Mengakhiri Perembesan Gula Rafinasi
Khudori ; Anggota
Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat,
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis
Buku ”Gula Rasa Neoliberalisme: Pergumulan Empat Abad Industri Gula” (2005)
|
KORAN
SINDO, 24 Januari 2014
Audit delapan pabrik gula kristal rafinasi (GKR) oleh
Kementerian Perdagangan telah selesai. Hasilnya, semua produsen GKR
produksinya merembes ke pasar konsumsi. Tahun 2013 jumlahnya 110.799 ton,
lebih rendah dari tahun 2011 (398.044) ton.
Namun, Kementerian Perdagangan tidak membuka pelanggaran masing-masing produsen. Sanksinya, Kementerian Perdagangan memotong 50% dari pelanggaran hasil audit. Sanksi ini lebih ringan dari 2011. Saat itu alokasi impor gula mentah langsung dipotong. Langkah seperti ini dipastikan tak akan menyelesaikan akar masalah. Bisa dipastikan GKR yang mestinya hanya untuk industri (makanan, minuman, dan farmasi) akan terus merembes ke pasar konsumsi. Tak ada efek jera dan pemaksaan bagi produsen GKR untuk patuh. Jika itu terjadi, keberadaan GKR akan terus-menerus menjadi musuh petani. Bagi pabrik gula kristal putih (GKP), GKR juga menjadi ancaman tersembunyi. Dari sejarahnya, GKR diadakan guna memenuhi kebutuhan pemanis industri yang tak bisa dipenuhi pabrik gula yang ada. Ada dua cara: sepenuhnya impor GKR atau mendirikan pabrik gula rafinasi dengan bahan baku impor gula mentah. Pemerintah menempuh cara kedua. Tiap tahun pabrik gula rafinasi diberi izin impor raw sugar untuk diolah jadi GKR. Pemerintah juga memberikan izin industri mengimpor GKR. Lewat Kepmenperindag No 527/2004 tentang Ketentuan Niaga Impor Gula, pasar gula diatur: GKR hanya untuk industri, sedangkan GKP produksi petani dan pabrik gula mengisi pasar gula konsumsi langsung. Ini dilakukan karena medan persaingan tidak imbang. Investasi industri GKP tiga kali lipat dari industri GKR. Dengan bahan baku gula mentah impor murah, pabrik GKR bisa beroperasi sepanjang tahun. Pabrik gula rafinasi hanya mempekerjakan 3.515 orang. Dengan risiko minimal, pabrik gula rafinasi tergolong investasi yang cepat balik modal: hanya 2–3 tahun (Colosewoko, 2010). Sebaliknya, investasi pabrik GKP berisiko karena mesti membuka kebun, dan menyiapkan petani. Operasional giling hanya 160–180 hari karena bahanbaku tergantung iklim dan cuaca. Dengan tingkat bunga 14%, investasi pabrik GKP baru balik modal 12–15 tahun. Namun, industri GKP melibatkan 800.000 rumah tangga di onfarm. Bila sektor off-farm dihitung, serapan tenaga kerja mencapai 10 juta. Jika pasar GKR bisa masuk pasar GKP, bukan hanya tidak adil, melainkan juga industri GKP nasional bakal habis. Selama ini, pasar/konsumen gula rumah tangga dipasok oleh pabrik gula yang bahan bakunya berasal dari petani tebu. Saat ini jumlah pabrik gula diperkirakan 59 buah dan 80% terdapat di Pulau Jawa. Pabrik gula di Jawa amat tergantung pada aktivitas masyarakat, yakni petani tebu. Petani tebu menjadi penyedia 90% kebutuhan tebu pabrik. Invasi GKR ke pasar/konsumen rumah tangga akan membuat harga GKP yang dihasilkan petani anjlok. Dampak penurunan harga GKP sebagian besar akan ditanggung petani. Menurut perhitungan, komposisi biaya dalam industri gula 60–70% ada di kebun. Artinya, share petani mencapai 60–70%. Penghasilan petani selama ini diperoleh dari bagi hasil gula dari tebu yang digiling: 66% petani dan 34% pabrik gula. Kalau pabrik gula tidak efisien dan merugi, 60–70% inefisiensi dan kerugian itu dipikul petani tebu. Demikian pula kalau harga jual GKP anjlok, petani pula yang paling terpukul. Anjloknya harga GKP akan membuat insentif ekonomi petani untuk menanam tebu menurun. Mudah ditebak, lahan tebu petani akan dialihkan untuk tanaman lain. Jika kondisi itu terjadi, dampak ikutannya akan amat besar. Pertama, pabrik gula akan tutup giling karena tidak mendapatkan pasokan bahan baku. Padahal, industri gula merupakan aset ekonomi sekaligus aset sosial sangat penting. Industri gula menjadi mata rantai ekonomi yang penting negeri ini, yang tidak saja paling komplet tetapi juga memiliki sejarah lebih dari empat abad. Jika gelombang penutupan pabrik gula terjadi, aset ekonomisosial itu akan sia-sia. Kedua, jika banyak pabrik gula tutup dipastikan impor gula meledak, devisa melayang, dan cita-cita swasembada gula bakal menguap. Titik krusial pabrik gula rafinasi terletak pada izinnya yang tak terkontrol. Izin pabrik gula rafinasi di BKPM, sedang izin industri makanan-minuman pengguna gula rafinasi di Kementerian Perindustrian. Akibat obral izin, kapasitas pabrik gula rafinasi kini jauh melampaui kebutuhan industri. Sejak diinisiasi tahun 2000, kini ada delapan pabrik gula rafinasi berkapasitas 3,2 juta ton. Seiring itu, impor gula mentah terus melonjak, dari kurang 1 juta ton pada 2006 menjadi lebih 3 juta ton pada 2013. Sejak 2007, ada indikasi kuat izin impor GKR untuk industri dan gula mentah untuk pabrik gula rafinasi berlebihan (Sawit, 2010). Kelebihan produksi GKR akhirnya menginvasi pasar ritel. Impor gula mentah dan GKR yang hanya oleh investor besar kian menambah sifat asimetri pasar. Ini semua menambah ketidakpastian pasar. Dari ciri dan karakteristik itu semua, karena medan persaingan tidak imbang, tidak adil mencampur pasar GKP dengan GKR. Memang, dari sisi konsumen, penutupan akses ke pasar GKR sebetulnya tidak adil karena dari sisi kesehatan GKR lebih baik. Selain itu, mengawasi rembesan GKR ke pasar ritel tidak mudah. Namun sepanjang medan persaingan tidak imbang, pemisahan pasar adalah pilihan bijak. Ke depan agar medan persaingan imbang, pabrik gula rafinasi harus membangun kebun tebu sebagai sumber bahan baku. Jika itu sudah terjadi, tidak perlu lagi pemisahan pasar. Tak ada lagi cerita perembesan. Jika tidak, rembesan GKR ke pasar ritel akan selalu terjadi. Jika tidak men-sweeping, petani akan mogok tanam tebu karena GKR selalu menjadi biang kerok. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar