Menggugat
Partai Politik
Reza Syawawi ; Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency International Indonesia
|
KOMPAS,
15 Januari 2014
MUNGKIN hanya terjadi di
Indonesia, partai politik seolah menjadi entitas yang tak tersentuh hukum.
Tidak menjadi masalah ketika para politikus berbondong-bondong menjadi
pesakitan karena didakwa korupsi.
Termasuk hal yang lumrah juga
ketika partai politik tidak disiplin terkait dengan pelaporan keuangannya.
Padahal, pendanaan partai politik menjadi kunci utama untuk melihat sejauh
mana partai menggunakan sumber pendanaan yang ”halal”.
Di lain pihak, publik mungkin juga
tidak punya cukup corong untuk ”menghukum” partai politik, sementara sistem
kepartaian dan sistem perwakilan tidak mengakomodasi wewenang publik untuk
turut campur dalam urusan internal partai politik. Dengan kata lain, publik
hanya dibutuhkan sebagai pemilih untuk meraih suara dalam pemilihan umum.
Diakui atau tidak, sistem semacam
ini justru semakin menjauhkan pemilih dengan wakil yang dipilihnya. Survei
Litbang Kompas (”Rapor Merah Kinerja Parpol”, 23/12) setidaknya
menjadi cermin ketidakpuasan publik atas kinerja partai politik.
Hasilnya cukup menyedihkan,
tingkat ketidakpuasan publik atas kinerja partai politik mencapai titik
terendah.
Penjatuhan pidana
Rendahnya kinerja parlemen dan
partai politik seiring sejalan dengan tingginya tingkat korupsi oleh para
politisi. Bahkan partai politik telah menjadi alat pengeruk uang untuk
membiayai kegiatan politiknya.
Dari sisi hukum, undang-undang
(UU) terlihat tak tegas saat partai politik menggunakan sumber pendanaan yang
dilarang. Ada kesan, politik legislasi sengaja dirancang untuk melepaskan
partai politik dari jerat hukum.
Setidaknya ada tiga UU yang bisa
dikomparasikan untuk melihat bagaimana legislator ”menyiasati” aturan terkait
dengan pendanaan partai politik. UU itu adalah UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik, UU No 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang (PPTPPU), serta UU No 31/1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Di dalam UU Partai Politik
dicantumkan larangan untuk menerima sumbangan dari pihak tertentu, seperti
dari pihak asing, orang/badan yang tak jelas identitasnya, melebihi batas
sumbangan, BUMN/BUMD/badan usaha milik desa, atau menggunakan fraksi di
parlemen sebagai sumber pendanaan partai (Pasal 40 Ayat 3).
Sayangnya, UU hanya memuat ancaman
pidana bagi individu pengurus partai politik jika melanggar larangan
tersebut. Partai politik secara institusi tidak akan dikenai pidana. Padahal,
pendanaan politik dijalankan sebagai bagian dari kegiatan institusi.
Hal berbeda justru diatur dalam UU
PPTPPU dan UU Tipikor. Kedua UU ini memungkinkan badan hukum dijatuhi pidana,
termasuk bagi partai politik. Bahkan dalam UU PPTPPU, sanksi pembubaran
terhadap badan hukum yang terbukti melakukan pencucian uang dapat dijatuhkan.
Sebagai badan hukum, partai
politik seharusnya bukanlah entitas yang kebal hukum. Sepanjang memenuhi
unsur untuk dijatuhi pidana, partai politik tidak bisa berkelit dari jeratan
hukum. Pengaturan yang berbeda dari ketiga UU ini tentu saja menjadi bukti,
ada upaya untuk melindungi partai politik melalui UU yang khusus mengatur
parpol.
Gugatan konstitusional
Di luar mekanisme hukum pidana
untuk memberikan sanksi kepada partai politik, ada satu mekanisme
konstitusional yang dimungkinkan untuk membubarkan partai politik. Mekanisme
tersebut dilakukan melalui lembaga peradilan, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK).
Sayangnya, pembubaran partai
politik melalui MK memiliki kendala dalam dua hal. Pertama, alasan pembubaran
secara eksplisit tidak dimungkinkan terhadap kejahatan korupsi dan pencucian
uang. Di dalam UU Parpol, pembubaran hanya dimungkinkan jika partai politik
melakukan kejahatan terhadap keselamatan dan keutuhan negara serta menganut,
mengembangkan, dan menyebarkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme.
Kedua, pengajuan permohonan untuk
membubarkan partai politik hanya bisa dilakukan pemerintah. Di dalam UU No
24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi jelas dibatasi bahwa yang berhak
mengajukan permohonan pembubaran partai politik hanyalah pemerintah (Pasal 68
Ayat 1).
Di tengah ketiadaan peran publik
dalam mengontrol partai politik, UU ini jelas telah ikut ”mengisolasi” hak
publik untuk menjalankan hak konstitusionalnya. Padahal, konstitusi sama
sekali tidak membatasi bahwa pembubaran partai politik hanya bisa diajukan
pemerintah.
Jadi, peluang mengajukan gugatan
konstitusional ke MK sangat terbuka lebar. Pemerintah tetap bisa menjadi
pihak jika kegiatan parpol terkait dengan kepentingan negara/pemerintah,
tetapi peran publik tidak bisa ditiadakan.
Parpol adalah institusi yang
menjalankan fungsi kepentingan publik sebagai penyerap, penghimpun, dan
penyalur aspirasi. Itu berarti, hampir semua fungsi dan tugas parpol
berhubungan langsung dengan publik, menjadi sangat tidak relevan jika fungsi
pengawasan publik terhadap partai politik ditiadakan.
Penghukuman, gugatan, atau apa pun
namanya sesungguhnya ditujukan agar parpol mau mengubah dirinya. Menggugat
partai politik tidaklah bertujuan membunuh demokrasi, tetapi justru untuk
memperbaiki demokrasi yang ”dirusak” partai politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar