Gaya
Hidup Berangsur Berubah
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 17 Januari 2014
SETENGAH abad yang lalu,
masyarakat tentu tidak mengira kehidupan kita akan seperti sekarang. Spirit
memberikan pengorbanan demi membangkitkan rasa kebangsaan, kemudian diikuti
munculnya semangat pembangunan fisik. Namun, setelah lebih setengah abad
membangun, sekarang kita sebenarnya belum bisa menyebut diri The Leisure Class, sebab masih banyak
warga yang serbakekurangan.
Thorstein Veblen (1857-1929),
sosiolog dan ahli ekonomi Amerika, menjadikan the leisure class (kelas yang
menikmati hidup) sebagai tema buku The
Theory of The Leisure Class (1899). Intinya, buku itu menegaskan;
kekayaan dianggap memberikan prestise kepada pemiliknya bila kekayaan itu
dipamerkan atau diobral. Sekadar contoh; tugas istri kelas tinggi di sana
waktu itu ‘membuang-buang waktu dan uang’ untuk meningkatkan prestise suami.
Perilaku itu membuktikan suaminya memiliki kekayaan cukup besar untuk
diobral. Di era itu, perempuan-perempuan Barat tingkat atas, misalnya, berpakaian
sedemikian rupa hingga tidak mudah bergerak cepat, apalagi mengerjakan
pekerjaan kasar seperti memasak atau mencuci pakaian yang mereka anggap
pekerjaan ‘rendah’ yang dapat menurunkan martabat. Veblen beraliran sosialis.
Revolusi Industri (abad ke18 dan
ke-19), disusul Perang Dunia I (1914-1948), mengubah struktur sosial. Selain
banyak kaum tani pindah kerja ke bidang industri, kaum perempuan pun mulai
memiliki pilihan apakah tetap bekerja di rumah atau mencari jenis pekerjaan
lain di luar. Ini mengakibatkan tesis Veblen sekarang tidak sepenuhnya
berlaku di sana karena perempuan kalangan bawah tidak selalu bersedia bekerja
sebagai pembantu.
Walaupun pemborosan uang dan waktu
masih terjadi karena dianggap prestise, kalangan atas yang sudah begitu nyata
kaya tidak merasa perlu lagi pamer. Di zaman egaliter, pameran kekayaan
malahan dianggap selera rendah, kecuali di kalangan nouveaux riches atau OKB (orang kaya baru). Di kalangan priayi
Jawa, ada cerita wayang Petruk Jadi Raja yang menggambarkan OKB yang
hedonistis; yang kesenangan dan kenikmatan materi menjadi tujuan hidup. Cerita
itu mengandung pesan bahwa sikap demikian malahan menjauhkan mereka dari
kelas atas murni.
Persepsi
elite
Bila mengikuti gaya hidup
masyarakat kelas atas Indonesia sekarang, ada kesan sikap hedonistis masih
ada. Mungkin sisa zaman penjajahan. Gaya hidup kelompok elite yang dilukiskan
para sosiolog Barat terlahir dari pengalaman dan pengamatan seseorang sejak
kecil dalam lingkungan keluarga kelas atas; juga dari lingkungan pergaulan
dan sekolah yang terpilih. Gaya hidup yang demikian tidak dapat semena-mena
ditiru mereka yang datang dari lingkungan yang berbeda. Secara fi sik,
sekarang kadang-kadang perbedaan yang ada antara stratum paling atas dan
berikutnya tidak kentara hingga sulit bisa dikenali, apalagi ditiru.
Lingkungan membentuk pribadi manusia.
JC Wright Mills, sosiolog Amerika
(1961-1962), dalam karyanya The Power
Elite (1956) melukiskan elite metropolitan berbeda dari kelompok-kelompok
lain karena latar belakang, penampilan, dan perilaku mereka. Bentuk rumah,
tatanan rumah, dan cara mereka berpakaian mencerminkan posisi elite.
Barang-barang yang dibeli mungkin tidak kelihatan mahal, namun berselera
tinggi. Barang-barang itu pun bukan untuk sengaja dipamerkan, tetapi sudah
menjadi bagian hidup mereka.
Tuntutan
Modernisasi
Kebiasaan kita mempekerjakan
pembantu rumah tangga seperti di masa lalu sebenarnya tidak sesuai lagi
dengan semangat egaliter era modern. Dengan peningkatan pendidikan, kebiasaan
ini pastinya akan berangsur berlalu. Pelan-pelan kelas bawah akan
meningkatkan posisi. Ini terjadi di negara-negara Barat yang dulunya pun
mengenal kebiasaan ini. Yang kemudian terjadi, jenis pekerjaan sebagai
pembantu sekarang memang masih ada di negara-negara maju, tetapi tidak ada
lagi eksploitasi. Antara majikan dan pembantu ada sikap saling menghormati.
Tidak ada sikap menganggap rendah. Paling tidak terefl eksi dalam sistem
penggajian. Gejala ini perlu mendapat perhatian. Jangan sampai kita nanti
dikenal sebagai negara pengekspor tenaga kerja (TKI) terbesar di Asia hanya
karena tidak mampu memberi upah memadai.
Sebenarnya embrio berupa demo-demo
buruh bisa diangap merintis kesadaran tentang ketidakadilan yang terjadi di
masyarakat. Sementara ini, mungkin mayoritas kalangan bawah kita masih belum
berdaya. Tetapi peningkatan pendidikan dan pergaulan, antara lain dipicu
kemajuan komuniksi yang datang dalam berbagai bentuk dari berbagai arah, akan
lebih menyadarkan mereka. Sekarang pun tidak mudah lagi mencari pembantu
laki-laki, misalnya. Sekalipun kurang pendidikan, mereka lebih memilih
menjadi buruh bangunan, bekerja di pabrik, atau bertualang di jalanan untuk
mendapatkan upah mudah seperti menjadi Pak Ogah, tukang parkir, joki, atau
pengamen. Kaum muda memilih meninggalkan profesi lama sebagai petani. Mereka
ingin bebas sekalipun penghasilan kurang memadai. Pragmatisme menjadi ciri
modernisasi.
Berapa lama proses ini akan
berlangsung? Perubahan wawasan mayoritas kaum muda tentang masa depan
membutuhkan penelitian dan perencanaan yang berbeda pula. Dalam rangka Pemilu
2014, fakta ini tidak bisa diabaikan dalam agenda partai-partai politik.
Mungkin mendengarkan harapan-harapan kaum muda dari kalangan menengah ke
bawah, yang berpendidikan tingkat menengah ke bawah, bermanfaat bagi masa
depan partai karena bukan hanya masyarakat umum yang diharapkan mengantisipasi
perubahan gaya hidup di era modern. Partai-partai politik, sebagai
pilar-pilar negara, diharapkan selalu mengikuti perkembangan ini dan tidak
segan mengadakan perubahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar