Sabtu, 11 Januari 2014

Mendongkrak Nilai Rupiah

                                      Mendongkrak Nilai Rupiah

M Dimyati  ;    Dosen FE  Universitas Borobudur, Jakarta
KORAN JAKARTA,  07 Januari 2014
                                                                                                                        


Sebelum tahun l965 nilai tukar rupiah sangat  tinggi dan stabil. Satu  rupiah waktu itu sangat berharga, bisa membeli 10 combro dan roti. Pada tahun l964  serupiah sama dengan 110 yen,    sedangkan 1 dollar AS sama dengan  125 rupiah.  Pada masa Orde Lama nilai tukar  rupiah dipatok Bank Indonesia (BI).  Jika ingin diturunkan nilainya terhadap dollar AS, didevaluasi. 

Bila mau  dinaikkan, direvaluasi. Perubahan nilai  sangat jarang. Selama Orde Baru beberapa kali devaluasi untuk mendapat  uang rupiah yang lebih besar dari devisa hasil ekspor maupun utang.  Nilai tukar terus melemah ketika  pemerintah mengeluarkan PP No 1  Tahun l982 tentang Ekspor-Impor dan  Lalu Lintas Devisa. 

Dalam PP ini setiap  orang bebas memiliki dan menggunakan devisa hasil ekspor maupun dari  sumber lain. Eksportir juga tidak diwajibkan menjual devisa hasil ekspornya  ke BI sesuai Undang-Undang No 32 Tahun l964.   PP No 1 itu menerapkan kebijakan  devisa superbebas. BI sama sekali tidak  mengawasi, apalagi menguasai lalu  lintas devisa. Kebijakan devisa superbebas ini ini sangat rawan ketika krisis moneter seperti tahun l989 karena  dengan mudah terjadi pelarian modal  ke luar negeri (capital flight) besar-besaran sebab BI tidak bisa lagi mengontrol keluar-masuknya devisa sehingga  dalam waktu singkat tidak kurang dari  45 miliar dollar AS hengkang.  Itu bisa berupa  foreign direct invesment (FDI) atau lewat financial assets.  

Untuk menarik/mempertahankan investor asing ternyata tidak bisa hanya  dengan memberlakukan rezim devisa  superbebas. Perlu faktor-faktor lain seperti stabilitas politik, keamanan, ekonomi, moneter, produktivitas, sumber  daya manusia. Juga perlu infrastruktur  seperti jalan-jalan, pelabuhan/bandara, daya beli masyarakat, dan  law  enforcement.  China, misalnya, walaupun tidak  menganut sistem devisa bebas dan tidak memperdagangkan mata uangnya  (yuan) di pasar internasional, ternyata  berhasil menarik investasi terbesar  di antara negara berkembang. China  juga memiliki cadangan devisa paling  tinggi, mencapai 3.000 miliar dollar AS.  

Indonesia hanya 96 miliar dollar AS. Negara Tirai Bambu tersebut melarang investor menstransfer seluruh  hasil usahanya ke negeri asalnya. Sebagian besar keuntungan harus diinvestasikan lagi di China. 

Para investor  enjoy karena investasinya menguntungkan. Sangat berbeda dengan Indonesia, jangankan hasil usahanya, modal usahanya pun bebas ke luar negeri. Nilai rupiah semakin anjlok setelah  BI pada 14 Agustus 1997 mengeluarkan kebijakan mengubah  nilai tukar dari mengambang  terkendali menjadi bebas tergantung pada mekanisme  pasar saat utang luar negeri  pemerintah maupun swasta  banyak jatuh tempo.

Cadangan  devisa waktu itu juga hanya 16,6  miliar dollar AS. Terjadilah perburuan  devisa besar-besaran. Akibatnya, dollar AS melonjak. Akhir Januari l998  mencapai 16.000. Padahal, saat BI, mengeluarkan kebijakan nilai tukar mengambang mengikuti pasar, kurs per dollar AS 2.640 rupiah. Sejak itu, rupiah  sulit dikendalikan, jatuh terus. Berbanding Terbalik Saat ini, bunga acuan 7,50  dan masih mungkin naik.  

Padahal, angka tersebut  paling tinggi nomor  dua di dunia di bawah  India (7,75). Bandingkan dengan bunga acuan  bank sentral seperti Thailand  (2,50), Australia (2,50), Inggris (0,50),  AS (0,25), dan Uni Eropa (0,25).  Dengan bunga acuan paling tinggi,  otomatis tingkat bunga kredit bank di  Indonesia pun paling tinggi di dunia.  Tingginya bunga uang suatu negara  berbanding terbalik dengan nilai tukar  uang di negara tersebut. Artinya kalau  bunga uang suatu negara tinggi, nilai  tukar uangnya rendah. Contoh Indonesia, bunga acuan BI 7,50 persen, nilai  tukar rupiah 12.005 per dolar AS. Sebaliknya, bila bunga uang di suatu negara rendah, nilai tukar uangnya  tinggi. Contoh bunga acuan bank sentral AS (The Fed) hanya 0,25 persen,  nilai tukar dollar AS pun tinggi. Demikian juga dengan Uni Eropa dan negara  lainnya. 

Selama ini, untuk menaikkan  nilai rupiah selalu dengan cara menaikkan BI Rate. Padahal, dengan kenaikan suku bunga, nilai tukar rupiah  justru akan menurun. Dalam upaya menekan laju inflasi  dan mendongkrak nilai rupiah yang semakin lemah, pemerintah mengambil  kebijakan meningkatkan bunga acuan  Bank Indonesia yang sekarang sudah  mencapai 7,50 persen. Konon bunga  acuan ini masih akan dinaikkan lagi  sampai laju inflasi turun dan nilai rupiah menguat dan stabil.  Mungkin dalam jangka pendek penaikan BI Rate dapat menstabilkan  atau menguatkan rupiah dan inflasi turun. Inflasi dan dollar AS tinggi bukan  karena bunga bank rendah, tetapi dipengaruhi faktor-faktor lain.  Inflasi terjadi karena jumlah barang  dan jasa yang tersedia lebih kecil dari  jumlah uang beredar.  Maka, untuk menekan inflasi bukan  dengan menaikkan suku bunga bank,  tapi harus mendorong produksi barang  dan jasa dengan menurunkan bunga  bank dan melonggarkan likuiditas untuk mencapai titik keseimbangan jumlah uang beredar dan jumlah barang  dan jasa yang tersedia. 

Sangat aneh kalau tujuan menaikkan bunga bank dan memperketat likuiditas adalah untuk mengurangi impor bahan baku agar kalangan industri  menurunkan produksi. Padahal, bila  kredit bank yang murah itu untuk meningkatkan produksi pertanian, industri, maupun perdagangan tidak berdampak  inflatoir. Ini justru memacu  pertumbuhan ekonomi.  Lain halnya bila uang itu untuk konsumsi, berfoya-foya membeli rumah,  mobil, dan barang-barang mewah. Ini  jelas akan mendorong laju inflasi. Yang  harus diperketat adalah kredit konsumfif, termasuk penarikan melalui  kartu kredit. Menaikkan bunga acuan otomatis  meningkatkan bunga simpanan maupun kredit. Akibatnya perbankan cenderung menginvestasikan dananya  ke SBI atau ORI yang bunganya lebih  tinggi (dari bunga tabungan/jasa giro).  

Keamanannya pun sangat terjamin  dan likuid/sewaktu-waktu bisa dijual  ke pasar.  Sementara itu, pemilik uang cenderung lebih baik menyimpan di bank  (bunga tinggi dan aman) daripada  bisnis berisiko tinggi (harga-harga  naik). Ini jelas sangat merugikan ekonomi masyarakat. 

Lebih parah lagi,  bunga tinggi dari deposito untuk    erbelanja, berfoya-foya,  jalan-jalan sehingga mendorong inflasi.  Para pengusaha juga  enggan mengajukan kredit  karena bunga tinggi sehingga  produksi maupun perdagangan menurun. Harga-harga naik ini mendorong inflasi. Ini akan tambah bahaya  bila BI hanya menggunakan  instrumen bunga dalam mengendalikan inflasi dan menekan dollar yang terus naik  tanpa mempertimbangkan  dampak buruknya.

Tingginya kurs valuta  asing karena sangat besarnya  kebutuhan devisa guna membiayai impor serta membayar  bunga dan utang luar negeri  (pemerintah maupun swasta)  yang jatuh tempo. Belum  lagi biaya perjalanan dinas  para pejabat, termasuk studi    banding DPR. Jadi, walupun  suku bunga acuan BI dinaikkan terus, andai kebutuhan  devisanya terus meningkat, tidak akan mampu menurunkan  kurs dollar.  

Untuk menurunkan kurs dollar,  penggunaan dollar harus dikurangi.  Caranya antara lain tidak melakukan  utang baru. Usahakan agar belanja  negara/daerah dapat ditutup dengan  pendapatan dalam negeri atau daerah  sendiri. Pemerintah juga harus memperketat atau melarang impor barang tidak  penting seperti mobil mewah, mainan  anak-anak, dan barang-barang mewah  lainnya. Batasi perjalanan ke luar negeri, termasuk studi banding DPR. Di sisi lain, tingkatkan produksi pangan di dalam negeri sehingga tidak  bergantung pada impor. Hemat penggunaan BBM agar impor diperkecil.  Tinjau ulang rezim devisa superbebas  dan kurs mengambang mengikuti mekanisme pasar.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar