Menuju
Realisasi Integrasi HAM
Munafrizal Manan ; Alumnus University of Melbourne, Australia;
Mahasiswa Utrecht University School of Law, Belanda
|
KOMPAS,
15 Januari 2014
DALAM perspektif hak asasi manusia, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
sebagai implementasi dari Sistem Jaminan Sosial Nasional berkaitan erat
dengan hak-hak sosial warga negara dan negara wajib memenuhinya.
Berlakunya Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sejak 1 Januari 2014, akan
diikuti oleh BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Juli 2015, merupakan momentum mulai
memosisikan hak-hak sosial—dan seharusnya juga hak ekonomi dan budaya—sejajar
dengan hak-hak sipil dan politik.
Pengalaman
panjang dibelenggu oleh rezim otoriter agaknya telah membentuk kesadaran
kolektif bangsa kita untuk lebih memprioritaskan hak-hak sipil dan politik
daripada hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob). Sesudah berakhirnya
rezim otoriter, prioritas pertama tampaknya diberikan pada pemulihan hak-hak
sipil dan politik, baru kemudian diikuti oleh hak-hak ekosob. Pengalaman
seperti ini juga terjadi di banyak negara lain pasca-rezim otoriter.
Dua faktor penyebab
Anggaran Rp
19,93 triliun telah dialokasikan dalam APBN 2014 untuk pembiayaan BPJS
Kesehatan dan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk menjamin
kesehatan sebanyak 86,4 juta warga yang sangat miskin, miskin, dan rentan
miskin. Meskipun kita belum tahu pasti hasil akhirnya, dan sering dinilai
buruk dalam soal implementasi, ini adalah terobosan yang layak diapresiasi.
Jika implementasinya sukses, tentu rakyat akan menuai manfaat nyata
meningkatkan standar kualitas hidup mereka.
Bandingkan dengan
berapa banyak anggaran negara telah digelontorkan sejak era reformasi untuk
pemenuhan hak-hak politik. Contoh paling mencolok adalah pembiayaan pemilihan
umum (pemilu) nasional. Meskipun tidak menemukan data resmi yang akurat, dari
sumber media daring disebutkan bahwa biaya untuk Pemilu 1999 mencapai Rp 1,3
triliun, Pemilu 2004 sekitar Rp 6 triliun, Pemilu 2009 Rp 8,5 triliun, dan
Pemilu 2014 Rp 16,2 triliun.
Biaya pemenuhan
hak-hak politik ternyata sangat mahal dan selalu meningkat setiap pemilu. Ini
belum termasuk biaya-biaya lain yang legal maupun ilegal, yang terkait dengan
pesta demokrasi itu. Belum pula termasuk biaya pemilihan kepala daerah yang
berserak di sejumlah provinsi, kota, dan kabupaten seluruh Indonesia. Kini
saatnya dibuat terobosan kebijakan/hukum menyusutkan biaya hak-hak politik
tanpa mengurangi substansi pemenuhan hak asasinya.
Sedikitnya ada dua
faktor penyebab munculnya persepsi hak sipil dan politik lebih penting
didahulukan ketimbang hak-hak ekosob. Pertama, diadopsinya dua kovenan
HAM internasional secara terpisah pada tahun 1966 dan mulai berlaku tahun
1976, yaitu International Covenant on
Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
(ICESCR). Pemisahan ini seolah menjustifikasi adanya ketegangan intrinsik dan
dikotomik di antara dua kategori hak asasi manusia (HAM) tersebut.
Padahal, jika dilihat
konteks historis perumusan dua kovenan ini, pemisahan terjadi lebih dipicu
oleh perseteruan politis dan ideologis Perang Dingin saat itu. Akibatnya,
sebagian negara lebih mementingkan hak-hak sipil dan politik, sebagian lain
lebih mengutamakan hak-hak ekosob. Namun, dalam sejarah HAM dunia, hak-hak
ekosob cenderung mendapat perhatian sedikit dibandingkan hak sipil dan
politik.
Menurut Martin
Scheinin, instrumen HAM internasional umumnya tidak disusun secara dikotomik,
memisahkan hak-hak sipil dan politik dengan hak-hak ekosob, tetapi mencakup
semua kategori hak-hak asasi ini dalam satu instrumen HAM yang sama.
Contohnya adalah International
Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination
(1965), Convention on the Elimination
of All Forms of Discrimination Against Women (1979), Convention on the Rights of the Child (1989), dan Convention on the
Right of Person with Disabilities (2006) (dalam Krause dan Scheinin,
2012: 23).
Kedua, pengarusutamaan
hak-hak sipil dan politik daripada hak-hak asasi lainnya seolah mendapat
pembenaran melalui argumentasi Karel Vasak tentang klasifikasi periodisasi
perkembangan HAM yang dicetuskan tahun 1979. Vasak, yang ikut berkontribusi
merumuskan Deklarasi Universal HAM 1948, membagi sejarah perkembangan HAM
menjadi tiga periode secara berurut: periode hak-hak sipil dan politik;
periode hak ekonomi, sosial, dan budaya; serta periode hak-hak kelompok atau
kolektif. Klasifikasi periodisasi HAM seperti ini secara keliru sering
diartikan mengutamakan pemenuhan hak-hak sipil dan politik dahulu, baru
kemudian diikuti oleh hak-hak asasi lainnya.
Cara pandang di
atas problematik dan mendistrosi realisasi HAM secara integratif. Maka
Konferensi HAM Dunia di Vienna tahun 1993 kemudian menegaskan bahwa HAM
bersifat saling bergantung (interdependent)
dan tidak dapat dibagi (indivisible).
Antonio A
CanÇado Trindade, Wakil Presiden Mahkamah HAM Inter-American dan profesor
hukum internasional, menekankan pentingnya konsepsi integral untuk promosi
dan proteksi totalitas hak-hak sipil dan politik serta hak-hak ekosob (1998:
515). Amartya Sen melalui buku Development as Freedom (1999)
berargumen, dikotomi hak-hak sipil dan politik serta hak-hak ekosob dalam
praktik sebetulnya tidak relevan karena keduanya sama-sama penting.
Mesti integral dan
simultan
John Peters Humphrey,
penulis draf pertama Deklarasi Universal HAM 1948, mengakui, tanpa hak-hak
ekosob, maka hak-hak sipil dan politik hanya bermakna sedikit bagi banyak
orang (1973: 101). Apa maknanya hak sipil jika manusia hidup dalam
kondisi subhuman? Apa pula maknanya hak politik jika manusia meregang
nyawa karena kelaparan atau tak mampu berobat?
Kini semakin diyakini,
penghormatan (respect),
perlindungan (protec), dan
pemenuhan (fulfil) hak-hak sipil
dan politik harus dilakukan secara integral dan simultan dengan pemenuhan
hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Semoga peresmian BPJS Kesehatan dan
peluncuran program JKN sebagai komitmen tulus menuju realisasi integrasi HAM
bukan sebagai tunggangan politik untuk kepentingan Pemilu 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar