Memutus
Embrio Teroris
Janpatar Simamora ;
Kandidat
Doktor Ilmu Hukum
Universitas
Padjadjaran Bandung
|
KORAN
JAKARTA, 03 Januari 2014
Mengawali tahun 2014, Detasemen Khusus 88
Antiteror (Densus 88) Polri menorehkan kinerja yang cukup mengejutkan banyak
pihak. Betapa tidak, di tengah suasana perayaan Tahun Baru, Densus berhasil
menyergap 7 orang yang diduga kuat sebagai pelaku teror, 6 di antaranya tewas
ditembak.
Tahun 2011 Densus menangkap Abu Bakar
Ba’asyir karena terlibat dalam sejumlah aksi teror di Tanah Air. Ada tujuh
sangkaan pada Baasyir, salah satunya berperan aktif dalam menyiapkan rencana
awal pelatihan militer bagi kelompok teror di Aceh, khususnya pembentukan Aqidah
Amimah sebagai basis perjuangan militer.
Baasyir juga disangka menunjuk Mustofa
alias Abu Tolib sebagai pengelola latihan militer di Aceh. Selain itu, dia
dituduh menunjuk Dulmatin sebagai penanggung jawab lapangan untuk latihan
militer di Aceh. Baasyir juga merestui dan mendanai latihan
militer di Aceh.
Terlepas dari pembuktian kelak, aksi Densus 88 kali ini bukan asal atau salah
sasaran. Langkah Polri mengungkap tabir terorisme yang meresahkan warga patut
diapresiasi. Di tengah berbagai pandangan miring dan hujatan atas kinerja
Polri yang dianggap tidak profesional, Densus mampu menepisnya.
Sebelumnya, melalui kinerja dan prestasinya
dalam mengungkap jaringan teroris yang masih menjamur, polisi juga berhasil
menyisir dua gembong teroris, Syarifudin Zuhri dan Mohamad Syahrir, Jumat, 9
Oktober 2009, di sebuah rumah kos di daerah Ciputat, Tangerang. Sebelum itu,
Polri berhasil menorehkan prestasi besar dengan menghabisi gembong teroris
paling dicari, Nurdin M Top.
Sayang, kendatipun kepolisian terus menumpas
gerakan terorisme di Tanah Air, ternyata belum mampu menimbulkan efek jera
para aktor. Masih banyak teroris dan jaringannya. Kaderisasi teroris masih
saja berjalan dan bahkan mungkin sudah menjamur. Dari fakta yang mengemuka,
proses kaderisasi para tokoh utama teroris berjalan rapi dan permanen.
Berkembang
Gerakan teoris terus berkembang meski ada
perburuan. Di tengah gencarnya semangat memerangi dan memutus mata rantai
gerakan terorisme, perlu kembali mendaur ulang berbagai kebijakan terkait
dengan pemberantasan terorisme. Penanganan terorisme dengan mengandalkan
upaya konvensional belum mampu menimbulkan efek jera.
Perlu dibangun sistem pemberantasan
terorisme yang terkoordinasi dengan langkah multisektoral dan multidimensial.
Apa pun pertimbangannya, aksi teroris tidak boleh mendapat tempat di muka
bumi. Maka, penegak hukum dalam memberantas terorisme patut diapresiasi.
Dalam perjalanan sejarah pemberantasan
terorisme secara universal, upaya-upaya untuk mengubur dalam-dalam gerakan
yang tidak berperikemanusiaan itu sudah digulirkan sekitar pertengahan abad
ke-20.
Dari berbagai literatur, sejak tahun 1937,
sudah ditemukan upaya konkret mencegah dan memberantas berbagai aksi teror,
khususnya terhadap pejabat negara.
Lahirnya Konvensi Pencegahan dan Penghukuman
Terorisme (Convention for The
Prevention and Suppression of Terrorism) pada tahun 1937 merupakan bukti
nyata bahwa pemberantasan terorisme sudah mengemuka sejak dulu.
Namun dalam catatan historisnya, artikulasi
gerakan terorisme kala itu hanya berkutat pada pemaknaan sebagai crime state.
Gerakan terorisme masih dipandang sebagai upaya pembunuhan terhadap kepala
negara. Belakangan, aksi terorisme tidak lagi hanya dialamatkan kepada
pemimpin sebuah negara, namun sudah menjalar dan merambah luas hingga pada
masyarakat sipil.
Guna mengantisipasi perkembangbiakan
gerakan terorisme, perangkat hukum internasional segera menangkap gejala
perluasan serangan dan sasaran para teroris. Tahun 1977, melalui European Convention on The Supression of
Terorism di Eropa, pemahaman terhadap terorisme tidak lagi hanya berkutat
pada persoalan nasib kepala negara, melainkan sudah mulai bergeser dan
berkembang hingga pada penyelamatan nasib masyarakat sipil.
Kini, perkembangan gerakan terorisme sudah semakin nyata. Dalam beberapa aksi di Tanah Air, yang kerap menjadi korban justru masyarakat sipil yang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan penguasa. Melihat implikasi buruk yang kian meluas, maka gerakan terorisme idealnya masuk dalam kategori kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Kalau tidak, pemberantasan terorisme hanya
akan berkutat pada sistem hukum yang teramat elastis seperti diatur dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme.
Demikian juga dengan pola penahanan yang
dianut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kurang relevan
dalam memberi ruang yang cukup untuk memproses teroris. Aparat penegak hukum
mestinya diberi payung hukum yang lebih memadai dalam membabat habis pelaku
kejahatan luar biasa itu.
Kewenangan besar untuk menumpas kejahatan
yang bersifat luar biasa barangkali akan menjadi salah satu alternatif
mengefektifkan langkah hukum. Bangsa ini perlu belajar banyak dari negara
tetangga seperti Malaysia maupun Singapura, yang sudah lebih dulu
mengaplikasikan model penanganan tegas terhadap pelaku tindak pidana
terorisme.
Kendati demikian, langkah perluasan
kewenangan aparat penegak hukum jangan sampai mengabaikan prinsip-prinsip
perlindungan terhadap hak asasi manusia agar tidak menjadi bumerang di
kemudian hari.
Di sisi lain, lembaga peradilan juga
memiliki peran strategis dalam memutus embrio teroris. Melalui penjatuhan
vonis yang cukup berat terhadap para teroris besar kemungkinan akan
menjerakan. Yang tidak kalah urgen, pemerintah diharapkan mampu membangun
jaringan dengan negara lain untuk menumpas habis mata rantai terorisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar