Sabtu, 11 Januari 2014

Korut Pasca Paman Kim

                                          Korut Pasca Paman Kim

Aco Manafe  ;    Pengamat Perkembangan Isu Internasional
KORAN JAKARTA,  06 Januari 2014
                                                                                                                        


Indonesia memiliki hubungan diplomatik dengan Pyongyang, sehingga siap  membantu. Hubungan ekonomi dan perdagangan  belum berarti, namun bahan-bahan industri bisa dikirim Indonesia melalui Korsel dan China.

Korea Utara (Korut) senantiasa menarik karena ketertutupannya. Negeri ini dikuasi dinasti Kim. Mulai dari Kim Il sung, Kim Jong Il dan kini Kim Jong Un. Korut memiliki luas 122.760 km. Semenanjung Korea luasnya 223.098 km. Korut memiliki teknologi nuklir yang membuat barat dan  Amerika Serikat cenderung memojokkannya.

Utara dan Selatan pernah mengalami perang Korea 1950-1953 dan  berakhir melalui gencatan senjata, tanpa perjanjian perdamaian. Akibat konflik politik, ideologi dan prasangka nuklir, maka AS, Korsel dan Jepang  menganggap, Pyongyang membahayakan keamanan Semenanjung Korea, khususnya bagi strategi Washington, serta aliansinya. Penentangan Washington dan Seoul tanpa kompromi, akibat perbedaan ideologi politik Marxisme-Leninisme yang dianut Pyongyang.

Gaung perdamaian serta runtuhnya komunisme internasional pimpinan Uni Soviet, menetralisasi  gesekan-gesekan politik konvensional yang mengarah pada konflik militer,  menisbikan pembangunan, perdamaian regional dan global. Konflik Semenanjung Korea jelas menghambat percepatan perdamaian Asia Timur (Semenajung Korea, Tiongkok, Jepang dan Taiwan).

Permusuhan ideologis terhentikan  isu-isu advokasi, demokrasi,  perdamaian abad ke-21, serta politik konfrontasi pascaperang dingin. Perubahan dari radikalisme, agresivitas dan konfrontasi menuju perdamaian dan saling mendekati. Ini  diperkuat dengan  kerja sama ekonomi, perdagangan, sosial budaya dan kemanusiaan. 

Kebijakan mantan petinggi Uni Soviet  Michael Gorbachev cukup gencar sejak awal dekade 1990 melalui kampanye pembaruan politik glasnost dan perestroika. Ini mengubah  citra komunisme-marxisme menuju demokrasi, perdamaian, serta pasar bebas.

Internal

Pada Desember  2013 muncul berita bahwa pemimpin Korut Kim Jong Un telah mengeksekusi mati paman iparnya bernama Jang Sung Taek, suami Kim Kyong Hui, saudara perempuan ayah Kim Jong-il. Kim Jong un mencium isu kudeta yang akan dilakukan Jang.

Penasihat rezim Korut itu juga dicurigai akan  menjual murah aset-aset dan sering berfoya-foya. Namun barat menduga penyingkiran Jang, memberi  jalan menuju dominasi Kim selanjutnya. Posisi Jang akhir Desember 2013 segera digantikan oleh kakak tertuanya Kim Jong-nam.

Presiden George Bush pernah merilis istilah  The Axis of Evil (poros kejahatan)  terhadap Pyongyang  (termasuk Irak dan Iran). Sejak era Kim Jong-il, barat cemas, Korut akan menggunakan kekuatan nuklirnya terhadap  musuh-musuh politiknya seperti AS, Korsel dan Jepang.

Untuk menghadapi ancaman AS dan aliansinya, tidak ada pilihan, Pyongyang harus memiliki kekuatan nuklir. Uji coba nuklir bawah tanah 2006 dan Mei 2009, serta  rudal Nodong tahun 2007, mestinya sebagai kebanggaan serta euforia percaya diri berlebihan Pyongyang.

Maka Barat dan Washington harus percaya serta menghormati Pyongyang termasuk meredakan ketegangan dengan rezim Kim Jong Un dan para jenderalnya. Dakwaan, cercaan dan  sanksi politik ekonomi  DK PBB  justru semakin menjauhkan Pyongyang dari perdamaian. Sebaliknya mendorong permusuhan semakin langgeng.

Belakangan muncul pertanyaan, apakah Kim Jong un membawa perubahan politik, yang otomatis mempengaruhi kawasan, khususnya bagi Korsel dan Jepang? 

Bagaimanapun, suksesi sepenuhnya tradisi dan hak Pyongyang menyerahkan kekuasaan kepada penerus dinasti Kim. Logis, pewaris menjabat Panglima Tertinggi, disertai pangkat jenderal berbintang empat,  menyusul perkenalan resmi Kim Jong Un kepada para jenderal. Penetapannya sebagai Kepala Pemerintahan juga otomatis diperkuat Kongres Partai Pekerja (Partai Buruh) dalam sidang 28 September 2010.

Pertanyaan strategis  bagi AS dan barat, apakah Kim Jong Un, jebolan universitas di Swiss  meneruskan kebijakan nuklir sebagai sarana pertahanan, bahkan untuk memerangi lawan-lawannya? Atau kekuatan nuklir berupa martabat politik, teknologi dan pertahanan nasional baginya? Jadi bukan untuk memerangi atau menakut-nakuti.

Logikanya, sejak bom atom AS di Hirosima dan Nagasaki, dunia  menyadari dampak dahsyatnya. Invasi AS terhadap  Irak juga karena analisis intelijen bahwa Irak punya senjata pemusnah massal itu. Belakangan diketahui,  nuklir Irak di Osirak sudah dihancurkan Israel tahun 1987.

Tugas pertama Jong Un menyegerakan program-program ekonomi terbaik, sehingga perdagangan dan bisnis dapat mendorong pertumbuhan nasional. Sebagai perbandingan PDB Korsel   1,421 triliun dolar AS. Pendapatan  perkapitanya 28.700 dolar AS (data 2010). Sedangkan  Korut  menikmati surplus perdagangan 1,6 miliar dollar AS. Korut memiliki income perkapita  5.000 dolar AS. Ekonomi Korut dibangun dari  menjual ikan, hasil pertanian dan baja ke Korsel. Juga dari sumber mineral seperti bijih besi, emas,  dan gas bumi yang diekspor ke China.   

Tahun 2008, dinasti Kim memperkuat eksekutif  dengan  menetapkan  paman Chang Sung Taek sebagai pelaksana harian pemerintah. Chang menjabat Wakil Ketua Komisi Militer menyamai posisi Wakil Panglima AB.

Setidaknya Chang dan  istrinya Kim Kyong Hui membantu Kim yunior dalam memimpin.  Jadi, peran Chang Sung Taek strategis dalam membimbing dan mendampingi sang keponakan, Presiden Kim Jong un. Namun pada Desember 2013, terbetik berita bahwa pamanda Chang  dieksekusi.

Indonesia memiliki hubungan diplomatik dengan Pyongyang, sehingga siap membantu. Hubungan ekonomi dan perdagangan  belum berarti, namun bahan-bahan industri bisa dikirim Indonesia melalui Korsel dan China. Hubungan historis sejak Presiden Soekarno dan  Kim Il Sung memprakarsai kebangkitan Asia Afrika melalui Konferensi Bandung 1955.

Dengan prinsip  politik luar negeri bebas aktif,  hubungan diplomatik,  ekonomi, sosial dan budaya bertumpu  pada kepentingan nasional tanpa terpengaruh ideologi dan politik Pyongyang. Jakarta mendukung perdamaian Semenanjung Korea dan berharap  Kim Jong un bisa membawa hubungan RI-Semenanjung Korea semakin produktif.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar