Selasa, 07 Januari 2014

Paradoks Korupsi dan Pertumbuhan Ekonomi

           Paradoks Korupsi dan Pertumbuhan Ekonomi

Mohammad Reza HA  ;   Peneliti Indef
MEDIA INDONESIA,  04 Januari 2014
                                                                                                                        


SUDAH menjadi rahasia umum bahwa setiap kali Transparency International (TI) merilis corruption perception index (CPI), Indonesia selalu menjadi penunggu di barisan bawah negara-negara yang dianggap paling korup. Publikasi CPI yang belum lama dikeluarkan TI tersebut menempatkan Indonesia di peringkat 118 dari 178 negara.

Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, memang ada kenaikan peringkat. Pada 2012 Indonesia mendapat peringkat 118 dari 178 negara. Namun, kenaikan peringkat tersebut tidak serta-merta melegakan. Pasalnya, skor dari indeks persepsi korupsi Indonesia tetap tidak mampu beranjak dari skor pada tahun sebelumnya dengan hanya menuai angka 32. Dengan skala 0-100, semakin ke arah 0 dipersepsikan semakin korup dan semakin ke arah 100 dipersepsikan paling bersih dari korupsi. Hasil itu membuat Indonesia masuk 70% negara-negara yang rentan terhadap isu korupsi karena skor CPI-nya kurang dari 50.

Dalam lingkup ASEAN, Indonesia harus rela berada jauh di bawah Singapura, Brunei Darussalam, dan Malaysia serta masih di bawah Thailand dan Filipina. Indonesia hanya lebih baik daripada Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja. Rendahnya persepsi para pakar ataupun pebisnis terhadap fenomena korupsi di Tanah Air memang bukan hal yang baru. Ketika TI merilis CPI perdananya pada 1995, 

Indonesia sudah mendapat predikat negara paling korup dari 41 negara yang disurvei pada waktu itu dengan skor CPI 1,94 (skala 0-10). Selepas Orde Baru, optimisme untuk memberantas korupsi muncul dengan didirikannya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2003. Namun sayang, meski lembaga tersebut sudah bekerja keras selama kurang lebih satu dekade, persepsi korupsi di Indonesia masih saja buruk.

Menarik untuk memperhatikan rapor merah korupsi di negeri ini dengan apa yang terjadi pada kondisi perekonomian nasional. Meski persepsi korupsi cenderung buruk, Indonesia masih bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi yang cukup fantastis (5%-6% per tahun). Pertanyaannya, bagaimana bisa Indonesia masih dapat memacu pertumbuhan ekonomi yang cukup fantastis di saat persepsi korupsi terhadap negara ini masih buruk? Bukankah investor mestinya semakin enggan menanamkan modal dan pertumbuhan ekonomi (yang dipacu dengan investasi) menjadi lambat karena kurang bagusnya iklim usaha akibat banyaknya praktik korupsi? Jawaban dari pertanyaan tersebut memang selalu menjadi perdebatan. Setidaknya di dalam literatur ekonomi korupsi sendiri sering terdengar istilah korupsi bersifat grease (memperlancar) atau sand (menghambat) proses pertumbuhan/pembangunan sebuah negara.

Korupsi bersifat grease mengandung arti bahwa untuk mempercepat dan memperlancar kinerja birokrasi, diperlukan suatu `insentif ampingan' atau akrab disebut suap. Masyarakat atau swasta harus rela mengeluarkan biaya di atas harga normal untuk mempercepat proses pelayanan birokrasi. Contohnya dalam mendirikan usaha, terkadang pengusaha harus membayar pungli agar proses administrasi baik di daerah maupun pusat menjadi lebih cepat. Dengan begitu, aktivitas ekonomi akan semakin lancar dan pertumbuhan dapat terkerek ke atas.

Di sisi lain, korupsi bersifat sand, mengandung arti korupsi menghambat proses pertumbuhan dan pembangunan suatu negara. Pada tataran tersebut, korupsi menyebabkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) yang ditandai dengan tingginya biaya transaksi di masyarakat. Hal itu disebabkan birokrat (dengan segala kebijakan dan kekuasaannya) dapat mentransfer sumber daya ekonomi kepada individu atau kelompok tertentu sehingga akses yang dimiliki masyarakat menjadi semakin terbatas. Perilaku rent seeking seperti itu yang pada akhirnya kerap mengganggu proses pertumbuhan dan pembangunan suatu negara.

Dari deskripsi tersebut, boleh saja kita berpandangan bahwa korupsi di Indonesia bersifat grease. Hal itu menimbang meskipun volume korupsi di Indonesia masih begitu tinggi, pertumbuhan ekonomi tetap saja semakin meningkat. Penelitian empiris Hoa (2010) dan Nugoroho (2013) menunjukkan, ketika pertumbuhan ekonomi su atu negara semakin meningkat dari tahun ke tahun, indikasi korupsi juga semakin bertambah.

Pada tataran itu argumen yang diajukan ialah pengusaha atau investor lebih memilih untuk tunduk dalam permainan birokrat ketimbang absen dari permainan, melihat suap yang diberikan mungkin tidak seberapa jika dibandingkan dengan laba yang akan didapat. Jika kita berpegang pada argumentasi tersebut, jelas mengapa hasil dari pertumbuhan ekonomi (dan pembangunan) begitu jarang dirasakan kelompok masyarakat bawah. Tidak mengherankan bila angka rasio ketimpangan semakin melebar karena pertumbuhan yang dihasilkan tidak berkualitas.

Namun, perlu diingat bahwa ada kalanya sistem yang seperti itu akan sampai pada titik jenuhnya sendiri. Pada jangka pendek korupsi memang dapat membantu pertumbuhan ekonomi, tetapi dalam jangka panjang yang berlaku adalah sebaliknya. Ibarat hukum ekonomi the law of diminishing return, praktik korupsi yang semakin bertambah lama-kelamaan akan mencapai titik jenuhnya karena output yang dihasilkan semakin berkurang. Pengusaha/investor akan semakin terbebani oleh korupsi yang semakin menjamur di tubuh birokrat. Biaya pungli atau suap yang mereka harus keluarkan menjadi semakin banyak. Akhirnya, mau tidak mau mereka akan mulai menarik investasi dan pertumbuhan akan terkena imbasnya. Pada tataran itulah korupsi menjadi sand (penghambat) pertumbuhan.

Terlepas dari perdebatan di atas, bagaimanapun sifat dan bentuk korupsi sama sekali tidak membawa kebermanfaatan untuk pertumbuhan ekonomi, apalagi dalam aspek yang lebih luas yaitu pembangunan. Melimpahnya sumber daya alam dan manusia merupakan suatu keniscayaan bagi negeri ini untuk tumbuh dan menghasilkan pembangunan yang sesuai dengan cita-cita bangsa. Namun apa daya, bila korupsi terus saja menetes dan menjadi warisan dari generasi ke generasi, kualitas pertumbuhan ekonomi akan semakin memburuk dan tidak akan pernah terasa manfaatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar