Ekonomi
dan Kontestasi Politik
Ahmad Erani Yustika ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
|
KOMPAS,
03 Januari 2014
UJUNG tahun 2013 telah kita
lalui dan seperti biasa refleksi diperlukan untuk mengambil hikmah di masa
depan. Di bidang ekonomi, banyak riak dan peristiwa yang terjadi.
Jika diperas,
sepanjang 2013 sekurangnya terdapat enam masalah ekonomi yang menyergap
negara ini: (i) manajemen pasokan dan stabilitas harga pangan masih jauh dari
laik sehingga mendorong inflasi dan menggerogoti kesejahteraan rakyat; (ii)
sendi mikroekonomi sangat lemah sehingga kesanggupan untuk berkompetisi di
pasar internasional amat rapuh, yang berakibat kepada defisit neraca
perdagangan; (iii) pertumbuhan ekonomi makin kedap kepada kelompok miskin
sehingga ketimpangan pendapatan kian menganga; (iv) sumber daya dan kebijakan
fiskal tak mampu secara efektif memengaruhi jalannya pembangunan, terutama
saat krisis ekonomi terjadi; (v) perekonomian terlalu terbuka sehingga mudah
disergap krisis yang datang dari luar negeri; dan (vi) watak kebijakan
moneter hanya melayani kepentingan sendiri sehingga berpotensi melumpuhkan
sendi ekonomi lainnya.
Pendalaman masalah
Semua yang mengikuti
perkembangan ekonomi nasional dalam 15 tahun terakhir tentu tidak asing
dengan masalah-masalah di atas karena mirip momen ritual yang terjadi secara
rutin dan berulang. Artinya, persoalan itu bukan khas pada 2013 saja, tetapi
sebagian besar merupakan kado yang diterima rakyat setiap tahun. Perbedaan
hanya terjadi pada intensitas dan pendalaman masalah. Intensitas di sini
dimaknai seberapa sering siklus problem itu menghampiri perekonomian
nasional.
Jika dulu krisis
datang secara berkala, katakanlah 15 atau 7 tahun sekali, sekarang hampir
tanpa jeda. Sementara itu, pendalaman masalah dimengerti seberapa jauh soal
yang muncul tersebut memiliki potensi melantakkan perekonomian nasional
(korporasi ataupun rumah tangga). Anomali yang bisa disebut: ketika
perekonomian dipacu secara cepat sehingga menghasilkan pertumbuhan yang
relatif tinggi, ternyata intensitas krisis kemudian kerap terjadi dan makin
dalam dampaknya.
Tiga masalah pertama
yang disebut di atas, yaitu stabilitas harga pangan, sendi mikroekonomi, dan
kebijakan tak sensitif terhadap kaum miskin, menarik dikaji dalam perspektif
ini. Modernisasi dituntut untuk memperkuat sektor basis sehingga nilai tambah
yang dihasilkan dari sektor industri atau jasa berpeluang memenangi persaingan
di pasar internasional.
Indonesia memilih
jalur berbeda dengan memisahkan akselerasi sektor industri dan jasa tanpa
lapis sektor primer. Implikasinya, kebutuhan pangan (dan aneka komoditas
primer lain) tak bisa dicukupi dan jika terdapat kelebihan produksi (seperti
produk perkebunan) dibiarkan mengalir ke pasar internasional tanpa diolah
terlebih dulu. Pada sisi ini, instabilitas harga pangan dan kerapuhan sendi
mikroekonomi jadi keniscayaan yang tak bisa dibendung. Implikasinya,
pembangunan jadi terisolasi dari sebagian besar masyarakat yang bekerja di
sektor primer sehingga ketimpangan pendapatan menjadi fakta yang tak dapat
ditampik.
Selanjutnya, tiga
masalah yang terakhir (efektivitas kebijakan fiskal, perekonomian yang
terbuka, dan karakter kebijakan moneter) merupakan produk dari rigiditas
pengambil kebijakan. Sepuluh tahun lalu kekuatan APBN hanya Rp 400 triliun
dan sekarang Rp 1.600 triliun, tetapi pelabuhan, irigasi, jalan, dan rel
kereta api tetap nyaris tak terbangun. Sektor industri mengalami kemunduran,
UMKM tak bergerak, dan peran BUMN terhadap kesejahteraan belum pula terlihat.
Perekonomian juga gampang dihajar krisis akibat keterbukaan ekonomi, entah
dari sisi perdagangan, nilai tukar, investasi, maupun perubahan kebijakan
negara lain (seperti quantitative easing di AS). Celakanya,
kebijakan moneter hanya dipagari untuk menjaga sektor itu sendiri, tanpa
dipikirkan apakah kebijakan dimaksud telah berkontribusi terhadap penguatan
ekonomi nasional atau malah membunuh benih perekonomian riil yang dijalankan
penuh ketekunan oleh masyarakat.
Pemapanan kelembagaan
Rakyat pasti berharap
pilihan kebijakan yang diambil pemerintah pada masa mendatang lebih
mencerminkan pemihakan kepada kekuatan ekonomi nasional dan golongan
menengah-kecil. Namun, di luar itu masih terdapat pekerjaan lain seputar
perbaikan ”aturan main” (institutions)
sebagai penyangga setiap kebijakan yang telah diproduksi. Pada level makro,
aturan main itu sekurangnya menyasar enam aspek berikut: tata kelola,
penegakan hukum, kepastian regulasi, keadilan, administrasi pajak, serta
kelembagaan fiskal dan moneter (Siddiqui dan Ahmed, 2013).
Negara berkembang,
seperti Indonesia, digolongkan sebagai bangsa yang rapuh dalam menyusun dan
memperkuat kelembagaan sehingga karakter aturan main yang dibuat menjadi
bersifat ekstraktif (mengisap), bukan inklusif (Acemoglu dan Robinson, 2012).
Jika dikuliti enam aspek kelembagaan tersebut, semuanya terkait dengan
persoalan yang diangkat di muka sehingga pemapanan kelembagaan merupakan
pertempuran yang harus dimenangi di masa depan.
Tata kelola berfungsi
untuk menjalankan setiap sistem yang telah dipilih dengan tingkat akurasi,
konsistensi, dan prinsip yang terjaga. Inilah yang membuat setiap kebijakan
tak mudah ditelikung di tengah jalan sehingga terhindar dari moral
hazard, perburuan rente, dan korupsi.
Kebijakan ekonomi di
Indonesia berantakan begitu dijalankan karena rapuhnya tata kelola ini.
Penegakan hukum selalu dapat rapor merah karena nyaris hak kepemilikan tak
dilindungi. Praktik pembajakan dibiarkan, barang ilegal leluasa
diperdagangkan, dan kontrak tidak bisa jadi sandaran dalam sengketa di
institusi hukum. Implikasinya, insentif investasi menjadi rendah dan pelaku
ekonomi malas menanamkan modalnya.
Kepastian regulasi juga bermasalah karena
dibuat secara serampangan sehingga mudah sekali dipatahkan di Mahkamah
Konstitusi (jika berupa UU) ataupun berubah karena tidak sesuai dengan
kebutuhan di lapangan. Ongkos ekonomi atas ketidakpastian regulasi ini tentu
saja sangat mahal.
Keadilan juga bagian
dari kelembagaan yang mesti disantuni karena di sinilah eksistensi pemerintah
dipertaruhkan. Sederhana saja, jika pemerintah mengundang investasi asing
dengan sejumlah insentif fiskal atau nonfiskal, apakah bobot sama juga
diberikan kepada pengusaha domestik, lebih-lebih pelaku skala kecil dan
koperasi. Alih-alih diberi ruang gerak, kehidupan mereka kian dicekik dengan
aneka kebijakan yang memojokkannya. Potensi peneriman pajak yang begitu
besar, katakanlah sekitar Rp 1.800 triliun (20 persen dari PDB), menguap
karena administrasi pajak buruk (termasuk perilaku korup) dan keterbatasan
regulasi/sumber daya. Banyak wajib pribadi ataupun badan tak tersentuh dan
seakan hal itu lumrah.
Akhirnya, desain kebijakan dan efektivitas kebijakan
fiskal dan moneter selalu dipertanyakan karena tak sesuai dengan sumber daya
”melimpah” yang dipunyai. Pada 2014 pentas kontestasi politik dibuka, semoga
pemimpin yang terpilih kelak punya nyali dan gagasan besar untuk mengubah
keadaan darurat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar