Mempersempit
Politik
Bisma Yadhi Putra ; Alumnus Program Studi Ilmu Politik Universitas Malikussaleh
(Unimal) Lhokseumawe; Koordinator Penulis Lima
|
OKEZONENEWS,
16 Januari 2014
TAHUN diselenggarakannya pemilu disebut banyak orang
sebagai “tahun politik”. Tidak jelas siapa yang menciptakan istilah tersebut.
Yang jelas, saya merasa kasihan kepada yang bersangkutan. Semoga lain kali
dia tidak gegabah menciptakan istilah.
Diyakini berbagai aktivitas politik—kekerasan, persaingan, perampokan anggaran daerah untuk biaya politik, praktik politik uang, konspirasi, atau pencitraan—akan semakin intens menjelang pemilu. Sebab itulah tahun 2014 disebut “tahun politik”. Seolah hanya aktivitas-aktivitas seperti itulah yang jadi hakikat politik. Tak bermaksud berlebihan, tetapi term “tahun politik” patut digugat karena akan menimbulkan kesesatan terhadap cara memandang politik. Apa yang salah? Mulai dari pengamat politik, politikus, ekonom, media massa, hingga orang awam menggunakan istilah tersebut untuk “menamakan” tahun 2014. Padahal bisa saja 2014 disebut “tahun ekonomi” karena pemilu dapat menggerakkan sektor riil, khususnya usaha percetakan banner. Atau bisa disebut “tahun budaya” jika pemilu ternyata mampu menelanjangi kultur modern bangsa ini yang gandrung pada kekerasan. Jika usai pemilu ada banyak orang mengidap gangguan jiwa, kenapa tidak disebut “tahun orang gila” saja? Sebaiknya jangan melazimkan yang keliru. Politik bukanlah “kamar hidup” yang hanya berkaitan dengan pemilu. Lokalisasi politik adalah tindakan keliru. Politik tidak bisa diperlakukan seperti itu. Politik punya bahasan dan aktivitas yang lebih luas. Bahkan ia berjejaring dengan “kamar hidup” lainnya. Ruangnya tidak sesempit bilik suara. Politik bukan semata soal kompetisi mencari suara pemilih. Proses politik mencakup banyak hal, segala hal yang menyangkut masalah publik—olahraga, agama, polusi, banjir, harga makanan, transportasi, dan sebagainya. Puncak politik bukan pemilu. Tetapi puncaknya adalah ketika tercapainya “kebenaran politik”—tidak ada yang lapar, tidak ada yang putus sekolah, rasa aman, hukum ditegakkan, kesejahteraan, negara kuat, dan seterusnya. Sementara pemilu adalah momen yang jelas-jelas tidak memberi garansi apa pun untuk tercapainya puncak itu. Di sini saya tidak perlu memaparkan bukti-bukti untuk argumen barusan. Bukti-bukti itu telah berserakan di sana-sini, dan Anda bisa melihat atau bahkan merasakannya sendiri. Sederhananya: pemilu adalah perjuangan orang-orang menjadi elite politik, yang kemudian tidak pasti elite-elite politik itu bersedia masuk dalam perjuangan menyelamatkan rakyat (perjuangan politik sesungguhnya/”kebenaran politik”). Sulit disangkal bahwa “kesibukan-kesibukan politik” akan meninggi di tahun ini. Sementara kesibukan-kesibukan tersebut sama sekali tidak menjamin politik akan diarahkan pada “kebenaran politik”. Jadi, pemilu merupakan salah satu tahapan penyelenggaraan politik yang tidak bisa begitu diharapkan. Karena hanya sebuah tahap, bukan pangkal apalagi puncak politik, maka tidak pantaslah tahun saat pemilu diselenggarakan disebut “tahun politik”. Lagian, dari bermacam sistem politik yang tersedia, tidak semua menjadikan pemilu sebagai mekanisme sah penggantian dan pengangkatan elite politik. Pemilu adalah metode sirkulasi elite politik yang legal menurut demokrasi. Sementara aristokrasi tidak menganjurkan itu. Tetapi bukankah negara kita menganut sistem demokrasi? Iya. Maka tidak salah dong ketika berbicara demokrasi juga bicara pemilu? Betul. Apakah keliru menempatkan pemilu sebagai kegiatan besar atau puncak politik dalam demokrasi? Tidak. Lalu masalahnya apa? Masalahnya, itulah kecacatan demokrasi. Pemilu menjadi momen untuk mencurahkan segala fokus dan energi demi kekuasaan. Dan rakyat, yang katanya paling berdaulat dalam negara, nyatanya hanya dibuat riang dalam pesta demokrasi. Habis pesta terbitlah derita. Padahal pesta itu menghabiskan begitu banyak dana, tetapi kemudian hanya menghasilkan serigala-serigala. Itukah “puncak politik” dalam demokrasi? Faktanya iya. Mohon maaf kalau saya harus berkata seperti ini: demokrasi substansial hanyalah omong kosong belaka. Melihat politik Politik harus dilihat secara kreatif. Jangan melulu diasosiasikan pada pemilu. Dalam perguruan tinggi, misalnya, akibatnya sempitnya persepsi pada politik, muncul kecenderungan mahasiswa lebih suka menjadikan pemilu, pilkada, motivasi pemberian suara, atau parpol sebagai topik skripsi. Perguruan tinggi harusnya mencetak ilmuwan-ilmuwan politik yang bisa melihat politik tidak dari sudut pandang yang sempit. Masalah “tahun politik”, beberapa orang (akademisi, penulis, pengamat politik) sudah melancarkan kritiknya. Lalu “akademisi dangkal” yang kena kritik menganggap pengkritik mereka terlalu berlebihan menggugat sebuah term. Padahal istilah yang digugat tersebut bisa menimbulkan dampak buruk yang makro: pembodohan politik secara massal. Orang-orang awam bisa “melihat politik hanya sebatas pemilu”. Dan akademisi, yang dianggap pakar oleh para awam, ternyata berbagi persepsi yang sama. Tanpa mau repot-repot menganalisis dampak negatifnya, istilah “tahun politik” digunakan dengan enteng dalam diskusi-diskusi. Jika kelak membangkitkan kekeliruan umum terhadap politik, mereka yang seperti tikus dalam liang itu mesti mempertanggungjawabkan kesalahannya. Penggunaan istilah “tahun politik” juga dapat menimbulkan kesan superioritas pada politik. Diskusi-diskusi terhadap “kamar hidup” lainnya bisa dianggap tidak menarik. Krisis air di perdesaan, misalnya, menjadi suatu topik yang sepi dibahas karena orang-orang larut pada pemilu. Padahal “kebenaran politik” juga bicara soal ketersediaan air bersih bagi semua orang. Bukan begitu? Coba Saudara pikir sendiri. Saya merasa sudah cukup berdebat dengan mereka yang kukuh ingin mempersempit politik. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar