Jumat, 17 Januari 2014

Mungkinkah Penjahat Ekologi Tobat?

Mungkinkah Penjahat Ekologi Tobat?

M Bashori Muchsin  ;  Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam Malang
MEDIA INDONESIA,  17 Januari 2014
                                                                                                                       


SAAT komunitas elitis berani dan congkak melakukan perbuatan dosa, memproduksi ketidakadilan, menganyam gaya hidup berkebinatangan, menyuburkan kezaliman, memekarkan kultur ‘penjarahan’ atau ‘perampokan’ hak-hak sesama, dan menjadikan wajah negeri ini semakin buram akibat praktik kleptokrasi yang tumbuh subur di mana-mana, idealnya mereka (komunitas elitis) tidak ciut nyali jika ada prediksi yang menyebut pascaterjadinya bencana alam di beberapa daerah, di kemudian hari masih akan banyak bencana yang mengeksplosi dan potensial menghancurleburkan Indonesia.

Saat bencana mengeksplosi, kita serta-merta menyebut, “Tuhan sudah tidak lagi memartabatkan kita.” Kita tempatkan Tuhan sebagai akar masalah utama terjadinya dan maraknya bencana. Tuhan kita identikkan sebagai sumber problematik bencana.
Dengan merasa sebagai manusia pintar yang bisa memahami mata rantai dan akar bencana secara ilmiah, mengapa tidak saja langsung mendeklarasi kalau datangnya azab, musibah, atau bencana itu bisa dilacak sumbernya dan bisa dicegah sejak dini dengan menggunakan paradigma akademis? Atau mengapa tidak berani menyebut secara terbuka kalau kepintarannya di bidang sains masih lebih baik dan superioritas jika dibandingkan dengan Tuhan? Sikap arogan itu ternyata lenyap secara instan ketika Tuhan memang tidak kenal kata bosan dalam menjatuhkan (mengirimkan) bencana dalam kehidupan manusia negeri ini yang perilaku kleptokrasinya masih jadi `jawara'. Lewat bencana yang menyapa, Tuhan masih menawarkan kesempatan pada kita untuk berzikir kepada-Nya, mau merekonstruksi komitmen spiritualitas pada alam.

Tuhan memang sering mengirimkan bencana `tingkat lanjut' dan berlapis, serta eksplosif supaya manusia tidak kenal lelah untuk melakukan evaluasi atas segala perilaku nakal dan kriminalnya terhadap makhluk lain di muka bumi. Sakitnya makhluk lain di muka bumi dapat membuatnya menjadi marah dan berbalik menyakiti manusia yang telah menyakitinya.

Pelajaran tingkat lanjut' yang dikirimkan Tuhan merupakan kado spiritualitas manusia dan bangsa ini. Pelajaran ini tetap diberikan-Nya karena manusia dan bangsa ini gampang mengidap penyakit amnesia atau lupa ingatan, kalau sudah pernah berkali-kali disusahkan atau dibuat merana oleh bencana, di samping mereka diajak berselancar memasuki dan mengakrabi ranah spiritualitas bahwa `Tuhan masih ada di negeri ini'.

Tanda pengingat

Bencana memang telah meninggalkan problem kemanusiaan yang sangat komplikatif seperti kekurangan cadangan pangan, kelaparan, penyakit, kekurangan gizi, terbengkalainya pendidikan, dan kemiskinan massal. Akan tetapi secara umum, kerap kali kita, masyarakat Indonesia (secara umum), dalam waktu yang tidak lama gampang diserang penyakit amnesia. Padahal meminjam istilah Emha Ainun Najib, `Tuhan bersama kita' (2008), memberikan peringatan dan sekaligus menyayangi kita lewat bencana.

Dalam bencana itu Tuhan memang bersama kita. Dari kebersamaan-Nya ini, kita dididik men jadi hamba yang peduli, sadar, dan benarbenar masih `hamba' bahwa dirinya bukan Tuhan yang berhak disembah dan tidak berhak mengorbankan sesamanya, termasuk memproduksi petaka kemanusiaan atau berbagai bentuk musibah bagi sesama manusia dan makhluk Tuhan lainnya.

Bencana itu menjadi pertanda Tuhan sedang mengingatkan dalam ranah kehidupan manusia ini ada yang perlu diluruskan. Selain itu, banyak yang perlu didekonstruksi, perlu lebih digiatkan gerakan jihad spiritualitas dan humanitas, atau tidak sedikit `najisnajis' di negeri ini yang perlu direhabilitasi baik secara fisik maupun (lebih-lebih) secara moral-spiritual, supaya manusia bisa kembali bersama Tuhan.

Kebersamaan Tuhan itu sejatinya merupakan kritik radikal terhadap sepak terjang manusia yang sedang mengidap penyakit berat dan kronis dalam ucap, sikap, dan perilakunya. Dalam bencana ini, Tuhan bermaksud memberikan obat keras yang dise suaikan atau diadaptasikan dengan kondisi pe nyakit memba hayakan yang mengidap manusia. Persoalannya, pahamkah atau sadarkah manu sia bahwa Tuhan sedang berusaha menyembuhkan dirinya ini?

Ketika bencana sudah berlalu dan dimuseumkan se jarah pergulat an (kesibukan) hidup manusia, nyanyian kepedihan dan solidaritas, termasuk waspada terhadap bencana, pun ikut lenyap. Bahkan upaya menggali akar fundamental dari bencana pun dinafikan, seperti dosa-dosa yang kita perbuat tidak kita tempatkan sebagai sumber kemurkaan Tuhan.

Menyaksikan manusia yang bangga dan gembira dengan dosa atau kejahatan extraordinary bertemakan kleptokrasi (permalingan) yang disemaikan di negeri ini, tentulah campur tangan Tuhan atau intervensi keilahiahan sebagai `hakim' tidak bisa dihindari. Apalagi ketika aparat di negeri ini juga gagal mengerem laju ketidakadaban atau praktikpraktik kebinatangannya sendiri. Mereka sibuk jadi maling atas nama jabatan, kekuasaan, dan kitab-kitab legislasi yang diproduksi negara.

Negeri pencoleng

Sudah demikian sering kita dipertontonkan praktikpraktik elemen negara yang menempati kursi privilitas sebagai pelayan rakyat, arsitek bekerjanya hukum dan penentu keadilan. Namun, dalam realitasnya mereka justru terperangkap menjadi elemen penyebaran dan penguatan negeri ini berwajah negeri kleptokrasi, suatu potret negeri yang dihuni dan `dimeriahkan' para maling, pencoleng, dan penjarah-penjarah cendekia (Masdar LK, 2012)

“Tidak disebut beriman untuk seseorang yang tidak (menjalankan) amanat, dan tidak beragama untuk seseorang yang tidak menepati janjinya,“ sabda Nabi Muhammad SAW, yang menunjukkan standar moral yang sangat menentukan kondisi keimanan (keagamaan) seseorang. Kegagalan menjalankan amanat atau jadi pengkhianat identik dengan membuka jalur vis a vis dengan Tuhan. Ketika jalur itu ditahbiskannya, Tuhanlah yang kemudian memainkan peran sebagai `hakim' yang berkompeten mengadilinya.

Amuk alam seperti gempa bumi, tanah longsor, banjir bandang, atau gunung meletus ialah `bahasa' lain hukumanNya atas perbuatan manusia atau komunitas elite kekuasaan yang sudah berakrabakrab atau bersahabat karib dengan dosa atau kezaliman struktural.

Alam, misalnya, berani menggunakan bahasa amuknya, pasalnya ia sudah didaulat Tuhan sebagai `rasul' yang bertugas memperingatkan dan menghukum, serta membinasakan manusia. Dalam tahap peringatan hingga menghukum, amuk alam sudah berkali-kali menyapa manusia.

Arogansi manusia atas karya-karyanya yang mampu melambungkan prestasi dan reputasi sosial, politik, budaya, dan pendidikan menjadi tidak berharga, lenyap seketika, atau hancur total ketika alam mengamuk, alam memberi peringatan, dan alam menjatuhkan vonis berupa hukuman.

Barangkali akan menjadi mengerikan jika tahapan pembinasaan dan pembumihangusan dilakukan alam. Tahapan itu bukan kemustahilan, pasalnya ayat-ayat Tuhan sudah menentukan, manakala manusia semakin sombong dengan pembangkangan terhadap ayat-ayat-Nya atau menjadikan dosa-dosa dan perbuatan zalimnya pada rakyat sebagai neoabsolutismenya, tahapan mengerikan itu niscaya sulit dihindari manusia.

Tahapan mengerikan berupa pemusnahan manusia atau setidaknya penghancuran alam dalam dosis membesar bukan hal yang tidak mungkin.

Apalagi jika kecenderungan manusia terus menuju dan melaju pada pengabsolutan kreasi ketidakadabannya dalam hubungannya dengan sesama manusia, makhluk Tuhan lainnya, dan kepada Tuhan sendiri.

Opsi yang layak ideal diajukan untuk mencegah kemungkinan vonis penghancuran total ialah penaubatan, yang oleh Imam Al-Ghazali bukan sekadar jera terhadap dosadosa yang pernah diperbuatnya, melainkan juga tidak akan mengulang dosa-dosa terdahulunya di kemudian hari.

Kondisi destruksi ekologis yang menjadi akar utama berbagai bencana alam tak lepas dari perilaku kleptokrat elite yang suka menahbiskan sindikasi kriminalisasinya sehingga untuk mencegah bencana yang lebih besar, pertobatannya menjadi syarat wajib yang harus ditunaikannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar