Nestapa
Panjang Sudan Selatan
Ibnu Burdah ; Pemerhati Timur Tengah dan dunia
Islam,
Dosen
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
SUARA
MERDEKA, 16 Januari 2014
SUNGGUH kelam jalan sejarah
Sudan Selatan. Belum apa-apa, negara itu sudah terlibat konflik saudara.
Padahal ibarat bayi, negara itu baru saja lahir dalam keadaan terluka. Luka
belum sempat disembuhkan, konflik antarsuku sudah mengancam.
Bahkan sebelum
negara itu benar-benar lahir pada Juli 2011, perang antarsuku itu sudah
dimulai. Upaya mediasi yang dilakukan beberapa pemimpin negara Afrika hingga
kini belum menunjukkan hasil signifikan. Pertempuran besar terlanjur pecah di
basis-basis kota minyak yang dikuasai pemberontak. Sementara konflik sporadis
antarwarga dua suku itu terjadi dalam skala luas.
Inti pertengkaran itu berpusat
kepada kepentingan kabilah atau suku. Hubungan antarsuku di kawasan itu
sebagaimana umumnya di Timur Tengah diwarnai konflik dan perang demi sumber-sumber
ekonomi. Tak jarang untuk mempertahankan diri, mereka merampok suku lain.
Implikasinya, mereka terlibat lingkaran kekerasan dan dendam antarsuku yang
tak berujung. Hubungan sosial semacam inilah yang menyertai kelahiran Sudan
Selatan hingga sekarang. Perbedaannya, sebelum lahir, Sudan Selatan masih
memiliki musuh bersama, yakni pemerintahan Sudan sehingga terjadi konflik
dalam skala besar kendati pada tingkat tertentu bisa diredam. Sesudah Sudan
Selatan berdiri tahun 2011 musuh bersama itu bisa dikatakan tidak ada.
Namun
itu masih menyimpan dendam yang lama tertimbun di antara mereka dan selama
itu hanya memperoleh ekspresi terbatas. Bahkan, sebelum kepastian Sudan
Selatan akan berdiri jadi negara tersendiri, konflik antarsuku kembali
mengemuka.
Konflik perebutan kekuasaan dan pengaruh itu langsung menguat
pascareferendum Januari 2011. Padahal tiap suku memiliki beberapa korps
ìtentaraî atau kelompok bersenjata dan cenderung jalan sendirisendiri.
Konflik antara suku-suku di bantaran Nil dan suku-suku Hamiyah (Nil Hitam)
terjadi sejak zaman yang sulit ditelusuri.
Lingkaran kekerasan itu
terutama melibatkan suku besar dalam dua kelompok itu, terutama Nuer dari
kelompok suku bantaran Nil dan Murli dari kelompok suku Nil Hitam. Sudah tak
terhitung aksi pembantaian bermotif perampokan sekaligus balas dendam.
Konflik dan lingkaran aksi balas dendam juga terjadi antarsuku yang masih
memiliki kekerabatan, seperti antara suku Nuer dan Dinka yang merupakan satu
kelompok suku di wilayah aliran Sungai Nil. Baik wilayah Sudan Utara maupun
Sudan Selatan dialiri Sungai Nil, di samping Mesir dan 7 negara lain. Sebelum
pecah, Sudan merupakan negeri yang memiliki aliran Nil paling panjang
sehingga berberjuluk Negeri Dua Nil. Suku-suku yang mendiami wilayah sungai
Nil biasanya memiliki peradaban lebih mapan. Mereka hidup dari pertanian yang
dialiri air Nil yang mengalir sepanjang tahun, bukan dari berburu. Nuer
dengan suku Riek Machar dan dan Dinka dengan suku Salva Kiir, adalah suku
yang tumbuh di wilayah ini. Kini konflik antarsuku memperoleh medan tempur
baru, yaitu negara Sudan Selatan. Kendati negara itu lahir dari proses
referendum, praktik politik negara itu jauh dari demokrasi.
Pemerintahan
Kombinasi Pemerintahan Salva Kiir-Riek Machar bisa dikatakan kombinasi antara
suku Nuer dan Dinka. Dua kelompok ini menghadapi
suku-suku lain yang tidak kecil. Namun, pemerintahan kongsi itu pun tak mampu
bertahan lama.
Setelah serangkaian aksi saling serang karena perebutan
kekuasaan dalam institusi negara seperti penunjukan gubernur dan seterusnya,
konflik mengekskalasi jadi perpecahan antara Presiden Kiir dan Wakil Presiden
Machar. Machar yang merupakan pesaing, sejak lama menuding pemerintahan Kiir
tidak demokratis, bahkan otoriter menjalankan pemerintahan Sudan Selatan.
Maksud Machar sebenarnya pemerintahan Sudan Selatan dikuasai oleh hanya suku
Dinka. Nuer seharusnya juga ingin turut memerintah. Monopoli kekuasaan di
institusi negara inilah yang menjadi titik api kembali berkobarnya konflik
dua suku besar tersebut.
Celakanya, masyarakat Sudan Selatan adalah jalinan
antarsuku. Input terhadap institusi-institusi negara pun terbelah, termasuk
di kalangan tentara.
Kiir berhasil membangun militer
berbasis sukunya sehingga loyal. Tetapi sesungguhnya tidak sepenuhnya. Wapres
terguling, Machar dari Nuer, juga memiliki orang-orang di tubuh tentara
kendati berjumlah lebih sedikit. Konflik klasik itu kemudian tidak hanya
bertranformasi menjadi konflik politik nasional tetapi juga menjadi konflik
bersenjata antara tentara yang loyal kepada Kiir dan Machar. Yang kemudian
terjadi adalah perang saudara, melibatkan tentara, politikus, dan masyarakat
secara luas. Masa depan Sudan Selatan sesungguhnya terletak dalam apa yang
disebut oleh Abid al-Jabiri, pemikir Afrika Utara, sebagai pluralisme kabilah.
Kemampuan untuk hidup bersama dalam masyarakat dan lembaga politik dengan
suku berbeda jadi tantangan paling krusial. Tapi al-Jabiri juga mengungkapkan
pluralisme kabilah dalam negara modern di kawasan itu sangat sulit
diwujudkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar