Memerangi
Kartel Pangan
Purbayu Budi Santosa ; Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas
Diponegoro Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 16 Januari 2014
TAHUN 2013 sudah lewat, dan
kini kita memasuki tahun 2014. Semestinya masa lalu menjadi kiblat efleksi
untuk menapaki masa depan yang lebih baik. Tahun lalu tercatat terjadi
berbagai gejolak kenaikan harga pangan secara tidak wajar. Dari kasus bawang
putih, kenaikan harga daging, dan belum lupa dari ingatan kita adalah
kenaikan harga kedelai. Semua itu, yang berujung pada kerugian rakyat,
disebabkan oleh kemerebakan praktik kartel di negara kita, yang sampai
sekarang masih dianggap negara agraris. Kartel sebagai salah satu bentuk pasar
oligopoli memang merupakan momok bagi masyarakat. Oligopoli adalah salah satu
bentuk pasar yang dikuasai oleh beberapa pelaku pasar. Karena dikuasai oleh
hanya beberapa pelaku maka kartel bisa membuat harga (price maker) yang merugikan masyarakat.
Bahkan ada yang menyebut kartel
sebagai sindikat, lewat cara membuat kesepakatan di antara anggota dengan
tujuan menekan persaingan dan meraih keuntungan maksimal. Caranya dengan
menentukan harga, wilayah pemasaran, atau tujuan lain yang mereka sepakati. Ekonom
Ayudha D Prayoga dari Universitas Indonesia menyebut kartel sebagai bentuk
dari konspirasi, melalui permainan harga, output, pembagian wilayah,
pembatasan produksi, dan pembatasan impor. Jadi, menurutnya, konspirasi
merupakan ide dasar pembentukan kartel. Konspirasi adalah kegiatannya, adapun
kartel lembaganya. Munrokhim Misanam, komisioner Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) bahkan menyinyalir kartel lebih berbahaya dari korupsi.
Kartel
menggerogoti uang rakyat secara masif, tanpa pemiliknya menyadari. Ia juga
menyamakan kartel dengan rentenir, sama-sama memburu sebanyak-banyaknya
keuntungan lewat cara tak sehat. (Kompetisi,
Edisi 39, 2013). Keterbentukan kartel pangan berlandaskan motif mencari
sebanyak-banyaknya keuntungan. Persoalannya, keberadaan mereka didukung
berbagai pihak, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Dilihat dari disiplin ilmu
ekonomi kelembagaan, motif memburu keuntungan demi kepentingan segelintir
pihak dengan merugikan rakyat disebut berburu rente. Korupsi saja sudah sangat
merugikan, apalagi kartel yang daya rusaknya lebih besar. Belum lagi, pangan
menyangkut kebutuhan primer masyarakat sehingga kita tidak bisa menoleransi
kehadiran kartel pangan. Biaya pengeluaran untuk pangan akan menjadi lebih
besar yang mengakibatkan pengaruh inflasi pun menjadi lebih tinggi. Bahkan
terjadi kerentanan pangan sehingga kemiskinan, pengangguran, ketimpangan
distribusi pendapatan, kerusakan lingkungan, dan kriminalitas menjadi masalah
berat dan makin sulit dipecahkan. Ketergantungan pangan kita terhadap produk
impor karena ulah para kartelis membuat sebutan negara agraris makin jauh
dari kenyataan. Bukanlah hal mustahil nantinya penyebutan negara agraris
hanyalah dongeng karena Indonesia sudah tercerabut dari akar kegiatan usaha
masyarakat yang sejatinya. Semestinya pemerintah lebih mengembangkan
agroindustri, bukan produk pertanian utama yang justru didatangkan dari
negara lain. Sebelum terlambat, semestinya pemerintah mencari solusi
penyelamatan masalah pangan. Penanganan masalah kartel pangan meliputi segi
hukum dan organisasi. Dalam segi hukum, karena kartel (termasuk kartel
pangan) merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary
crime) maka penanganannya pun butuh cara yang luar biasa pula.
Kendala
Mengungkap Praktik kartel melanggar UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun kita tak mudah
mengendusnya. Sukarmi, komisioner KPPU mengungkapkan kendala pengungkapan
praktik kartel. Pertama; bukti perjanjian di antara pelaku kartel.
Faktanya,
sangat jarang antarpelaku kartel membuat perjanjian tertulis. Kedua; KPPU tak
memiliki kewenangan menggeledah dan menyadap, sebagaimana Komisi
Pemberantasan Korupsi. Padahal, praktik kartel lebih berbahaya dari korupsi.
Ketiga, perlu peningkatan kualitas SDM di KPPU untuk bisa menangani dugaan
praktik kartel.
Jangan malu belajar dari
pemerintah Orba yang relatif berhasil menangani masalah pangan, meskipun
punya kekurangan. Dulu, komoditas pangan strategis ditangani Bulog,
kepanjangan tangan pemerintah, sampai tingkat terbawah. Bulog bekerja sama
dengan koperasi dan lembaga lain menangani beras, kedelai, gula, dan
sebagainya.
Operasi pasar, strategi penentuan harga minimal/maksimal bisa
dilakukan dengan baik sehingga harga pangan relatif stabil. Kondisi itu bisa
membuat tenang petani dalam berproduksi dan membuat gembira rakyat karena
pasokan pangan berlimbah dan harganya pun relatif stabil. Sekarang mestinya
lembaga penyangga pangan kembali diaktifkan dengan merevitalisasi peran Bulog
melalui good corporate governance,
serta mendasarkan profesionalitas, transparansi, dan akuntabilitas.
Strategi
ke arah itu harus bisa cepat dicapai mengingat tahun ini kita punya hajat
besar, yaitu pileg dan pilpres. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar