebagai calon presiden. Partai Hati Nurani
Rakyat (Hanura), memasang foto Wiranto-Hary Tanoesoedibjo (WIN-HT) sebagai
capres dan cawapres.
Fenomena ini menunjukkan betapa calon pemimpin
masa depan bangsa Indonesia tidak mampu lepas dari bayang-bayang pendiri atau
“orang besar” yang telah berjasa kepada parpol. Mereka pun tampak tidak
percaya diri.
Mereka masih terkungkung dalam ikatan
primordial yang sempit. Gambar-gambar berukuran besar terpampang di dalam
rumah dan di setiap sudut kantor dewan pimpinan pusat (DPP) hingga dewan
pimpinan ranting.
Mitos
Banyaknya caleg yang memasang foto-foto
sesepuh parpol tersebut tentunya tidak dapat dipisahkan dari kondisi sosial
budaya masyarakat Indonesia. Keadaan seperti ini mengutip pendapat
Kuntowijoyo, termasuk dalam masyarakat tradisionalis yang masing mengagungkan
mitos (kharisma).
Pengagungan terhadap mitos ini tentunya sangat
membelenggu. Artinya, masyarakat akan semakin bodoh dan tidak berdaya dengan
pilihannya.
Caleg sebagai salah satu calon pemimpin bangsa
yang diharapkan mampu ngemong (mencerdaskan) masyarakat, ternyata menjadi
“organisasi” yang menyesatkan dengan kepalsuan.
Mereka dengan bangga menyesatkan rakyat dengan
cara-cara yang tak lazim. Caleg tidak lagi menjual program-program pencerahan
bangsa, tetapi menjual kharisma seseorang yang belum tentu terbukti
kebenarannya.
Mungkin benar apa yang pernah dikatakan Jason
Jones dan Shân Wareing, “Bagaimana
caranya agar kita tahu kapan politikus berbohong? Jawabnya setiap kali mereka
berbohong, mereka selalu menggerakkan bibir mereka”. Artinya, politikus
tidak pernah berhenti berbohong dan selalu berbohong.
Keadaan yang demikian sudah saatnya disadari
masyarakat. Artinya, ketika caleg masih belum mampu menjual program kerjanya,
kewajiban rakyat untuk menjauhinya dan tidak memilihnya. Memilih caleg yang
demikian, sama artinya membeli “keledai dunggu” yang tidak dapat memberikan
manfaat lebih.
Masyarakat Terdidik
Rakyat sudah saatnya keluar dan menjadi
masyarakat terdidik. Artinya, peran serta kaum cendekiawan sangat dibutuhkan
dalam menyelesaikan persoalan ini.
Beberapa pihak yang berkewajiban mencerdaskan
kehidupan bangsa pertama, mahasiswa dan kaum intelektual (terdidik) sebagai
agent of social change. Mereka dapat melakukan pendampingan ini ketika
kembali ke kampung halaman.
Warga desa yang mudah dibodohi caleg “korup”
tentunya menjadi lahan garap bagi mahasiswa dan kaum intelektual (terdidik).
Mereka dapat memberikan pengarahan dan pendidikan bagi pemilih pemula maupun
pemilih lama dengan menjelaskan latar belakang, program kerja, dan
seterusnya.
Kedua, lembaga sosial keagamaan. Walaupun
lembaga ini tidak dapat dilepaskan secara langsung dari parpol dan caleg
tertentu, mereka mempunyai kewajiban membina warganya agar tetap kritis.
Ormas tentunya tidak menginginkan warganya dibodohi kepentingan sesaat, yang
pada gilirannya merusak citra ormas dan basis organisasinya.
Ketiga, kesadaran rakyat sendiri. Artinya,
mereka berkewajiban keluar dan mencari informasi sebanyak mungkin agar mereka
tidak terjebak tipu daya caleg.
Keempat adalah peran serta media massa. Media
massa cetak maupun elektronik sudah saatnya menyajikan berita dan fakta
secara aktual dan dapat dipertanggungjawabkan. Independensi media massa saat
ini sangat dibutuhkan masyarakat. Jangan sampai media massa dibeli
kepentingan caleg yang tidak percaya diri “PD” dengan apa yang telah mereka
programkan.
Semoga Pemilu 2014 nanti rakyat mampu memilih
caleg yang dapat memperjuangkan nasib dan masa depannya. Ini tak terkecuali,
rakyat mampu memilih caleg yang tidak hanya menjual kharisma pendahulunya,
tetapi program pencerahan dan pendidikan bagi rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar