Paradoks Korupsi dan
Pertumbuhan Ekonomi
Mohammad Reza HA ; Peneliti Indef
|
MEDIA
INDONESIA, 04 Januari 2014
SUDAH menjadi rahasia umum bahwa
setiap kali Transparency International
(TI) merilis corruption perception
index (CPI), Indonesia selalu menjadi penunggu di barisan bawah
negara-negara yang dianggap paling korup. Publikasi CPI yang belum lama
dikeluarkan TI tersebut menempatkan Indonesia di peringkat 118 dari 178
negara.
Jika dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, memang ada kenaikan peringkat. Pada 2012 Indonesia mendapat
peringkat 118 dari 178 negara. Namun, kenaikan peringkat tersebut tidak
serta-merta melegakan. Pasalnya, skor dari indeks persepsi korupsi Indonesia
tetap tidak mampu beranjak dari skor pada tahun sebelumnya dengan hanya
menuai angka 32. Dengan skala 0-100, semakin ke arah 0 dipersepsikan semakin
korup dan semakin ke arah 100 dipersepsikan paling bersih dari korupsi. Hasil
itu membuat Indonesia masuk 70% negara-negara yang rentan terhadap isu
korupsi karena skor CPI-nya kurang dari 50.
Dalam lingkup ASEAN, Indonesia
harus rela berada jauh di bawah Singapura, Brunei Darussalam, dan Malaysia
serta masih di bawah Thailand dan Filipina. Indonesia hanya lebih baik
daripada Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja. Rendahnya persepsi para pakar
ataupun pebisnis terhadap fenomena korupsi di Tanah Air memang bukan hal yang
baru. Ketika TI merilis CPI perdananya pada 1995,
Indonesia sudah mendapat
predikat negara paling korup dari 41 negara yang disurvei pada waktu itu
dengan skor CPI 1,94 (skala 0-10). Selepas Orde Baru, optimisme untuk
memberantas korupsi muncul dengan didirikannya Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) pada 2003. Namun sayang, meski lembaga tersebut sudah bekerja keras
selama kurang lebih satu dekade, persepsi korupsi di Indonesia masih saja
buruk.
Menarik untuk memperhatikan rapor
merah korupsi di negeri ini dengan apa yang terjadi pada kondisi perekonomian
nasional. Meski persepsi korupsi cenderung buruk, Indonesia masih bisa
menggenjot pertumbuhan ekonomi yang cukup fantastis (5%-6% per tahun).
Pertanyaannya, bagaimana bisa Indonesia masih dapat memacu pertumbuhan
ekonomi yang cukup fantastis di saat persepsi korupsi terhadap negara ini
masih buruk? Bukankah investor mestinya semakin enggan menanamkan modal dan
pertumbuhan ekonomi (yang dipacu dengan investasi) menjadi lambat karena
kurang bagusnya iklim usaha akibat banyaknya praktik korupsi? Jawaban dari
pertanyaan tersebut memang selalu menjadi perdebatan. Setidaknya di dalam
literatur ekonomi korupsi sendiri sering terdengar istilah korupsi bersifat grease (memperlancar) atau sand (menghambat) proses
pertumbuhan/pembangunan sebuah negara.
Korupsi bersifat grease mengandung arti bahwa untuk
mempercepat dan memperlancar kinerja birokrasi, diperlukan suatu `insentif
ampingan' atau akrab disebut suap. Masyarakat atau swasta harus rela
mengeluarkan biaya di atas harga normal untuk mempercepat proses pelayanan
birokrasi. Contohnya dalam mendirikan usaha, terkadang pengusaha harus
membayar pungli agar proses administrasi baik di daerah maupun pusat menjadi
lebih cepat. Dengan begitu, aktivitas ekonomi akan semakin lancar dan
pertumbuhan dapat terkerek ke atas.
Di sisi lain, korupsi bersifat
sand, mengandung arti korupsi menghambat proses pertumbuhan dan pembangunan
suatu negara. Pada tataran tersebut, korupsi menyebabkan ekonomi biaya tinggi
(high cost economy) yang ditandai
dengan tingginya biaya transaksi di masyarakat. Hal itu disebabkan birokrat
(dengan segala kebijakan dan kekuasaannya) dapat mentransfer sumber daya
ekonomi kepada individu atau kelompok tertentu sehingga akses yang dimiliki
masyarakat menjadi semakin terbatas. Perilaku rent seeking seperti itu yang
pada akhirnya kerap mengganggu proses pertumbuhan dan pembangunan suatu
negara.
Dari deskripsi tersebut, boleh
saja kita berpandangan bahwa korupsi di Indonesia bersifat grease. Hal itu
menimbang meskipun volume korupsi di Indonesia masih begitu tinggi,
pertumbuhan ekonomi tetap saja semakin meningkat. Penelitian empiris Hoa
(2010) dan Nugoroho (2013) menunjukkan, ketika pertumbuhan ekonomi su atu
negara semakin meningkat dari tahun ke tahun, indikasi korupsi juga semakin
bertambah.
Pada tataran itu argumen yang
diajukan ialah pengusaha atau investor lebih memilih untuk tunduk dalam
permainan birokrat ketimbang absen dari permainan, melihat suap yang
diberikan mungkin tidak seberapa jika dibandingkan dengan laba yang akan
didapat. Jika kita berpegang pada argumentasi tersebut, jelas mengapa hasil
dari pertumbuhan ekonomi (dan pembangunan) begitu jarang dirasakan kelompok
masyarakat bawah. Tidak mengherankan bila angka rasio ketimpangan semakin
melebar karena pertumbuhan yang dihasilkan tidak berkualitas.
Namun, perlu diingat bahwa ada
kalanya sistem yang seperti itu akan sampai pada titik jenuhnya sendiri. Pada
jangka pendek korupsi memang dapat membantu pertumbuhan ekonomi, tetapi dalam
jangka panjang yang berlaku adalah sebaliknya. Ibarat hukum ekonomi the law of diminishing return, praktik
korupsi yang semakin bertambah lama-kelamaan akan mencapai titik jenuhnya
karena output yang dihasilkan semakin berkurang. Pengusaha/investor akan
semakin terbebani oleh korupsi yang semakin menjamur di tubuh birokrat. Biaya
pungli atau suap yang mereka harus keluarkan menjadi semakin banyak.
Akhirnya, mau tidak mau mereka akan mulai menarik investasi dan pertumbuhan
akan terkena imbasnya. Pada tataran itulah korupsi menjadi sand (penghambat)
pertumbuhan.
Terlepas dari perdebatan di atas,
bagaimanapun sifat dan bentuk korupsi sama sekali tidak membawa
kebermanfaatan untuk pertumbuhan ekonomi, apalagi dalam aspek yang lebih luas
yaitu pembangunan. Melimpahnya sumber daya alam dan manusia merupakan suatu
keniscayaan bagi negeri ini untuk tumbuh dan menghasilkan pembangunan yang
sesuai dengan cita-cita bangsa. Namun apa daya, bila korupsi terus saja
menetes dan menjadi warisan dari generasi ke generasi, kualitas pertumbuhan
ekonomi akan semakin memburuk dan tidak akan pernah terasa manfaatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar