Netralitas
TNI-POLRI dalam Pemilu
Hermawan Sulistyo ; Profesor Riset di
LIPI; Mengajar di Universitas Nasional, Jakarta
|
KOMPAS,
22 Januari 2014
Rapat pimpinan TNI/Polri awal tahun ini tidak banyak
disorot oleh publik politik. Padahal, temanya sangat penting, ”Kesiapan TNI
dan Polri Menghadapi Pemilu 2014”. Sebuah eufemisme bagi pemosisian
tentara dan polisi dalam meniti tahun politik ini karena hanya dimaknai dalam
konteks keamanan.
Sesungguhnya memilih dalam pemilu
adalah hak dasar politik bagi setiap warga negara terlepas dari apa pun
profesinya. Setiap orang, termasuk tentara dan polisi, juga memiliki hak
dasar ini. Karena itu, di negara yang politiknya stabil, tentara dan polisi
ikut pemilu. Karena itu pula, anggota TNI dan Polri ikut Pemilu 1955 dan
Pemilu Sela 1957.
Namun, hak politik itu kemu- dian
kita sepakati untuk ”ditunda” pelaksanaannya. Sejarah menunjukkan pelaksanaan
hak itu pada masa prareformasi telah disalahgunakan sehingga merugikan
perkembangan demokrasi. Akibatnya, hingga pemilu ke-4 Orde Reformasi pada
2014 ini, anggota TNI/Polri belum ikut memilih. Belum jelas hingga kapan hak
politik itu dipulihkan.
Pengembalian hak pilih bagi
tentara dan polisi tergantung pada apakah kedua institusi ini pada suatu
ketika nanti akan diper- caya publik politik tak akan menyalahgunakan
kewenangan mereka. Yaitu kewenangan menggunakan kekerasan secara sah, yang
tentu sangat berbahaya jika disalahgunakan.
Soal
kepercayaan
Jadi, akar masalah ”penunda- an
hak” itu adalah kepercayaan publik politik. TNI dan Polri harus mampu
mengembalikan kepercayaan itu. Caranya, manakala dalam rangkaian Pemilu 2014
ini keduanya ”hanya” diberi tugas pengamanan pemilu, tugas itu harus
dilaksanakan sebaik-baiknya. Suatu tugas yang hanya bisa dilaksanakan dengan
baik jika TNI/Polri tidak terlibat dalam dunia politik. Dalam kalimat lain,
netralitas dalam peran-peran pengamanan pemilu menjadi keniscayaan.
Dari perspektif publik politik,
tupoksi militer dan polisi yang berbeda memberi dampak politik yang berbeda
pula. Penekanan pada fungsi pertahanan memperkecil peluang prajurit dalam
interaksi sosialnya. Sebaiknya polisi semakin memiliki peran sosial yang
lebih besar karena menyandang status sebagai institusi sipil.
Mengecilnya peluang politik bagi
TNI secara institusional, seiring dengan menguatnya peluang polisi, telah
menciptakan ilusi bahwa jenderal tentara dan polisi memiliki kans politik
yang besar. Padahal, sumber daya politik mereka berasal dari kewenangan
birokrasi dari institusi. Perwira militer dan polisi tidak mungkin seratus
persen mampu membangun kekuatan politik di ruang masyarakat madani (civil
society ) di luar institusi mereka.
Ada norma dasar yang membedakan
tentara dan polisi. Militer dibangun berdasarkan prinsip hierarki komando.
Seluruh tindakan anggota militer harus berdasarkan perintah atasan sehingga
”tidak ada anak buah yang salah karena yang harus bertanggung jawab adalah
komandan”. Prajurit hanya melaksanakan perintah komandan.
Dalam dunia politik, norma ini
sangat diperhitungkan. Namun, persentase militer sangat kecil dibandingkan
dengan populasi pemilih. Tanpa ancaman fisik yang diberlakukan, partai
politik tentara sulit menang dalam pemilu. Sejarah politik tentara Jerman dan
kasus IPKI di Indonesia merupakan contoh sangat jelas.
Di luar institusi TNI, para
komandan tentara memperoleh liputan dan pencitraan yang signi- fikan. Sumber
kekuasaan yang berasal dari kewenangan komando memberi kepercayaan diri akan
kepemimpinan para komandan itu. Namun, begitu pensiun sumber daya itu pun
hilang karena pindah ke komandan pengganti yang baru. Dalam realitas politik,
mereka seperti macan ompong. Meskipun macan, ia sudah ompong.
Tentu saja ada kasus di mana
kepemimpinan komandan militer juga terbentuk di luar institusinya. Para
komandan ini memiliki kualitas kepemimpinan yang tak semata-mata bersumber
pada kewenangan hierarki komando.
Pada kasus inilah muncul tokoh
politik dari kalangan purnawirawan TNI/Polri yang berhasil dalam pemilu
legislatif dan pilkada. Sementara itu, pada kasus ”macan ompong”, seorang
jenderal purnawirawan yang sewaktu berdinas tampak begitu populer ternyata
gagal dalam pilkada.
Sebaliknya, polisi memiliki norma
diskresi. Sebuah norma yang sering diterjemahkan terlalu jauh sebagai
”bawahan boleh menentang atasan”. Prinsipnya, diskresi memberi kewenangan
pada setiap polisi mengambil keputusan yang kemudian harus
dipertanggungjawabkan.
Kata kunci netralitas
Dengan latar seperti itu,
purnawirawan jenderal yang memasuki dunia politik memang memiliki
kepemimpinan yang relatif lebih kuat daripada pemimpin sipil karena ”jam
terbang” yang lebih panjang. Banyak juga di antara mereka yang populer di
masyarakat. Namun, manakala ikut pemilu atau pilkada, elektabilitas mereka
rendah.
Selain itu, ”purnawirawan” militer
dan polisi sudah memasuki dunia sipil sehingga hak-hak politiknya tak
ditunda lagi, termasuk hak memilih dan dipilih dalam pemilu. Namun, mereka
sudah tak lagi memiliki kewenangan komando atas eks institusinya. Komandan
baru tak akan begitu saja memenuhi permintaan senior yang sudah pensiun.
Tidak terbiasa dengan
pengelompokan politik di sepanjang karir mereka, para purnawirawan TNI/Polri
itu masuk ke berbagai partai politik. Pada awalnya memang dipercaya bahwa ada
transformasi pengaruh militer, yaitu dari upaya ”menduduki” berubah menjadi
”memberi pengaruh.”
Dengan perspektif itu, para
jenderal purnawirawan yang tersebar di semua parpol dipercaya membawa
kebaikan. Leadership, komitmen kebangsaan, dan managerial skills yang
tinggi disebarkan ke semua parpol demi membawa kebaikan bagi bangsa ini.
Persatuan dijunjung tinggi sekalipun elektabilitas mereka rendah.
Namun, kemudian pada kenyataannya
itu semua hanya ilusi. Pertama, jumlah jenderal yang masuk ke parpol banyak
sekali. Mustahil menyatukan kepentingan yang bersumber dari institusi asal.
Kedua, perspektif kepentingan mustahil akan sama, antara komandan petahana
(yang sedang menjabat) dan mantan-mantan komandan yang kini mewakili parpol
mereka.
Ketiga, kompetisi politik
berlangsung sebagai zero-sum game. Tambahan kekuatan pada satu
pemain berarti berkurangnya kekuatan yang setara pada pemain lain. Siapa yang
mau dirugikan, sekuat apa pun ”ideologi militer” atau polisi mereka? Ini
lebih berlaku lagi dalam kompetisi antar-purnawirawan yang menjadi aktivis
partai yang berbeda-beda. Loyalitas pada partai pasti lebih menonjol karena
konkret dan kontemporer ketimbang loyalitas pada kelompok alumni.
Tahun politik 2014 menyajikan
tantangan tersendiri bagi TNI dan Polri. Keberhasilan atau kegagalan dalam
pengamanan pemilu bukan satu-satunya dimensi yang dinilai publik. Lebih dari
itu, publik akan menilai apakah netralitas TNI/Polri dijalankan dengan baik.
Dimensi ini yang akan mengembalikan kepercayaan publik.
Jika netralitas TNI/Polri gagal
dilaksanakan dan pemenang pemilu adalah kelompok lawan politik yang tidak
didukung atau malah ”digergaji” kekuatannya, dipastikan rezim kekuasaan yang
baru menang nanti akan mengganti pimpinan TNI dan Polri.
Akhirnya, netralitas TNI/Polri
tidak mungkin diterapkan maksimal tanpa dukungan parpol-parpol itu sendiri.
Publik politik pun harus mendukung upaya ini. Jangan pilih parpol yang
”bermain-main” dengan TNI/Polri dalam pemilu. Memilih wakil mereka sama saja
dengan memperpanjang masa opname bangsa yang masih sakit ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar