Rabu, 15 Januari 2014

Banjir Jakarta di Tahun Politik

Banjir Jakarta di Tahun Politik

Firdaus Cahyadi  ;   Knowledge Manager for
 Sustainable Development One World-Indonesia
MEDIA INDONESIA,  15 Januari 2014
                                                                                                                       


“Banjir Jakarta ini adalah buah dari kesalahan paradigma pembangunan yang selalu dipakai oleh gubernur-gubernur Jakarta sebelum Jokowi.”

JAKARTA kebanjiran lagi. Sudah berkali-kali bencana ekologi itu menenggelamkan ibu kota negara. Namun, kali ini banjir di Jakarta memiliki nuansa lain jika dibandingkan dengan banjir di tahun-tahun sebelumnya. Hal itu disebabkan 2014 adalah tahun politik. Banjir pun berpotensi menjadi sebuah komoditas politik untuk menjatuhkan atau justru menaikkan seseorang di panggung politik menjelang Pemilu 2014.

Menjadikan banjir Jakarta sebagai komoditas politik menjadi sangat strategis seiring dengan menguatnya popularitas seorang Joko Widodo (Jokowi) yang kini menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta. Di berbagai survei nama Jokowi selalu mengalahkan elite politik lama. Desakan di internal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk menetapkan Jokowi menjadi presiden pun semakin menguat. Kekaguman masyarakat terhadap sosok Jokowi bertolak dari kemuakan terhadap banyak politikus lama yang berjarak dengan kehidupan masyarakat. Selain itu, para politikus lama itu juga sering kali berbeda antara perkataan dan tindakan. Di tengah `kebusukan' para politikus lama itulah popularitas Jokowi meroket.

Di tengah situasi seperti itulah kemudian bencana ekologi banjir Jakarta menjadi pintu masuk untuk mengganjal popularitas dia. Lawan-lawan politiknya akan mengatakan sebaiknya Jokowi mengurus dulu Kota Jakarta dengan benar sebelum mencalonkan atau dicalonkan menjadi presiden. Padahal, jika dikaji secara lebih jeli dan mendalam, banjir Jakarta ini adalah buah dari kesalahan paradigma pembangunan yang selalu dipakai oleh gubernur-gubernur Jakarta sebelum Jokowi. Paradigma pembangunan itu adalah dengan menempatkan Jakarta sebagai kota jasa di samping ibu kota negara.

Alih fungsi

Paradigma pembangunan itu mengharuskan pemerintah DKI Jakarta, siapa pun gubernurnya, untuk selalu memfasilitasi pertumbuhan kawasan komersial di kota ini. Padahal daya dukung Kota Jakarta ada batasnya. Dipakainya paradigma pembangunan yang menempatkan Kota Jakarta sebagai kota jasa di samping ibu kota negara itulah kemudian yang memicu alih fungsi secara besar-besaran ruang terbuka hijau, dan daerah resapan air menjadi mal serta kawasan komersial lainnya.

Bahkan keterbatasan ruang di Jakarta untuk menampung pertumbuhan kawasan komersial kemudian disiasati dengan reklamasi Pantai Utara Jakarta. Padahal reklamasi pantai untuk memfasilitasi pertumbuhan kawasan komersial akan memperburuk daya dukung ekologi Jakarta secara keseluruhan, bukan hanya di sekitar kawasan reklamasi. Alih fungsi lahan yang besar-besaran ini, menurut Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jakarta pada 2007, pada akhirnya membuat setiap kali hujan di Jakarta hanya sekitar 26% yang bisa terserap di dalam tanah. Sebanyak 70%-an air hujan lainnya menjadi air larian (run off) yang masuk ke sistem drainase kota untuk kemudian dialirkan ke sungai dan laut. Celakanya, drainase di Jakarta juga dalam kondisi buruk sehingga air larian itu tidak dapat tertampung.

Namun, andaikan drainase kota dalam kondisi baik pun belum tentu bisa menampung 70%-an air hujan yang tidak terserap di dalam tanah tersebut. Upaya yang harus dilakukan adalah dalam waktu yang bersamaan membenahi sistem drainase kota dan memperluas daerah resapan air, baik berupa ruang terbuka hijau maupun waduk. Hal itu mulai dilakukan oleh Gubernur Jokowi saat ini, meskipun belum selesai. 

Paradigma pembangunan yang dianut hampir semua gubernur Jakarta itu mendorong jutaan orang dari seluruh penjuru Tanah Air pun ditarik masuk ke Jakarta. Paradigma multifungsi kota itu menyebabkan tanah di Jakarta menjadi sangat mahal. Para pendatang itu pun sebagian besar menyebar di daerah sekitar Jakarta, termasuk Bogor, Jawa Barat.

Kondisi itu membuat meningkatnya permintaan perumahan di Bogor. Daerah-daerah resapan air, baik itu ruang terbuka hijau ataupun situ, di Bogor pun beralih fungsi menjadi kawasan perumahan. Seiring dengan itu meningkat pula permintaan akan kawasan komersial lain di sekitar perumahan. Akibatnya, semakin luas pula daerah resapan air yang dialihfungsikan. Hilangnya daerah resapan air di Bogor akibat maraknya pembangunan perumahan dan kawasan komersial ini membuat Jakarta semakin rentan terhadap banjir. Ironisnya, maraknya pembangunan yang tak ramah lingkungan di Bogor itu juga dipicu oleh paradigma pembangunan di Jakarta yang telah berlangsung cukup lama.

Kerentanan Jakarta juga diperparah dengan makin masifnya alih fungsi daerah resapan air di Puncak, Bogor, menjadi vila-vila dan kawasan wisata. Kepenatan orang-orang yang bekerja di Jakarta mengharuskan mereka berekreasi. Kawasan Puncak, Bogor, adalah salah satu kawasan terdekat dari Jakarta yang dapat digunakan untuk melepas penat. Di satu sisi, multifungsi Jakarta memang mampu menumbuhkan ekonomi di Puncak, Bogor. Namun, semakin lamanya Jakarta menjadi kota dengan multifungsi, semakin tak terkendali pula alih fungsi lahan di sana.

Paradigma pembangunan yang menempatkan Jakarta sebagai kota dengan multifungsi, kota jasa, dan ibu kota negara, ini harus diakhiri. Namun, tarikan politik terkait dengan banjir Jakarta pada 2014 kali ini tidak menyentuh persoalan paradigma usang pembangunan kota itu. Tarikan politik yang ada saat ini hanya berperspektif jangka pendek, seputar Pemilu 2014 saja. Sementara tarikan politik yang lebih berjangka panjang untuk membongkar paradigma pembangunan kota yang lebih ramah lingkungan terlupakan.

Padahal siapa pun gubernur Jakarta, kota ini akan tetap rawan banjir bila masih menggunakan paradigma pembangunan yang sama dengan gubernur sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar