Mencegah
“Perampokan” Jelang Pemilu
Tim Kompas ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
02 Januari 2014
DALAM penggeledahan di sebuah percetakan milik seseorang yang terkait
perkara suap, formulir C1 palsu ditemukan. Padahal, formulir C1 ini merupakan
alat konfirmasi yang menentukan untuk penentuan perolehan suara baik di
pemilihan kepala daerah maupun pemilihan umum.
Ketika sistem politik
mendorong partai berubah menjadi sangat pragmatis dan ideologi tidak lagi
menjadi penentu arah perjuangan, pemilu bisa berubah hanya menjadi ajang
masing-masing kontestan untuk berlomba meraup sebanyak-banyaknya suara untuk
kepentingan sesaat. Cara-cara ilegal pun akhirnya dihalalkan.
Padahal, sejatinya pemilihan
umum adalah sebuah puncak proses berdemokrasi yang ”suci” karena di dalamnya
merepresentasikan kedaulatan rakyat. Dalam alam demokrasi, suara rakyat
diibaratkan suara Tuhan. Melalui pemilu pula, rakyat memilih wakilnya untuk
memperjuangkan aspirasi mereka. Rakyat memilih pemimpinnya yang dianggap bisa
mewujudkan cita-cita mereka.
Sekarang ini,
menjelang pemilu 2014, para konglomerat yang dulu hanya bermain
di belakang layar sudah langsung terjun dan menguasai
partai politik.
Sebenarnya, hal ini
juga tidak lepas dari kedudukan partai politik yang luar biasa sejak era
Reformasi. Melalui DPR, hampir tidak ada satu jabatan pun di negara ini yang
tidak melibatkan campur tangan partai politik. Peluang itu yang kemudian
ditangkap avontourir pemilik modal untuk menguasai negeri ini.
Modus perampokan uang
bank menjelang pemilu juga sebenarnya telah tercium sejak penyelenggaraan
pemilu pertama di era Reformasi pada tahun 1999. Sejak Pemilu 1999, ada
siklus perampokan uang di bank yang selalu terjadi setahun sebelum pemilu.
Tahun 1998 ada skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Sementara Pemilu 2004
menjadi penanda awal kisruh Bank Century. Merger beberapa bank bobrok yang
kemudian menjadi Bank Century dimulai saat itu. Kemudian, setahun sebelum
Pemilu 2009, ditandai dengan skandal pemberian dana talangan ke Bank Century
yang berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan, negara merugi hingga Rp 7
triliun lebih.
Pada Pemilu 2014,
tanda-tanda tersebut juga sudah terbaca. Tahun-tahun menjelang pemilu 2014
ditandai dengan pertarungan terus-menerus antara Bank Indonesia dengan
Kementerian Keuangan soal otoritas percetakan uang.
Ditambah dengan isu
redenominasi, yang berarti akan ada pengadaan uang baru hanya beberapa bulan
menjelang pemilu, artinya akan ada banyak anggaran untuk kebutuhan tersebut.
Pengadaan dalam jumlah cukup besar ini jelas rawan dikorupsi menjelang
pemilu.
Ini belum termasuk
cerita di luar siklus perampokan bank menjelang pemilu. Pada tahun 2014, APBN
menyepakati dana optimalisasi sebesar hampir Rp 27 triliun, yang belum jelas
kegunaannya untuk membiayai program kerja apa di tiap kementerian.
Mungkin karena siklus
perampokan bank menjelang pemilu sudah diketahui modusnya, dan kasusnya juga
disidik KPK, cara lain digunakan. Upaya mengeluarkan badan usaha milik negara
dari sistem keuangan negara juga salah satunya.
Dengan tak lagi
menjadi bagian sistem keuangan negara, BUMN yang kemudian dianggap sebagai
korporasi murni akan lepas dari jangkauan audit Badan Pemeriksa Keuangan
karena asetnya dipisahkan dari kekayaan negara. Kerugian keuangan negara yang
diakibatkan salah kelola BUMN pun tidak lagi masuk delik korupsi.
Saat ini, upaya
mengeluarkan BUMN dari UU Keuangan Negara tengah diujimaterikan di Mahkamah
Konstitusi.
Belum dipisahkan dari
kekayaan negara saja sudah ada BUMN yang berani main-main. Dalam sebuah studi
KPK tentang business process pengalokasian gas untuk pabrik pupuk,
KPK menemukan indikasi permainan harga.
Awalnya, ada satu
perusahaan pupuk yang akan mendapatkan alokasi gas dari lapangan tertentu
dengan harga murah. Entah mengapa tiba-tiba alokasi gas tersebut dialokasikan
untuk perusahaan swasta. Sementara perusahaan pupuk milik negara ini
mendapatkan alokasi gas dari lapangan lain dengan harga mahal.
KPK pun terpaksa main
gertak terhadap para pemangku kepentingan di industri ini. Hasilnya,
keputusan pengalokasian gas tersebut kembali berubah ke skema awal.
Korupsi menjadi habitus
Perilaku korup seakan
memang sudah menjadi habitus. Korupsi sudah menjadi sebuah keterampilan,
menjadi tindakan praktis yang tidak selalu disadari dan kemudian
diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan
berkembang dalam lingkungan sosial tertentu.
Setiap orang pun
dikondisikan oleh lingkungannya, diarahkan oleh rutinitas tindakan yang
berulang-ulang, sehingga tidak mengenal lagi salah atau benar. Akhirnya,
semua kembali ke partai politik yang menjadi pemain utama dalam sistem
demokrasi.
Kini, kekayaan sumber
daya alam negeri ini juga sebenarnya dalam posisi ”dirampok” besar-besaran,
salah satunya minyak dan gas. Di SKK Migas, setiap tahun terjadi sekitar
23.000 tender. Nilai transaksi uangnya mencapai Rp 180 triliun. Kini,
blok-blok terbesarnya sedang dipercepat proses tender-tendernya sehingga
kalau terjadi kebocoran, nilainya akan sangat luar biasa besar.
Ke depan, agar negara
dan rakyat juga tidak dirugikan oleh ulah para koruptor, perlu didorong juga
segera diratifikasinya United Nation Convention Against Corruption. DPR pun
perlu mendorong pemerintah agar segera meratifikasinya. Dengan demikian, KPK
pun memiliki alat untuk mengejar aset-aset hasil korupsi. Termasuk,
pengembalian aset curian yang dihalangi oleh ketentuan kerahasian bank.
Pemilu sesungguhnya
juga dapat menjadi alat bagi rakyat untuk menghukum pejabat negara yang
korup. Sayangnya, belum seluruh rakyat menyadarinya. Sebenarnya dengan
bantuan KPK yang terus menindak para perampok uang rakyat ini, rakyat
seharusnya bisa jeli melihat. Mereka yang telah berperilaku korup semestinya
tidak dipilih lagi dalam pemilu.
Pilihan untuk
mewujudkan cita-cita hadirnya negara yang adil, makmur, dan sejahtera ada di
tangan semua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar