Adopsi
Sistem Pendidikan Jepang
Bambang Triatmojo ; Guru Besar Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan,
Fakultas Teknik Universitas Gadjah
Mada
|
KOMPAS,
17 Januari 2014
Semakin hari kualitas bangsa ini
semakin menurun. Seorang siswa berangkat ke sekolah bukannya membawa
perlengkapan sekolah, melainkan air keras yang kemudian disiramkan ke
penumpang bus. Kelakuan yang tidak masuk akal sehat. Mengapa remaja kita
berlaku demikian? Adakah yang salah dengan sistem pendidikan kita?
Dalam 30 tahun terakhir,
pemerintah telah lima kali mengganti kurikulum. Setiap terjadi perubahan
disebutkan bahwa kurikulum terbaru lebih baik.
Namun, kenyataannya, dalam
beberapa tahun terakhir, akhlak, moral, karakter, perilaku, dan nasionalisme
bangsa ini semakin tergerus.
Kualitas pendidikan selalu berada
di peringkat bawah dibandingkan dengan negara-negara lain. Kalau sudah
berkali-kali kurikulum disempurnakan, sementara hasilnya tidak signifikan,
mestinya ada yang salah dengan kurikulum tersebut.
Perilaku pelajar sangat
memprihatinkan dengan banyaknya tawuran, kekerasan, merokok, membolos,
melakukan perbuatan asusila, tindak kriminal, menonton video porno, seks
bebas, narkoba, dan berbagai tindakan tidak terpuji lainnya.
Kalau sudah begitu, siapakah yang
salah? Pelajar, orangtua, guru, lingkungan, ataukah pemerintah?
Kita tidak bisa semata-mata
menyalahkan pelajar karena mereka adalah produk dari sistem pendidikan dan
lingkungan yang kita ciptakan.
Bagaimana membuat ajaran guru dan
orangtua, yakni kejujuran, keadilan, kesederhanaan, sikap tenggang rasa,
kesetiaan, satunya kata dan perbuatan, terus dipraktikkan anak hingga akhir
hayatnya?
Mengapa kita tidak meniru saja
sistem pendidikan Jepang yang jelas-jelas telah menghasilkan bangsa yang
berkualitas, bermoral, dan berkepribadian?
Tentu saja dengan tanpa
meninggalkan muatan lokal sesuai dengan kepribadian bangsa, seperti agama dan
Pancasila.
Riwayat Jepang
Jepang telah berhasil membangun
sistem pendidikan nasional yang membawa bangsa tersebut keluar dari
keterbelakangan dan kemiskinan menjadi bangsa yang sangat maju, bermoral, dan
tetap menjunjung tinggi budaya.
Sebelum Restorasi Meiji, Jepang
diperintah oleh diktator militer Soghun Tokugawa yang mengisolasi diri dari
pengaruh asing. Rakyat hidup dalam ketertindasan, kemiskinan, dan kelaparan.
Pada masa itu, pendidikan
merupakan pendidikan untuk samurai, petani, tukang, dan pedagang. Pendidikan
dilaksanakan di kuil dengan bimbingan para pendeta.
Setelah Restorasi Meiji, Jepang
mengadopsi pendidikan Barat dan melakukan modernisasi di berbagai bidang.
Pelajar yang berpotensi dikirim ke
Eropa dan Amerika Serikat untuk memperdalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Begitu selesai pendidikan, mereka
kembali untuk membangun negara. Berbagai macam buku Barat diterjemahkan dan
diterbitkan. Lebih dari 3.000 orang Eropa dan Amerika didatangkan sebagai
tenaga pengajar.
Jepang melakukan westernisasi
berbagai bidang, termasuk teknologi, sosial, ekonomi, budaya, militer,
konstitusi, dan bahkan cara berpakaian dan model rambut.
Hanya dalam waktu sekitar 30
tahun, Jepang berubah menjadi negara modern dan maju; sejajar dengan bangsa
Barat.
Bagaimana dengan Indonesia? Kalau
Jepang bisa maju karena mereka meniru sistem pendidikan Barat, kenapa kita
tidak mengikuti jejaknya? Apakah tidak sebaiknya kita meniru sistem
pendidikan Jepang yang telah secara nyata menjadikan negara tersebut sangat
hebat?
Tujuan pendidikan Jepang serupa
dengan tujuan pendidikan kita. Namun, cara pengajarannya sedemikian baik
sehingga tujuan tercapai.
Kirim orang-orang terbaik untuk
mempelajari sistem pendidikan Jepang dalam mendidik anak-anak TK, SD, SMP,
SMA, sampai perguruan tinggi, dan kemudian menerapkannya di Indonesia.
Perhatian terutama pada metode dan
kurikulum untuk menjadikan para peserta didik
manusia yang berkarakter,
jujur, pekerja keras, berjiwa ksatria, hormat kepada yang lebih tua,
bertanggung jawab, dan menjunjung tinggi kode etik dan tata karma.
Mulai segera
Kurikulum 2013 telah diberlakukan
di Indonesia. Akankah kita menunggu lima tahun lagi untuk mengevaluasi
berhasil atau tidaknya?
Kalau itu yang dilakukan,
celakalah bangsa ini jika ternyata kurikulum tersebut tidak lebih baik.
Padahal, sebenarnya kita tidak perlu mengubah banyak, cukup menyesuaikan
silabus dan cara pengajarannya.
Misalnya saja, untuk menghindari
kenakalan remaja, kegiatan belajar-mengajar di SMP dan SMA dilaksanakan
secara menerus sampai sore hari dengan berbagai kegiatan ekstrakurikuler.
Kita perlu meniru bagaimana para
guru di Jepang memberikan pendidikan moral secara berkelanjutan di setiap
jenjang kelas dan merupakan bagian tidak terpisahkan dengan mata pelajaran
lainnya.
Untuk memahami teori yang
diajarkan, para peserta didik melakukan berbagai eksperimen dan pengamatan.
Mereka juga diajar untuk melakukan
kegiatan secara berkelompok untuk membangun kerja sama, toleransi, dan saling
membantu. Berbeda dengan kita yang lebih banyak memberikan tugas secara
individual dan berkompetisi antarsiswa.
Bangsa Jepang terkenal dengan
kerja sama tim yang sangat baik. Ada yang mengatakan bahwa satu profesor
Amerika lebih hebat daripada satu profesor Jepang, tetapi sepuluh profesor
Jepang lebih hebat daripada sepuluh profesor Amerika. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar