Selasa, 07 Januari 2014

2014 Awal Baru, Harapan Baru

                                2014 Awal Baru, Harapan Baru

Toeti Prahas Adhitama  ;   Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA,  03 Januari 2014
                                                                                                                        


PUJI syukur kita panjatkan bahwa memasuki 2014, negara kita tetap utuh, aman dan damai; tidak kena krisis politik ataupun sosial-ekonomi karena kita menjunjung tinggi demokrasi yang dilandasi budaya pluralisme. Dengan penduduk ke-4 terbesar di dunia, tersebar di wilayah subur dan kaya sumber alam seluas 1,9 juta km2, terdiri lebih dari 17 ribu pulau, Indonesia sungguh diberkahi; sekalipun sejak merdeka hampir tujuh dasawarsa lalu kita dicemaskan oleh kemungkinan disintegrasi. Pengalaman dan pembelajaran sebagai negara merdeka tak ternilai bagi bangsa yang pernah terjajah 350 tahun sejak 1602.

Demokrasi terus berproses. Maju mundurnya bergantung pada kemampuan kita mendidik dan mendisiplin diri, mengasah kepekaan nurani, serta menjaga moralitas. Tahun 2014 membuka kesempatan baru. Pemilu sekitar 100 hari lagi menjadi tumpuan harapan karena kita bisa memilih jajaran pemimpin baru. Seiring perkembangan dunia, masa depan memerlukan kebijakankebijakan baru. Sampai di mana persiapan kita?

Sudah saatnya kita menelusuri bagian-bagian yang menuntut perhatian utama untuk mencegah kecerobohan lebih lanjut. Semoga 2014 menambah dirgahayu bangsa dan negara.

Beban pemimpin

Para pemimpin masyarakat demokratis patut mendapat apresiasi lebih karena beban mereka lebih berat jika dibandingkan dengan yang memimpin sistem kenegaraan bentuk lain. Di negara demokrasi, mereka terikat aturan-aturan hasil kesepakatan bersama. Tidak ada pimpinan yang bebas menentukan sendiri kebijakannya. Padahal perangai dan pribadi anggota-anggota masyarakat ataupun latar belakang kehidupan mereka beragam.

Bahwa terjadi kecerobohan yang mengakibatkan pelanggaran hingga merusak rencana dan tatanan negara jelas karena kesalahan bersama. Itulah sebabnya Pemilu 2014 menjadi tumpuan baru, dengan harapan agar rakyat tidak salah memilih pemimpin. Persyaratan pemimpin yang diinginkan rakyat sering dikupas lewat media. Yang utama, mereka hendaknya tangkas dan cerdas, selain amanah dan rendah hati serta peduli kepada yang sengsara. Bukan malahan yang mengerdilkan martabat dan harga diri rakyat. Maka sementara ini, tokoh-tokoh seperti itulah yang selalu dielu-elukan.

Sebaliknya, kita perlu mewaspadai para pemimpin yang sibuk mengejar kekayaan dan/ atau jabatan. Mantan rektor Universitas Terbuka, Profesor Atwi Suparman, menyarankan, “Hidup bukan untuk mengejar jabatan.” Pemimpin yang demikian cenderung sibuk mengelus ego dan menutup diri terhadap saran-saran yang bisa mengubah keadaan, sekalipun demi perbaikan. Padahal demokrasi terus-menerus menyempurnakan diri. Yang terpilih sebagai pemimpin seyogianya memikul tanggung jawab perbaikannya, berani menanggalkan arogansi kekuasaan dan kepemimpinan ataupun atribut-atribut lain yang tidak relevan. Situasi buruk tidak patut berlarut demi kelanggengan kekuasaan.

Menjaga kelangsungan hidup

Pada akhirnya, apa yang paling penting bagi bangsa dan negara? Apa lagi kalau bukan kemerdekaan dan kelangsungan hidup yang bermartabat?Kita semua bertanggung jawab untuk itu, sebab pilihan kitalah yang menentukan siapa pemimpin masyarakat ini. Itulah makna terpenting pemilu. Melewatkan pemilu berarti melewatkan kesempatan ikut menentukan pilihan masa depan Indonesia.

Dalam kaitan ini kita menyadari pentingnya peran partai politik sebagai jembatan untuk meraih penyatuan pendapat. Dalam negara demokrasi, persaingan antarpartai politik merupakan proses wajar untuk menentukan kebijakan partai mana yang paling dikehendaki rakyat terbanyak. Yang kurang wajar bila ada partai politik yang rencana rinci platformnya tidak transparan atau tidak jelas.

Misalnya, bagaimana program keluarga berencana mengingat peningkatan pesat penduduk? Dalam waktu lima dasawarsa, dari jumlah penduduk kurang 100 juta, sekarang sudah menjadi sekitar 2,5 kalinya, mendekati seperempat miliar. Beban menyejahterakan penduduk makin berat, lebihlebih kita tidak lagi swasembada di bidang pangan. Belum lagi kalau mempertimbangkan masalah gizi dan kesehatan rakyat terkait dengan pangan. Situasi daulat pangan bisa disebut bersifat darurat.

Sumber daya mineral, salah satu kekayaan sumber alam yang menjadi saka guru kemajuan industri, belum setangguh yang kita harapkan padahal masyarakat petani cenderung bergerak meninggalkan profesi lama untuk pindah ke bidang industri. Apakah pendidikan mereka memadai untuk menjadi masyarakat industri?

Toh kita bangga Indonesia masih diandalkan sebagai negara yang kaya akan sumber alam dan bumi. Kitalah yang harus pandai-pandai menjaga diri untuk dipercaya sebagai salah satu pusat investasi dunia, sebab investasi tetap kita perlukan untuk memajukan negeri ini. Perkembangan ekonomi berbagai negara saling kait-mengait. 

Pergolakan ekonomi dunia berpengaruh besar. Dalam hal ini kita tidak harus mengikuti sistem ekonomi liberal, ataupun sosialistis, tetapi juga tidak dibenarkan untuk menjadi chauvinistic. Konsep splendid isolation rasanya tidak berlaku lagi.

Masalah yang sedang gawat sekarang adalah korupsi. Di kalangan penegak hukum yang diandalkan bisa mengatasinya, pun ada yang terkontaminasi; sekalipun pemberantasan korupsi dilancarkan sejak awal kemerdekaan, dan era reformasi telah mengamanahkan reformasi bidang penegakan hukum. Adagium bahasa Latin menyatakan, di mana ada masyarakat dan kehidupan, di sana (seharusnya) ada hukum/keadilan. “Negara-negara runtuh bila hakim-hakimnya tidak mematuhi asas keadilan,” kata pendeta berkebangsaan Inggris, Sydney Smith (17711845), sekaligus penulis yang menekuni bidang hukum.

Mengakhiri renungan ini, kami kutip syair lama Goenawan Mohamad:....”Another X-mas, another year, another crisis in the gulf.... Yet another chance, iy not to change the world, to love it more....”  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar