Menari
atas Kendang Orang Lain
Sri-Edi Swasono ; Guru Besar Universitas Indonesia,
Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa
|
KOMPAS,
15 Januari 2014
KITA patut bangga, ramai di
media sosial, sliwar-sliwer melalui SMS dan internet, anak-anak muda kita
mampu membenarkan sikap keras India yang membela kepentingan nasionalnya pada
Konferensi WTO di Bali baru-baru ini.
Kesepakatan-kesepakatan berupa
kesepakatan perdagangan bebas (free
trade agreements) sebagai kelanjutan dari Kesepakatan Umum mengenai Tarif
dan Perdagangan (General Agreement on
Tariffs and Trade/GATT) serta kemudian Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) adalah
derivat-derivat dari ideologi persaingan pasar-bebas.
WTO didominasi negara-negara
adidaya ekonomi—AS, Jepang, Kanada, dan Uni Eropa, barangkali segera diikuti
China dan Korea—yang siap mengeksploitasi kelemahan-kelemahan negara-negara
berkembang. Seperti saya tuliskan di Kompas (5/5/2011), WTO
mengambil prinsip dan persetujuan GATT, kemudian menggantikan GATT sejak
1995. Memang GATT menomorduakan kepentingan negara berkembang sehingga GATT
diberi julukan ”klubnya orang-orang kaya”. Dari GATT ke WTO inilah makin
berkecamuk ide bersaing neoliberalistik di Indonesia.
Bicara mengenai bergoyangnya
pendulum (swing of pendulum) dari
kiri ke kanan atau sebaliknya adalah kuno, lagi pula membuat kita
terperangkap oleh ambivalensi ”jalan tengah” di antara yang kanan dan kiri
itu-itu saja. Lebih dari itu, kita perlu memperhatikan telah terjadi
pergeseran-pergeseran paradigma (shift
of paradigms).
Paradigma ekonomi telah bergeser, dari kompetitivisme ke
kooperativisme, dari individualisme self-interest kemutual-interest,
dari market-centered ke people-centered, dari ”daulat pasar”
ke ”daulat rakyat”, dari manusia sebagai homo-economicus tamak ke
manusia sebagai homo-socious dan homo-humanus, dari konflik ke
koeksistensi damai, yang serba multidimensional.
Mari kita perhatikan kelahiran
Liga Bangsa-Bangsa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Keduanya merupakan fora
kerja sama untuk menuntaskan dua Perang Dunia, artinya paradigma kerja sama
mulai mencuat untuk menandingi paradigma persaingan yang menimbulkan dua
perang besar dalam sejarah peradaban abad ke-20. Selanjutnya kita saksikan
tumbuhnya sejumlah kerja sama regional dan global, bilateral, atau
multilateral yang tanpa kita sadari mengatur persaingan-persaingan secara
damai, dalam bentuk aliansi-aliansi, traktat-traktat, yang meredam persaingan
menjadi kerja sama strategis.
Persaingan (competition) diredakan kerja sama (cooperation) menjadi coopetation,
yaitu bekerja sama untuk mengatur persaingan untuk mencapai kepentingan
bersama—saling memajukan ke arah solusi saling menguntungkan (win-win solution).
Jika the brotherhood of men menjadi paradigma baru global setelah
runtuhnya Tembok Berlin dan disusul berdirinya Uni Eropa, bahkan dari segi
peradaban merupakan aksioma global, penghamburan keuangan oleh
korporasi-korporasi untuk perang iklan extravagant merupakan pemborosan sumber-sumber sosial (a waste of social resource),
perang-dagang dengan free-fight
competition merupakan pemborosan energi sosial (a waste of social energy). Banyak
petarung yang kalah akan berguguran, tetapi bisnis ”leviathans” dengan semangat the winners-take-all menafikan kerugian energi global ini,
tetap saja ”…pemenang pertarungan akan
dengan keji menyingkirkan yang lemah dan kalah ke pinggiran pasar…” (Thurow, 2000) dan merenggut
kedaulatan-kedaulatan nasional.
Perenggutan kedaulatan inilah yang
ditolak India. India menolak menari atas kendang WTO. Tulisan saya di Kompas yang
lalu saya angkat kembali di sini: bagaimana Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (Asia Pacific Economic Cooperation/APEC)
tidak berubah menjadi Kompetisi Ekonomi Asia Pasifik (Asia Pacific Economic Competition) seperti sekarang? Bagaimana
WTO tidak merupakan forum dominasi bagi si kuat terhadap si lemah? Dalam
kedaulatan bernegara, memproteksi diri harus tetap merupakan opsi. Ekonom
penerima Nobel, Paul Krugman (2001), mencemaskan obsesi kompetisi akan
melahirkan perang dagang global yang berbahaya.
Jalan lurus
Kita tidak menganut paham
”goyangan pendulum”. Artinya, tidak mengenal ”jalan tengah”, tetapi
mengajukan ”jalan lain”, para pendiri negara (founding fathers) menyebutnya sebagai ”jalan lurus” atau ”jalan
Pancasila”. Sejak awal kemerdekaan, kita menegaskan politik luar-negeri
”bebas-aktif” yang saat itu diartikan sebagai kemandirian menentukan nasib (destiny), tidak pro AS dan tidak pro
US. Itulah maka selanjutnya dalam politik luar negeri kita membentuk kerja
sama dan aliansi strategis Asia Afrika dan kemudian bekerja sama dalam
gerakan Non Blok dan seterusnya.
Fora kerja sama strategis global
makin menjamur di tengah-tengah ketamakan kapitalisme dan neoliberalisme yang
selalu menantang bersaing menang-menangan. Dunia sedang hidup dalam
ambivalensi, bicara bekerja sama dengan roh bersaing. Posisi kita memantapkan
budaya kerja sama (gotong royong) di dalam-negeri demi keberhasilan
beraliansi strategis dalam kesetaraan dengan kekuatan-kekuatan dunia
internasional.
Berulang kali tokoh-tokoh besar
ekonomi menegaskan perlunya diakhiri pasar-bebas. Bahkan Keynes sebagai salah
satu ekonom terkemuka dalam sejarah pemikiran ekonomi pada tahun 1926 menulis
artikel dengan judul spesifik ”The End
of Laissez-Faire” (Perlu
Diakhirinya Pasar Bebas), yang didukung dan dilanjutkan tokoh-tokoh besar
lain, seperti Polanyi, Myrdal, Galbraith, Thurow, Soros, Kuttner, Stiglitz,
Krugman, dan Akerlof. Perumus Pasal 33 UUD 1945 jauh-jauh hari (1934) telah
menolak pasar bebas Adam Smith karena akan ”…memperbesar mana yang kuat dan menghancurkan mana yang lemah….”
Namun, mengapa setiap kali
perlunya diakhiri pasar bebas ditegaskan, setiap kali pula muncul kembali?
Jawabannya, kapitalisme predatorik mau hidup berkelanjutan, dan kapitalisme
tidak bisa hidup tanpa pasar bebas, ibarat ikan tidak bisa hidup tanpa air.
Pasal 33 UUD 1945 menyatakan ”Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”. ”Disusun”, dalam konteks orde dan
sistem ekonomi, berarti ”perekonomian”
secara imperatif tidak boleh dibiarkan tersusun sendiri mengikuti mekanisme,
kehendak, dan selera pasar. Dengan demikian, peran negara tidak sekadar
mengintervensi, tetapi menata, mendesain wujud, dan menstruktur, untuk
mewujudkan bangun kebersamaan dan asas kekeluargaan serta keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan nasional tidak seharusnya
diserahkan pada insting dasar (kerakusan) pasar, tetapi harus disusun oleh
negara.
Dalam pembangunan nasional yang
kita bangun adalah rakyat, bangsa, dan negara. Kepentingan manusia Indonesia
lebih diutamakan daripada kepentingan modal dan pemodal. Kita mengutamakan
kepentingan nasional tanpa mengabaikan kepentingan global. Kita patut menolak
tuntutan global manakala mencederai kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.
Ikut melaksanakan ketertiban dunia dan mewujudkan koeksistensi damai adalah
roh UUD 1945, sesuai dengan roh alinea keenam Mukadimah Piagam PBB. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar