Ambisi
Menjadi Presiden
Indra Tranggono ;
Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan
|
KOMPAS,
09 Januari 2014
UNTUK apa orang berambisi jadi
presiden? Inilah pertanyaan krusial bagi para elite politik menjelang Pemilu
2014. Untuk apa jadi presiden jika hanya ingin menyengsarakan rakyat?
Inilah pernyataan bernada gugatan dari publik.
Jika pertanyaan dan
pernyataan di atas dipersambungkan, muncul kesimpulan: seorang yang terpilih
menjadi presiden seharusnya tidak menyengsarakan rakyat. Kenyataannya?
Selama ini belum ada presiden yang ”memuaskan”, apalagi membahagiakan rakyat.
Kebanyakan yang ada adalah presiden yang justru ”membahayakan” nasib rakyat.
Hakikat presiden
adalah pelayan agung. Ia mewujudkan dan memberikan hak-hak fundamental kepada
rakyat, pemilik sah kedaulatan. Presiden melakukan pembacaan yang
cerdas dan mewujudkan pesan-pesan kebenaran obyektif ideologi dan
konstitusi di dunia praksis. Artinya, nilai-nilai ideologis dan
konstitusional (dimensi keadaban) yang jadi pijakan kerja (dimensi
kebudayaan) harus bertemu nilai guna dan manfaat bagi rakyat.
Muara pertemuan dua
arus nilai itu adalah kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, seorang presiden
adalah pembaca dan penafsir yang cerdas dan visioner atas ideologi dan
konstitusi (dimensi etik). Ia juga seorang yang memiliki keterampilan teknis,
kemampuan manajerial, dedikasi dan percaya diri terkait dengan kekuasaan yang
diemban (dimensi etos).
Tantangan besar
seorang presiden adalah juga membangun visi: ke mana bangsa dan negara
ini mau dibawa. Apakah negara sekadar dijadikan tangan panjang bagi kekuatan
kapital sehingga seorang presiden cukup menjadi ”lurah pasar bebas” atau
”satuan pengaman” bagi kepentingan ekonomi asing?
Apakah bangsa ini
sekadar dijadikan bangsa konsumen untuk mendukung kekuatan kapital? Jika ini
yang dipilih, seorang presiden tak perlu membaca, menafsir, dan mewujudkan
cita-cita konstitusi karena kuasa kapital justru antikonstitusi. Selain itu,
juga tidak dibutuhkan lagi kapasitas negarawan karena di dalam kuasa kapital
negara dan negarawan justru diasingkan dari urusan publik.
Kapital sebagai panglima
Cita-cita paripurna
kuasa kapital adalah menjadikan rakyat ”tanpa perlindungan negara” sehingga
mudah untuk ”diterkam” dan dieksploitasi. Jika pihak yang memenangi Pemilu
Presiden 2014 adalah kuasa kapital, nasib rakyat gulung tikar bahkan tamat.
Yang terjadi bukan ekonomi sebagai panglima, seperti yang selama ini
disalahpahami banyak orang, melainkan kapital sebagai panglima.
Ekonomi sebagai
panglima masih mengandung ”asas manfaat” bagi rakyat, meskipun kecil. Rakyat
masih bisa mendapatkan celah pertarungan untuk mendapatkan akses ekonomi. Ini
bisa kita lihat dan rasakan di dalam rezim Orde Baru. Waktu itu, minimal
rakyat masih bisa bertahan dengan keuangan pas-pasan. Hal ini juga disokong
”terkendalinya” harga kebutuhan pokok.
Sementara dalam
paradigma kapital sebagai panglima, eksistensi rakyat tak pernah dihitung.
Rakyat berkemampuan teknis tinggi dijadikan ”kuli”. Rakyat berkemampuan
ekonomi dijadikan konsumen. Adapun rakyat yang miskin secara teknis dan
ekonomis diusir dari pasar.
Kita berharap
pertanyaan ”untuk apa jadi presiden” akan dijawab presiden terpilih nanti
dengan sikap kesatria khas negarawan: ”Aku pelayan yang mencintai rakyat,
majikan agungku. Kuwakafkan integritas, komitmen, dan kemampuanku hanya
kepada rakyat.”
”Bagiku, keberhasilan
tak hanya diukur dari kepuasan (meterial-biologis-psikologis) rakyat, tapi
juga kebahagiaan rakyat karena tugas esensial pemimpin adalah membahagiakan
rakyat bahagia, sebuah pencapaian yang rohaniah.”
”Aku tidak punya
cita-cita menggemukkan jumlah depositoku karena aku merasa cukup dengan
gajiku. Tak ada niatku berkhianat dengan korupsi konstitusi atau
materi. Aku akan menjadi orang terdepan dalam melibas tikus-tikus berdasi
yang mengangkangi lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Merekalah
yang selama ini membuat APBN dan APBD jebol.”
”Aku juga tak mau jadi
makelar yang menguntungkan kekuatan ekonomi asing. Kutinjau kembali
kontrak-kontrak kerja yang melibatkan kekuatan ekonomi asing demi mengubah
posisi rakyat dari korban menjadi pemilik kedaulatan.”
”Aku juga tidak tega
rakyatku dibikin bodoh. Setiap hari mereka dijejali sampah kebudayaan berupa
hiburan yang dangkal. Aku melawan ketika rakyatku dilucuti identitas
budayanya serta dibunuh karakternya. Aku hidupkan kebudayaan, baik budaya
ide, perilaku/ekspresi, budaya material, maupun nilai-nilai adat dan
tradisi.”
”Namun, apakah dengan
cita-citaku itu aku bisa jadi presiden? Urusan presiden bukan hanya
demokrasi, melainkan juga modal. Dan kuasa modal itu yang kini lantang bicara
dan menentukan segalanya. Tapi aku tidak menyerah. Aku hanya berharap rakyat
sadar bahwa selama ini mereka ditipu kekuatan kapital.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar