Mendongkrak
Nilai Rupiah
M Dimyati ;
Dosen FE Universitas Borobudur,
Jakarta
|
KORAN
JAKARTA, 07 Januari 2014
Sebelum tahun l965 nilai tukar rupiah
sangat tinggi dan stabil. Satu rupiah waktu itu sangat berharga,
bisa membeli 10 combro dan roti. Pada tahun l964 serupiah sama dengan
110 yen, sedangkan 1 dollar AS sama dengan 125
rupiah. Pada masa Orde Lama nilai tukar rupiah dipatok Bank
Indonesia (BI). Jika ingin diturunkan nilainya terhadap dollar AS,
didevaluasi.
Bila mau dinaikkan, direvaluasi. Perubahan nilai sangat jarang. Selama Orde Baru beberapa kali devaluasi untuk mendapat uang rupiah yang lebih besar dari devisa hasil ekspor maupun utang. Nilai tukar terus melemah ketika pemerintah mengeluarkan PP No 1 Tahun l982 tentang Ekspor-Impor dan Lalu Lintas Devisa.
Dalam PP ini setiap orang
bebas memiliki dan menggunakan devisa hasil ekspor maupun dari sumber
lain. Eksportir juga tidak diwajibkan menjual devisa hasil ekspornya ke
BI sesuai Undang-Undang No 32 Tahun l964. PP No 1 itu menerapkan
kebijakan devisa superbebas. BI sama sekali tidak mengawasi,
apalagi menguasai lalu lintas devisa. Kebijakan devisa superbebas ini
ini sangat rawan ketika krisis moneter seperti tahun l989 karena dengan
mudah terjadi pelarian modal ke luar negeri (capital flight)
besar-besaran sebab BI tidak bisa lagi mengontrol keluar-masuknya devisa
sehingga dalam waktu singkat tidak kurang dari 45 miliar dollar
AS hengkang. Itu bisa berupa foreign direct invesment (FDI) atau
lewat financial assets.
Untuk menarik/mempertahankan investor asing ternyata tidak bisa hanya dengan memberlakukan rezim devisa superbebas. Perlu faktor-faktor lain seperti stabilitas politik, keamanan, ekonomi, moneter, produktivitas, sumber daya manusia. Juga perlu infrastruktur seperti jalan-jalan, pelabuhan/bandara, daya beli masyarakat, dan law enforcement. China, misalnya, walaupun tidak menganut sistem devisa bebas dan tidak memperdagangkan mata uangnya (yuan) di pasar internasional, ternyata berhasil menarik investasi terbesar di antara negara berkembang. China juga memiliki cadangan devisa paling tinggi, mencapai 3.000 miliar dollar AS.
Indonesia hanya
96 miliar dollar AS. Negara Tirai Bambu tersebut melarang investor
menstransfer seluruh hasil usahanya ke negeri asalnya. Sebagian besar
keuntungan harus diinvestasikan lagi di China.
Para investor enjoy karena investasinya menguntungkan. Sangat berbeda dengan Indonesia, jangankan hasil usahanya, modal usahanya pun bebas ke luar negeri. Nilai rupiah semakin anjlok setelah BI pada 14 Agustus 1997 mengeluarkan kebijakan mengubah nilai tukar dari mengambang terkendali menjadi bebas tergantung pada mekanisme pasar saat utang luar negeri pemerintah maupun swasta banyak jatuh tempo.
Cadangan devisa waktu itu juga hanya
16,6 miliar dollar AS. Terjadilah perburuan devisa besar-besaran.
Akibatnya, dollar AS melonjak. Akhir Januari l998 mencapai 16.000.
Padahal, saat BI, mengeluarkan kebijakan nilai tukar mengambang mengikuti
pasar, kurs per dollar AS 2.640 rupiah. Sejak itu, rupiah sulit
dikendalikan, jatuh terus. Berbanding Terbalik Saat ini, bunga acuan
7,50 dan masih mungkin naik.
Padahal, angka tersebut paling tinggi nomor dua di dunia di bawah India (7,75). Bandingkan dengan bunga acuan bank sentral seperti Thailand (2,50), Australia (2,50), Inggris (0,50), AS (0,25), dan Uni Eropa (0,25). Dengan bunga acuan paling tinggi, otomatis tingkat bunga kredit bank di Indonesia pun paling tinggi di dunia. Tingginya bunga uang suatu negara berbanding terbalik dengan nilai tukar uang di negara tersebut. Artinya kalau bunga uang suatu negara tinggi, nilai tukar uangnya rendah. Contoh Indonesia, bunga acuan BI 7,50 persen, nilai tukar rupiah 12.005 per dolar AS. Sebaliknya, bila bunga uang di suatu negara rendah, nilai tukar uangnya tinggi. Contoh bunga acuan bank sentral AS (The Fed) hanya 0,25 persen, nilai tukar dollar AS pun tinggi. Demikian juga dengan Uni Eropa dan negara lainnya. Selama ini, untuk menaikkan nilai rupiah selalu dengan cara menaikkan BI Rate. Padahal, dengan kenaikan suku bunga, nilai tukar rupiah justru akan menurun. Dalam upaya menekan laju inflasi dan mendongkrak nilai rupiah yang semakin lemah, pemerintah mengambil kebijakan meningkatkan bunga acuan Bank Indonesia yang sekarang sudah mencapai 7,50 persen. Konon bunga acuan ini masih akan dinaikkan lagi sampai laju inflasi turun dan nilai rupiah menguat dan stabil. Mungkin dalam jangka pendek penaikan BI Rate dapat menstabilkan atau menguatkan rupiah dan inflasi turun. Inflasi dan dollar AS tinggi bukan karena bunga bank rendah, tetapi dipengaruhi faktor-faktor lain. Inflasi terjadi karena jumlah barang dan jasa yang tersedia lebih kecil dari jumlah uang beredar. Maka, untuk menekan inflasi bukan dengan menaikkan suku bunga bank, tapi harus mendorong produksi barang dan jasa dengan menurunkan bunga bank dan melonggarkan likuiditas untuk mencapai titik keseimbangan jumlah uang beredar dan jumlah barang dan jasa yang tersedia. Sangat aneh kalau tujuan menaikkan bunga bank dan memperketat likuiditas adalah untuk mengurangi impor bahan baku agar kalangan industri menurunkan produksi. Padahal, bila kredit bank yang murah itu untuk meningkatkan produksi pertanian, industri, maupun perdagangan tidak berdampak inflatoir. Ini justru memacu pertumbuhan ekonomi. Lain halnya bila uang itu untuk konsumsi, berfoya-foya membeli rumah, mobil, dan barang-barang mewah. Ini jelas akan mendorong laju inflasi. Yang harus diperketat adalah kredit konsumfif, termasuk penarikan melalui kartu kredit. Menaikkan bunga acuan otomatis meningkatkan bunga simpanan maupun kredit. Akibatnya perbankan cenderung menginvestasikan dananya ke SBI atau ORI yang bunganya lebih tinggi (dari bunga tabungan/jasa giro).
Keamanannya pun sangat terjamin dan
likuid/sewaktu-waktu bisa dijual ke pasar. Sementara itu, pemilik
uang cenderung lebih baik menyimpan di bank (bunga tinggi dan aman)
daripada bisnis berisiko tinggi (harga-harga naik). Ini jelas
sangat merugikan ekonomi masyarakat.
Lebih parah lagi, bunga tinggi dari deposito untuk erbelanja, berfoya-foya, jalan-jalan sehingga mendorong inflasi. Para pengusaha juga enggan mengajukan kredit karena bunga tinggi sehingga produksi maupun perdagangan menurun. Harga-harga naik ini mendorong inflasi. Ini akan tambah bahaya bila BI hanya menggunakan instrumen bunga dalam mengendalikan inflasi dan menekan dollar yang terus naik tanpa mempertimbangkan dampak buruknya.
Tingginya kurs valuta asing karena
sangat besarnya kebutuhan devisa guna membiayai impor serta
membayar bunga dan utang luar negeri (pemerintah maupun
swasta) yang jatuh tempo. Belum lagi biaya perjalanan dinas
para pejabat, termasuk studi banding DPR. Jadi,
walupun suku bunga acuan BI dinaikkan terus, andai
kebutuhan devisanya terus meningkat, tidak akan mampu
menurunkan kurs dollar.
Untuk menurunkan kurs dollar, penggunaan dollar harus dikurangi. Caranya antara lain tidak melakukan utang baru. Usahakan agar belanja negara/daerah dapat ditutup dengan pendapatan dalam negeri atau daerah sendiri. Pemerintah juga harus memperketat atau melarang impor barang tidak penting seperti mobil mewah, mainan anak-anak, dan barang-barang mewah lainnya. Batasi perjalanan ke luar negeri, termasuk studi banding DPR. Di sisi lain, tingkatkan produksi pangan di dalam negeri sehingga tidak bergantung pada impor. Hemat penggunaan BBM agar impor diperkecil. Tinjau ulang rezim devisa superbebas dan kurs mengambang mengikuti mekanisme pasar. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar