2014
Awal Baru, Harapan Baru
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 03 Januari 2014
PUJI syukur kita
panjatkan bahwa memasuki 2014, negara kita tetap utuh, aman dan damai; tidak
kena krisis politik ataupun sosial-ekonomi karena kita menjunjung tinggi
demokrasi yang dilandasi budaya pluralisme. Dengan penduduk ke-4 terbesar di
dunia, tersebar di wilayah subur dan kaya sumber alam seluas 1,9 juta km2,
terdiri lebih dari 17 ribu pulau, Indonesia sungguh diberkahi; sekalipun
sejak merdeka hampir tujuh dasawarsa lalu kita dicemaskan oleh kemungkinan
disintegrasi. Pengalaman dan pembelajaran sebagai negara merdeka tak ternilai
bagi bangsa yang pernah terjajah 350 tahun sejak 1602.
Demokrasi terus
berproses. Maju mundurnya bergantung pada kemampuan kita mendidik dan
mendisiplin diri, mengasah kepekaan nurani, serta menjaga moralitas. Tahun
2014 membuka kesempatan baru. Pemilu sekitar 100 hari lagi menjadi tumpuan
harapan karena kita bisa memilih jajaran pemimpin baru. Seiring perkembangan
dunia, masa depan memerlukan kebijakankebijakan baru. Sampai di mana
persiapan kita?
Sudah saatnya kita
menelusuri bagian-bagian yang menuntut perhatian utama untuk mencegah
kecerobohan lebih lanjut. Semoga 2014 menambah dirgahayu bangsa dan negara.
Beban pemimpin
Para pemimpin masyarakat demokratis patut
mendapat apresiasi lebih karena beban mereka lebih berat jika dibandingkan dengan
yang memimpin sistem kenegaraan bentuk lain. Di negara demokrasi, mereka
terikat aturan-aturan hasil kesepakatan bersama. Tidak ada pimpinan yang
bebas menentukan sendiri kebijakannya. Padahal perangai dan pribadi
anggota-anggota masyarakat ataupun latar belakang kehidupan mereka beragam.
Bahwa terjadi kecerobohan yang
mengakibatkan pelanggaran hingga merusak rencana dan tatanan negara jelas karena
kesalahan bersama. Itulah sebabnya Pemilu 2014 menjadi tumpuan baru, dengan harapan agar rakyat tidak
salah memilih pemimpin. Persyaratan pemimpin yang
diinginkan rakyat sering dikupas lewat media. Yang utama, mereka hendaknya
tangkas dan cerdas, selain amanah dan rendah hati serta peduli kepada yang
sengsara. Bukan malahan yang mengerdilkan martabat dan harga diri rakyat.
Maka sementara ini, tokoh-tokoh seperti itulah yang selalu dielu-elukan.
Sebaliknya, kita perlu
mewaspadai para pemimpin yang sibuk mengejar kekayaan dan/ atau jabatan.
Mantan rektor Universitas Terbuka, Profesor Atwi Suparman, menyarankan,
“Hidup bukan untuk mengejar jabatan.” Pemimpin yang demikian cenderung sibuk
mengelus ego dan menutup diri terhadap saran-saran yang bisa mengubah
keadaan, sekalipun demi perbaikan. Padahal demokrasi terus-menerus
menyempurnakan diri. Yang terpilih sebagai pemimpin seyogianya memikul tanggung
jawab perbaikannya, berani menanggalkan arogansi kekuasaan dan kepemimpinan
ataupun atribut-atribut lain yang tidak relevan. Situasi buruk tidak patut
berlarut demi kelanggengan kekuasaan.
Menjaga kelangsungan hidup
Pada akhirnya, apa
yang paling penting bagi bangsa dan negara? Apa lagi kalau bukan kemerdekaan
dan kelangsungan hidup yang bermartabat?Kita semua bertanggung jawab untuk
itu, sebab pilihan kitalah yang menentukan siapa pemimpin masyarakat ini. Itulah
makna terpenting pemilu. Melewatkan pemilu berarti melewatkan kesempatan ikut
menentukan pilihan masa depan Indonesia.
Dalam kaitan ini kita
menyadari pentingnya peran partai politik sebagai jembatan untuk meraih
penyatuan pendapat. Dalam negara demokrasi, persaingan antarpartai politik
merupakan proses wajar untuk menentukan kebijakan partai mana yang paling
dikehendaki rakyat terbanyak. Yang kurang wajar bila ada partai politik yang
rencana rinci platformnya tidak transparan atau tidak jelas.
Misalnya, bagaimana
program keluarga berencana mengingat peningkatan pesat penduduk? Dalam waktu
lima dasawarsa, dari jumlah penduduk kurang 100 juta, sekarang sudah menjadi
sekitar 2,5 kalinya, mendekati seperempat miliar. Beban menyejahterakan
penduduk makin berat, lebihlebih kita tidak lagi swasembada di bidang pangan.
Belum lagi kalau mempertimbangkan masalah gizi dan kesehatan rakyat terkait
dengan pangan. Situasi daulat pangan bisa disebut bersifat darurat.
Sumber daya mineral,
salah satu kekayaan sumber alam yang menjadi saka guru kemajuan industri,
belum setangguh yang kita harapkan padahal masyarakat petani cenderung
bergerak meninggalkan profesi lama untuk pindah ke bidang industri. Apakah
pendidikan mereka memadai untuk menjadi masyarakat industri?
Toh kita bangga
Indonesia masih diandalkan sebagai negara yang kaya akan sumber alam dan
bumi. Kitalah yang harus pandai-pandai menjaga diri untuk dipercaya sebagai
salah satu pusat investasi dunia, sebab investasi tetap kita perlukan untuk
memajukan negeri ini. Perkembangan ekonomi berbagai negara saling
kait-mengait.
Pergolakan ekonomi dunia berpengaruh besar. Dalam hal ini kita
tidak harus mengikuti sistem ekonomi liberal, ataupun sosialistis, tetapi
juga tidak dibenarkan untuk menjadi chauvinistic. Konsep splendid isolation rasanya tidak berlaku lagi.
Masalah yang sedang
gawat sekarang adalah korupsi. Di kalangan penegak hukum yang diandalkan bisa
mengatasinya, pun ada yang terkontaminasi; sekalipun pemberantasan korupsi
dilancarkan sejak awal kemerdekaan, dan era reformasi telah mengamanahkan
reformasi bidang penegakan hukum. Adagium bahasa Latin menyatakan, di mana
ada masyarakat dan kehidupan, di sana (seharusnya) ada hukum/keadilan. “Negara-negara runtuh bila hakim-hakimnya
tidak mematuhi asas keadilan,” kata pendeta berkebangsaan Inggris, Sydney
Smith (17711845), sekaligus penulis yang menekuni bidang hukum.
Mengakhiri renungan
ini, kami kutip syair lama Goenawan Mohamad:....”Another X-mas, another year, another crisis in the gulf.... Yet
another chance, iy not to change the world, to love it more....” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar