Elektabilitas
Pemilik Media
Agus Sudibyo ; Direktur Eksekutif
Matriks Indonesia
|
KOMPAS,
22 Januari 2014
JIKA para pemilik media yang
terjun ke politik praktis mengiklankan diri sendiri di media yang
dimilikinya, apakah mereka juga membayar pajak sebagaimana harus dilakukan
pengiklan yang lain?
Inilah satu persoalan yang belum
banyak disinggung dalam kontroversi tentang pemilik media yang menggunakan
media yang dimilikinya sebagai instrumen kampanye politik. Persoalannya bukan
sekadar ruang publik yang semestinya steril dari praktik instrumentalisasi
untuk mendukung kepentingan politik tertentu, melainkan ada potensi hilangnya
pemasukan negara.
Ada potensi perlakuan yang tidak
adil terhadap pemasang iklan yang satu dibandingkan dengan yang lain. Ada
upaya memperlakukan media semata-mata properti pribadi dengan menafikan UU
Pers dan UU Penyiaran yang tegas menyatakan media pertama-tama harus
diperlakukan sebagai institusi publik.
Sesungguhnya perlu dipertanyakan
keefektifan kampanye para pemilik media di medianya sendiri itu jika
tujuannya menaikkan elektabilitas masing-masing. Kenyataannya, hingga Januari
2014, dua capres dengan elektabilitas tertinggi adalah mereka yang tak punya
media: Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Survei
Litbang Kompas menunjukkan elektabilitas kedua tokoh ini
masing-masing 32,2 persen dan 18,1 persen, jauh meninggalkan elektabilitas
capres/ cawapres lain, termasuk yang aktif mengampanyekan diri di media yang dimilikinya,
seperti Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Dahlan Iskan, dan Hary Tanoesoedibjo.
Elektabilitas pemilik media ini
rata-rata di bawah 10 persen. Perlu digarisbawahi, peta elektabilitas yang
menempatkan Jokowi dan Prabowo cukup jauh di atas capres lain ini sudah
terjadi sejak awal 2013, sebagaimana ditunjukkan hasil survei lembaga seperti
LP3ES, CSIS, dan IRC.
Apa yang dapat ditegaskan di sini?
Pertama, kampanye media tak otomatis mengerek elektabilitas seorang tokoh.
Perlu dibedakan antara popularitas dan elektabilitas. Popularitas adalah
tingkat pengenalan seseorang di masyarakat, sementara elektabilitas tingkat
keterpilihan seseorang oleh masyarakat. Kampanye di media efektif
meningkatkan popularitas seorang tokoh. Namun, popularitas yang tinggi tak
otomatis menjamin elektabilitas tinggi pula. Elektabilitas adalah sesuatu
yang kompleks dan ditentukan banyak faktor.
Menimbang prestasi
Dalam menentukan pilihan
politiknya, masyarakat tak hanya melihat berapa sering seorang tokoh muncul
di televisi. Mereka juga mempertimbangkan prestasi si tokoh, pengalaman dan
kemampuannya, sikap dan pembawaan pribadinya, agamanya, kesukuannya, dan
seterusnya. Bahkan, sebagaimana telah terjadi pada pemilu sebelumnya dan
berbagai ajang pilkada, banyak unsur masyarakat bersikap transaksional.
Mereka akan memilih kandidat yang memberi sumbangan terbesar.
Sekali lagi,
elektabilitas ditentukan banyak faktor dan kampanye di media massa hanyalah
salah satu faktor.
Kedua, seorang capres/cawapres tak
cukup hanya sering tampil di beberapa media. Mengapa Jokowi demikian
diidolakan masyarakat? Salah satunya karena berita tentang Jokowi secara
kontinu tak hanya muncul di satu-dua media, tetapi di banyak media. Hal ini
berbeda dengan capres/cawapres berlatar pemilik media. Mereka umumnya
baru intensif diberitakan atau diiklankan di media yang dimilikinya. Perlu
ditegaskan, mereka juga harus memperhitungkan frekuensi dan kerangka
pemberitaan di media lain. Sangat mungkin kampanye intensif seorang kandidat
di suatu jaringan media dimentahkan berita negatif tentang dirinya di media
lain.
Fakta menunjukkan, tak ada
pengusaha yang sangat dominan dalam penguasaan media di Indonesia. Peta
kepemilikan media hari ini menunjukkan persaingan yang relatif berimbang
antara lima atau enam kelompok media besar. Antarmedia atau kelompok media
terjadi persaingan sengit dalam pemberitaan dan wacana publik. Dapat
dikatakan, keberpihakan media terhadap pemiliknya yang terjun ke
politik dikontrol oleh independensi dan kritisisme lebih banyak media lain
terhadap figur yang sama. Dalam konteks inilah, sering tampil di media milik
sendiri belum tentu strategis bagi capres atau cawapres tanpa
mempertimbangkan bagaimana sikap dan respons media lain.
Ketiga, seorang bos media bahkan
belum tentu dapat seratus persen mengontrol secara politik media dalam
grupnya. Misalnya, seorang capres memiliki jaringan yang terdiri
lebih dari seratus media di semua provinsi di Indonesia. Pandangan awam akan
menyatakan, ratusan media itu dengan mudah dapat dimobilisasi untuk mendukung
capres itu. Praktiknya tak semudah itu.
Bukan rahasia lagi, mayoritas
media daerah sangat tergantung pada apa yang terkenal dengan sebutan ”iklan
pemda”. Bicara tentang iklan pemda, berarti juga bicara tentang sikap politik
gubernur, bupati, atau wali kota yang berlatar partai politik yang
berbeda-beda: Partai Golkar, PDI-P, Partai Demokrat, PAN, dan seterusnya.
Pertanyaannya, apakah pemimpin daerah itu akan diam saja jika media lokal
yang telah terikat ”kontrak iklan” dengan pemda yang dipimpinnya secara
mencolok mendukung capres tertentu dalam Pemilu 2014, yang ternyata berbeda
dengan capres yang mereka dukung?
Persoalannya menjadi sedemikian
kompleks sehingga jika media lokal memberi dukungan politik untuk bosnya yang
jadicapres tentu yang diberikan bukan dukungan politik membabi buta. Media
lokal harus menghitung ”daya hidup” mereka yang tergantung pada sumber lokal.
Dilema serupa diam-diam juga dialami media nasional. Pemilu ibaratnya kenduri
lima tahunan saat mereka dapat meraih pemasukan sebanyak-banyaknya dari iklan
politik.
Jika mereka terikat untuk hanya
mendukung satu capres/cawapres saja, sama artinya menyia-nyiakan
momentum kenduri lima tahunan itu. Tampaknya ini cukup meresahkan divisi
pemasaran stasiun televisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar