Distorsi
Kekuasaan Demokratis
Novri Susan ; Sosiolog Universitas Airlangga, Direktur
Proyeksi Indonesia
|
KOMPAS,
15 Januari 2014
SELAMA 2013, demokrasi Indonesia
masih terdistorsi, antara lain ditandai dengan korupsi akut, kualitas
pelayanan publik rendah, dan masalah kemiskinan.
Pemimpin politik—pusat
dan daerah—merupakan penanggung jawab paling depan. Sebab mereka memiliki
sumber daya kekuasaan, yaitu kewenangan dan struktur pemerintahan untuk
mengorganisasi berbagai kebijakan. Sumber daya kekuasaan itu semestinya
didistribusikan berbasis pada prinsip demokrasi, seperti transparansi,
kompetensi, dan penegakan hukum.
Namun, praktik
distribusi sumber daya kekuasaan telah dibajak oligarki politik keluarga.
Praktik tersebut variabel mendasar yang memengaruhi bagaimana fungsi
kekuasaan demokrasi terdistorsi dari pelayan kepentingan umum jadi pelayan
kepentingan keluarga.
Distorsi kekuasaan
demokrasi merupakan kondisi yang diciptakan secara sistematis oleh
kepentingan seksional elite politik. Kepentingan seksional, yaitu kepentingan
yang mengutamakan diri dan segelintir orang terdekat, berakar kuat pada
imajinasi elitisme identitas dan hasrat kekayaan. Elitisme identitas
merupakan posisi istimewa dalam struktur sosial, diperoleh melalui
justifikasi moral historis seperti trah raja atau tokoh besar.
Hasrat kekayaan
merupakan akar kepentingan seksional selanjutnya yang lazim dijumpai pada
masyarakat manusia. Meskipun demikian, ketika hasrat kekuasaan bersekutu
dengan elitisme identitas, karakter politik predatoris yang serakah dan
menghalalkan segala cara pun lebih mungkin terlahir.
Elitisme identitas dan
hasrat kekayaan menemukan jejaring kerja kekuasaan yang paling efektif
melalui ikatan keluarga, seperti oligarki keluarga Soeharto pada era Orde
Baru. Politik berbasis pada ikatan keluarga menciptakan jejaring kerja sama
yang diikat oleh kepercayaan dan ikatan emosional untuk mengamankan
kepentingan seksional. Karakter politik predatoris diwujudkan dalam praktik
pendistribusian kekuasaan strategis terhadap anggota-anggota keluarga.
Jejaring tersebut merupakan oligarki keluarga yang kuat dan determinan
terhadap roda pemerintahan.
Pada konteks demokrasi
Indonesia, oligarki keluarga selalu ditandai oleh praktik mengontrol posisi
kunci dalam kekuasaan, seperti kepala pemerintahan dan ketua partai. Oleh
sebab itu, beberapa anggota keluarga selalu maju sebagai kandidat bupati,
wali kota, atau gubernur dan sekaligus menjadi elite dalam partai politik.
Oligarki keluarga
dalam demokrasi Indonesia makin tumbuh merata. Sebagaimana catatan Mendagri
Gemawan Fauzi, sedikitnya ada 56 praktik politik berbasis keluarga selama
periode demokrasi Indonesia. Oligarki keluarga dengan politik predatorisnya
menjadi sumbu distorsi kekuasaan demokrasi. Akibatnya, demokrasi hanyalah
pakaian luar, yang di dalamnya adalah kuasa oligarki keluarga yang terlalu
peduli pada kepentingan seksional. Program-program pembangunan tidak pernah
mencapai titik ideal sebab oligarki keluarga mengorupsinya habis-habisan.
Perlawanan proletariat
Saat ini DPR sedang
merevisi UU Pilkada terkait wacana antipolitik dinasti. Salah satu wacana
dalam naskah tersebut adalah pembatasan pencalonan anggota keluarga petahana
ikut maju dalam pilkada.
Namun, pelarangan
anggota keluarga petahana berkompetisi dalam proses pilkada masih belum
cukup. Oligarki keluarga dengan sumber daya kuat yang telah terbangun
memiliki kemampuan mencurangi berbagai regulasi. Terlebih lagi, oligarki
keluarga merupakan kelas borjuasi politik yang telah menjadi bagian dari
proses pembentukan sistem dan perundangan itu sendiri. Alhasil, UU Pilkada
tidak akan cukup menjinakkan kepentingan-kepentingan seksional mereka. Pada
kondisi inilah oligarki keluarga tidak cukup diregulasi, tetapi harus
dilawan.
Perlawanan itu tentu
dari kelas masyarakat bawah yang sesungguhnya tereksploitasi, tetapi tidak
sadar. Karl Marx menggunakan istilah kelas proletariat. Kelas yang selalu
dieksploitasi dalam hubungan produksi ekonomi kapitalisme.
Pada konteks demokrasi
Indonesia, oligarki keluarga sebagai borjuasi politik mengeksploitasi kelas
proletariat politik melalui sistem kebijakan pembangunan. Menurut saya,
proletariat politik adalah seluruh masyarakat yang tidak mendapatkan
kesetaraan politik dan keadilan selama pengoperasian kekuasaan demokrasi.
Susan Mendus (2007)
dalam Impartiality in Moral and Political
Philosophy menyikapi secara kritis bagaimana demokrasi (liberal)
hanya menjadi cara sekelompok politik dominan mendapatkan kekuasaan negara
melalui pemilu. Selanjutnya kekuasaan dioperasikan berdasar pada kepentingan
para elite tanpa pelibatan rakyat. Kekuasaan yang berasal dari rakyat
tersebut tidak dikembalikan dalam bentuk keadilan hukum, perlindungan
keamanan, dan keterlibatan merumuskan dan melaksanakan kebijakan pembangunan.
Kondisi itulah yang dipandang sebagai bentuk-bentuk ketidaksetaraan politik
dan ketidakadilan di kalangan masyarakat bawah.
Apa yang disikapi
secara kritis oleh Mendus, dalam konteks Indonesia, berakar dari menguatnya
oligarki keluarga dalam pendistorsian kekuasaan demokratis. Oleh sebab itu,
perlawanan kelas proletariat politik merupakan manifestasi tak terelakkan
dari kepentingan publik menyelamatkan demokrasi. Langkah mendasar perlawanan
proletariat adalah kehadiran para pemimpin politik yang konsisten
membela dan melibatkan masyarakat bawah ke dalam proses pengoperasian
kekuasaan. Sebuah laku pemimpin yang tidak alergi berbaur dengan keringat
kemiskinan demi menyerahkan kembali kekuasaan kepada rakyat.
Dengan begitu,
pembangunan sungguh-sungguh merupakan produk dan hak milik rakyat. Rakyat
harus ikut gerbong para pemimpin politik yang teruji sebagai bagian
perlawanan kelas proletariat politik. Paling tidak, sebagai gelombang
pertama, perlawanan proletariat harus memenangi Pemilu 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar