Mungkinkah
Penjahat Ekologi Tobat?
M Bashori Muchsin ; Direktur
Program Pascasarjana Universitas Islam Malang
|
MEDIA
INDONESIA, 17 Januari 2014
SAAT komunitas elitis berani dan congkak
melakukan perbuatan dosa, memproduksi ketidakadilan, menganyam gaya hidup
berkebinatangan, menyuburkan kezaliman, memekarkan kultur ‘penjarahan’ atau
‘perampokan’ hak-hak sesama, dan menjadikan wajah negeri ini semakin buram
akibat praktik kleptokrasi yang tumbuh subur di mana-mana, idealnya mereka
(komunitas elitis) tidak ciut nyali jika ada prediksi yang menyebut
pascaterjadinya bencana alam di beberapa daerah, di kemudian hari masih akan
banyak bencana yang mengeksplosi dan potensial menghancurleburkan Indonesia.
Saat bencana mengeksplosi, kita
serta-merta menyebut, “Tuhan sudah tidak lagi memartabatkan kita.” Kita
tempatkan Tuhan sebagai akar masalah utama terjadinya dan maraknya bencana.
Tuhan kita identikkan sebagai sumber problematik bencana.
Dengan merasa sebagai manusia
pintar yang bisa memahami mata rantai dan akar bencana secara ilmiah, mengapa
tidak saja langsung mendeklarasi kalau datangnya azab, musibah, atau bencana
itu bisa dilacak sumbernya dan bisa dicegah sejak dini dengan menggunakan
paradigma akademis? Atau mengapa tidak berani menyebut secara terbuka kalau
kepintarannya di bidang sains masih lebih baik dan superioritas jika
dibandingkan dengan Tuhan? Sikap arogan itu ternyata lenyap secara instan
ketika Tuhan memang tidak kenal kata bosan dalam menjatuhkan (mengirimkan)
bencana dalam kehidupan manusia negeri ini yang perilaku kleptokrasinya masih
jadi `jawara'. Lewat bencana yang menyapa, Tuhan masih menawarkan kesempatan
pada kita untuk berzikir kepada-Nya, mau merekonstruksi komitmen
spiritualitas pada alam.
Tuhan memang sering mengirimkan
bencana `tingkat lanjut' dan berlapis, serta eksplosif supaya manusia tidak
kenal lelah untuk melakukan evaluasi atas segala perilaku nakal dan
kriminalnya terhadap makhluk lain di muka bumi. Sakitnya makhluk lain di muka
bumi dapat membuatnya menjadi marah dan berbalik menyakiti manusia yang telah
menyakitinya.
Pelajaran tingkat lanjut' yang
dikirimkan Tuhan merupakan kado spiritualitas manusia dan bangsa ini. Pelajaran
ini tetap diberikan-Nya karena manusia dan bangsa ini gampang mengidap
penyakit amnesia atau lupa ingatan, kalau sudah pernah berkali-kali
disusahkan atau dibuat merana oleh bencana, di samping mereka diajak
berselancar memasuki dan mengakrabi ranah spiritualitas bahwa `Tuhan masih
ada di negeri ini'.
Tanda
pengingat
Bencana memang telah meninggalkan
problem kemanusiaan yang sangat komplikatif seperti kekurangan cadangan
pangan, kelaparan, penyakit, kekurangan gizi, terbengkalainya pendidikan, dan
kemiskinan massal. Akan tetapi secara umum, kerap kali kita, masyarakat
Indonesia (secara umum), dalam waktu yang tidak lama gampang diserang
penyakit amnesia. Padahal meminjam istilah Emha Ainun Najib, `Tuhan bersama
kita' (2008), memberikan peringatan dan sekaligus menyayangi kita lewat
bencana.
Dalam bencana itu Tuhan memang
bersama kita. Dari kebersamaan-Nya ini, kita dididik men jadi hamba yang
peduli, sadar, dan benarbenar masih `hamba' bahwa dirinya bukan Tuhan yang
berhak disembah dan tidak berhak mengorbankan sesamanya, termasuk memproduksi
petaka kemanusiaan atau berbagai bentuk musibah bagi sesama manusia dan
makhluk Tuhan lainnya.
Bencana itu menjadi pertanda Tuhan
sedang mengingatkan dalam ranah kehidupan manusia ini ada yang perlu
diluruskan. Selain itu, banyak yang perlu didekonstruksi, perlu lebih
digiatkan gerakan jihad spiritualitas dan humanitas, atau tidak sedikit
`najisnajis' di negeri ini yang perlu direhabilitasi baik secara fisik maupun
(lebih-lebih) secara moral-spiritual, supaya manusia bisa kembali bersama
Tuhan.
Kebersamaan Tuhan itu sejatinya
merupakan kritik radikal terhadap sepak terjang manusia yang sedang mengidap
penyakit berat dan kronis dalam ucap, sikap, dan perilakunya. Dalam bencana
ini, Tuhan bermaksud memberikan obat keras yang dise suaikan atau diadaptasikan
dengan kondisi pe nyakit memba hayakan yang mengidap manusia. Persoalannya,
pahamkah atau sadarkah manu sia bahwa Tuhan sedang berusaha menyembuhkan
dirinya ini?
Ketika bencana sudah berlalu dan
dimuseumkan se jarah pergulat an (kesibukan) hidup manusia, nyanyian
kepedihan dan solidaritas, termasuk waspada terhadap bencana, pun ikut
lenyap. Bahkan upaya menggali akar fundamental dari bencana pun dinafikan,
seperti dosa-dosa yang kita perbuat tidak kita tempatkan sebagai sumber
kemurkaan Tuhan.
Menyaksikan manusia yang bangga
dan gembira dengan dosa atau kejahatan extraordinary
bertemakan kleptokrasi (permalingan) yang disemaikan di negeri ini, tentulah
campur tangan Tuhan atau intervensi keilahiahan sebagai `hakim' tidak bisa
dihindari. Apalagi ketika aparat di negeri ini juga gagal mengerem laju
ketidakadaban atau praktikpraktik kebinatangannya sendiri. Mereka sibuk jadi
maling atas nama jabatan, kekuasaan, dan kitab-kitab legislasi yang
diproduksi negara.
Negeri
pencoleng
Sudah demikian sering kita
dipertontonkan praktikpraktik elemen negara yang menempati kursi privilitas
sebagai pelayan rakyat, arsitek bekerjanya hukum dan penentu keadilan. Namun,
dalam realitasnya mereka justru terperangkap menjadi elemen penyebaran dan
penguatan negeri ini berwajah negeri kleptokrasi, suatu potret negeri yang
dihuni dan `dimeriahkan' para maling, pencoleng, dan penjarah-penjarah
cendekia (Masdar LK, 2012)
“Tidak disebut beriman untuk
seseorang yang tidak (menjalankan) amanat, dan tidak beragama untuk seseorang
yang tidak menepati janjinya,“ sabda Nabi Muhammad SAW, yang menunjukkan
standar moral yang sangat menentukan kondisi keimanan (keagamaan) seseorang.
Kegagalan menjalankan amanat atau jadi pengkhianat identik dengan membuka
jalur vis a vis dengan Tuhan. Ketika jalur itu ditahbiskannya, Tuhanlah yang
kemudian memainkan peran sebagai `hakim' yang berkompeten mengadilinya.
Amuk alam seperti gempa bumi,
tanah longsor, banjir bandang, atau gunung meletus ialah `bahasa' lain
hukumanNya atas perbuatan manusia atau komunitas elite kekuasaan yang sudah
berakrabakrab atau bersahabat karib dengan dosa atau kezaliman struktural.
Alam, misalnya, berani menggunakan
bahasa amuknya, pasalnya ia sudah didaulat Tuhan sebagai `rasul' yang
bertugas memperingatkan dan menghukum, serta membinasakan manusia. Dalam
tahap peringatan hingga menghukum, amuk alam sudah berkali-kali menyapa
manusia.
Arogansi manusia atas
karya-karyanya yang mampu melambungkan prestasi dan reputasi sosial, politik,
budaya, dan pendidikan menjadi tidak berharga, lenyap seketika, atau hancur
total ketika alam mengamuk, alam memberi peringatan, dan alam menjatuhkan
vonis berupa hukuman.
Barangkali akan menjadi mengerikan
jika tahapan pembinasaan dan pembumihangusan dilakukan alam. Tahapan itu
bukan kemustahilan, pasalnya ayat-ayat Tuhan sudah menentukan, manakala
manusia semakin sombong dengan pembangkangan terhadap ayat-ayat-Nya atau
menjadikan dosa-dosa dan perbuatan zalimnya pada rakyat sebagai
neoabsolutismenya, tahapan mengerikan itu niscaya sulit dihindari manusia.
Tahapan mengerikan berupa
pemusnahan manusia atau setidaknya penghancuran alam dalam dosis membesar
bukan hal yang tidak mungkin.
Apalagi jika kecenderungan manusia terus menuju dan melaju pada pengabsolutan
kreasi ketidakadabannya dalam hubungannya dengan sesama manusia, makhluk
Tuhan lainnya, dan kepada Tuhan sendiri.
Opsi yang layak ideal diajukan
untuk mencegah kemungkinan vonis penghancuran total ialah penaubatan, yang
oleh Imam Al-Ghazali bukan sekadar jera terhadap dosadosa yang pernah diperbuatnya,
melainkan juga tidak akan mengulang dosa-dosa terdahulunya di kemudian hari.
Kondisi destruksi ekologis yang
menjadi akar utama berbagai bencana alam tak lepas dari perilaku kleptokrat
elite yang suka menahbiskan sindikasi kriminalisasinya sehingga untuk
mencegah bencana yang lebih besar, pertobatannya menjadi syarat wajib yang harus
ditunaikannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar