Sabtu, 11 Januari 2014

Memutus Embrio Teroris

                                          Memutus Embrio Teroris

Janpatar Simamora  ;    Kandidat Doktor Ilmu Hukum
Universitas Padjadjaran Bandung
KORAN JAKARTA,  03 Januari 2014
                                                                                                                        


Mengawali tahun 2014, Detasemen Khusus 88 Antiteror (Densus 88) Polri menorehkan kinerja yang cukup mengejutkan banyak pihak. Betapa tidak, di tengah suasana perayaan Tahun Baru, Densus berhasil menyergap 7 orang yang diduga kuat sebagai pelaku teror, 6 di antaranya tewas ditembak. 

Tahun 2011 Densus menangkap Abu Bakar Ba’asyir karena terlibat dalam sejumlah aksi teror di Tanah Air. Ada tujuh sangkaan pada Baasyir, salah satunya berperan aktif dalam menyiapkan rencana awal pelatihan militer bagi kelompok teror di Aceh, khususnya pembentukan Aqidah Amimah sebagai basis perjuangan militer. 

Baasyir juga disangka menunjuk Mustofa alias Abu Tolib sebagai pengelola latihan militer di Aceh. Selain itu, dia dituduh menunjuk Dulmatin sebagai penanggung jawab lapangan untuk latihan militer di Aceh. Baasyir juga merestui dan mendanai latihan militer di Aceh.

Terlepas dari pembuktian kelak, aksi Densus 88 kali ini bukan asal atau salah sasaran. Langkah Polri mengungkap tabir terorisme yang meresahkan warga patut diapresiasi. Di tengah berbagai pandangan miring dan hujatan atas kinerja Polri yang dianggap tidak profesional, Densus mampu menepisnya. 

Sebelumnya, melalui kinerja dan prestasinya dalam mengungkap jaringan teroris yang masih menjamur, polisi juga berhasil menyisir dua gembong teroris, Syarifudin Zuhri dan Mohamad Syahrir, Jumat, 9 Oktober 2009, di sebuah rumah kos di daerah Ciputat, Tangerang. Sebelum itu, Polri berhasil menorehkan prestasi besar dengan menghabisi gembong teroris paling dicari, Nurdin M Top. 

Sayang, kendatipun kepolisian terus menumpas gerakan terorisme di Tanah Air, ternyata belum mampu menimbulkan efek jera para aktor. Masih banyak teroris dan jaringannya. Kaderisasi teroris masih saja berjalan dan bahkan mungkin sudah menjamur. Dari fakta yang mengemuka, proses kaderisasi para tokoh utama teroris berjalan rapi dan permanen. 

Berkembang 

Gerakan teoris terus berkembang meski ada perburuan. Di tengah gencarnya semangat memerangi dan memutus mata rantai gerakan terorisme, perlu kembali mendaur ulang berbagai kebijakan terkait dengan pemberantasan terorisme. Penanganan terorisme dengan mengandalkan upaya konvensional belum mampu menimbulkan efek jera. 

Perlu dibangun sistem pemberantasan terorisme yang terkoordinasi dengan langkah multisektoral dan multidimensial. Apa pun pertimbangannya, aksi teroris tidak boleh mendapat tempat di muka bumi. Maka, penegak hukum dalam memberantas terorisme patut diapresiasi.

Dalam perjalanan sejarah pemberantasan terorisme secara universal, upaya-upaya untuk mengubur dalam-dalam gerakan yang tidak berperikemanusiaan itu sudah digulirkan sekitar pertengahan abad ke-20. 

Dari berbagai literatur, sejak tahun 1937, sudah ditemukan upaya konkret mencegah dan memberantas berbagai aksi teror, khususnya terhadap pejabat negara.

Lahirnya Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Terorisme (Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism) pada tahun 1937 merupakan bukti nyata bahwa pemberantasan terorisme sudah mengemuka sejak dulu.

Namun dalam catatan historisnya, artikulasi gerakan terorisme kala itu hanya berkutat pada pemaknaan sebagai crime state. Gerakan terorisme masih dipandang sebagai upaya pembunuhan terhadap kepala negara. Belakangan, aksi terorisme tidak lagi hanya dialamatkan kepada pemimpin sebuah negara, namun sudah menjalar dan merambah luas hingga pada masyarakat sipil.

Guna mengantisipasi perkembangbiakan gerakan terorisme, perangkat hukum internasional segera menangkap gejala perluasan serangan dan sasaran para teroris. Tahun 1977, melalui European Convention on The Supression of Terorism di Eropa, pemahaman terhadap terorisme tidak lagi hanya berkutat pada persoalan nasib kepala negara, melainkan sudah mulai bergeser dan berkembang hingga pada penyelamatan nasib masyarakat sipil.

Kini, perkembangan gerakan terorisme sudah semakin nyata. Dalam beberapa aksi di Tanah Air, yang kerap menjadi korban justru masyarakat sipil yang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan penguasa. Melihat implikasi buruk yang kian meluas, maka gerakan terorisme idealnya masuk dalam kategori kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

Kalau tidak, pemberantasan terorisme hanya akan berkutat pada sistem hukum yang teramat elastis seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 

Demikian juga dengan pola penahanan yang dianut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kurang relevan dalam memberi ruang yang cukup untuk memproses teroris. Aparat penegak hukum mestinya diberi payung hukum yang lebih memadai dalam membabat habis pelaku kejahatan luar biasa itu. 

Kewenangan besar untuk menumpas kejahatan yang bersifat luar biasa barangkali akan menjadi salah satu alternatif mengefektifkan langkah hukum. Bangsa ini perlu belajar banyak dari negara tetangga seperti Malaysia maupun Singapura, yang sudah lebih dulu mengaplikasikan model penanganan tegas terhadap pelaku tindak pidana terorisme.

Kendati demikian, langkah perluasan kewenangan aparat penegak hukum jangan sampai mengabaikan prinsip-prinsip perlindungan terhadap hak asasi manusia agar tidak menjadi bumerang di kemudian hari.

Di sisi lain, lembaga peradilan juga memiliki peran strategis dalam memutus embrio teroris. Melalui penjatuhan vonis yang cukup berat terhadap para teroris besar kemungkinan akan menjerakan. Yang tidak kalah urgen, pemerintah diharapkan mampu membangun jaringan dengan negara lain untuk menumpas habis mata rantai terorisme.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar