Kamis, 16 Januari 2014

Mencari Cetak Biru Penyiaran dan Telekomunikasi

Mencari Cetak Biru Penyiaran dan Telekomunikasi

Diani Citra  ;  Peneliti Digitalisasi Penyiaran
KOMPAS,  16 Januari 2014
                                                                                                                        


Kementerian Komunikasi dan Informatika akhirnya membatalkan deadline digitalisasi penuh (switch-off) penyiaran Indonesia yang semula dijadwalkan tahun 2018. Menurut juru bicara Kemenkominfo, Gatot S Dewabroto, peraturan menteri baru yang mengizinkan TV digital hadir bersama TV analog akan diterbitkan. Masih menurut Dewabroto, lewat seleksi alam, stasiun analog akan tutup dengan sendirinya bila tidak sanggup lagi bersaing dengan teknologi digital.

Rencana awalnya, tahun 2018 semua stasiun televisi sudah bersiaran digital dan pemerintah akan mematikan semua siaran analog di seluruh Indonesia.
Rencana ini mental ketika Mahkamah Agung (MA) membatalkan Permen Nomor 22 yang mengatur penyelenggaraan dan penzonaan siaran digital.

Keputusan ini menanggapi tuntutan dari Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATVJI) dan Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) yang menyebut permen itu tidak memiliki payung hukum karena Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sama sekali tidak menyebut pengadaan penyiaran digital.

Pernyataan ”seleksi alam” dari Kemenkominfo sebenarnya agak mengkhawatirkan karena mengesankan bahwa pemerintah lepas tangan terhadap nasib stasiun kecil.
Pemerintah wajib memastikan bahwa yang ”selamat” mengarungi bahtera migrasi digital tak hanya stasiun-stasiun kaya dan nasional, tetapi juga stasiun yang kecil dan lokal.

Perlindungan ini paling baik diberikan melalui jaminan UU Penyiaran agar tidak mudah digeser jika terjadi pergantian kabinet dan kepentingan politik. Namun, alih-alih mendukung revisi UU Penyiaran, Kemenkominfo mengeluarkan permen baru yang hanya mengganti beberapa istilah yang dipermasalahkan MA.

Kebijakan reaktif

Kabar pembatalan switch-off ini sebenarnya bisa menjadi kabar baik kalau diiringi perencanaan penyiaran dan telekomunikasi yang matang. Kalau digitalisasi harus menjadi sebuah keniscayaan dalam perkembangan teknologi penyiaran Indonesia, kita perlu memiliki peta kebijakan yang jelas menjabarkan arah industri penyiaran (dan telekomunikasi), setidaknya 5-10 tahun ke depan, berkaitan dengan keberadaan DTV (digital television). Tindakan Kemenkominfo menunjukkan bahwa diskusi dan kebijakan mengenai DTV masih reaktif, bukan antisipatif.

Narasi digitalisasi pertelevisian baru menjadi pembicaraan santer ketika industri televisi nasional menawarkan DTV sebagai solusi kewajiban mereka untuk berjaringan. Dengan digitalisasi, mereka dapat terus bersiaran nasional dan stasiun lokal bisa mendapat ruang lebih besar. Namun, masih banyak masalah berjaringan yang tidak mampu diselesaikan oleh migrasi digital.

Sosialisasi DTV ke masyarakat pun bermentalitas reaktif. Ratifikasi deklarasi International Telecommunication Union (ITU) adalah jawaban yang paling sering disampaikan.

Sebenarnya, walaupun ratifikasi ITU berpengaruh besar dalam penentuan kebijakan DTV, Indonesia tetap memiliki ruang agensi yang cukup untuk menentukan arah perkembangan teknologi serta manfaatnya untuk bangsa.

Contohnya, pemilihan teknologi digitalisasi tertentu dibandingkan dengan lainnya, seperti keputusan Indonesia untuk memilih DVBT-2 (Eropa) dan bukannya ISDB (Jepang) atau ATSC (Amerika), memiliki konsekuensi masa depan—baik teknologi, budaya, maupun politik internasional—yang perlu kita perhitungkan dari sekarang.
ATSC lemah untuk mengembangkan simulcasting (analog dan digital disiarkan secara paralel), tetapi versi 3.0-nya bisa menyajikan ultra HDTV (high definition television), ISDB unggul untuk mengembangkan data broadcasting dan HDTV mobile reception. Sementara DVB memang sering dianggap pilihan aman di antara keduanya. 
Pemilihan teknologi akan berdampak pada wajah penyiaran dan telekomunikasi Indonesia.

Kesalahpahaman

Kesalahpahaman terbesar sosialisasi DTV adalah anggapan bahwa digitalisasi penyiaran otomatis berarti gambar dan suara siaran berkualitas tinggi HDTV. Kenyataannya, gambar berkualitas HDTV hanya akan bisa dinikmati oleh pemirsa yang membeli televisi HDTV yang relatif mahal. Masyarakat yang mengandalkan dekoder dan televisi standar (standard definition television-SDTV) tidak akan mendapatkan peningkatan kualitas gambar dan suara yang signifikan.

Selain dari itu, masyarakat juga perlu tahu bahwa yang dimungkinkan oleh kompresi data DTV adalah lebih banyak sisa ruang dalam frekuensi siaran, tetapi bukan berarti harus digunakan untuk ber-HDTV. Sisa bandwith ini bisa digunakan juga untuk menambah pilihan program (multicasting). Kalau setelah digitalisasi Indonesia tetap menggunakan kualitas gambar standar, penyelenggara penyiaran akan memiliki lebih banyak lagi ruang ekstra untuk menambah saluran dan program lain, seperti data broadcasting, software delivery, dan e-mail.

Di Amerika Serikat, perdebatan tentang keperluan ber-HDTV versus  multicasting sempat santer. Bahkan, Rupert Murdoch, salah seorang raja media massa di AS, awalnya menyebut HDTV sebagai isu kemewahan. Diwawancarai majalah Forbes, ia mempertanyakan kenapa spektrum ekstra yang dimungkinkan oleh digitalisasi tidak sepenuhnya digunakan untuk memperkaya jumlah saluran atau kalan agar masyarakat memiliki lebih banyak pilihan program.

Multicasting pun perlu diatur dengan hati-hati karena berpotensi memecah pasar iklan. Multicasting, jika tak ditangani dengan seksama, dapat menyiksa televisi lokal karena pasar iklan yang makin terpecah-pecah dan yang berjaya hanyalah televisi nasional.

Digitalisasi, seperti halnya teknologi lain, hanyalah alat untuk mencapai tingkat kemajuan. Yang berperan utama adalah bangsa dan manusia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar