Tsunami
Politik
Indra J Piliang ; Direktur
Eksekutif The Gerilya Institute
|
SUARA
KARYA, 31 Desember 2013
Dari beragam hasil survei, angka yang paling
menarik adalah berapa persen pemilih yang belum menentukan pilihannya yakni
rata-rata di bawah 30 persen.
Sekalipun begitu, pemilih yang sudah memilih
masih ada kemungkinan untuk berubah pilihan, tergantung pada perkembangan
dinamika politik sampai 9 April 2014 nanti.
Dari angka 30 persen, itu pun sudah termasuk
pemilih yang besar kemungkinan tidak menggunakan hak pilihnya. Berbeda dengan
Australia yang mewajibkan pemilih menggunakan hak pilihnya, di Indonesia
memilih adalah hak. Sebagai hak, boleh digunakan atau tidak.
Artinya, partai-partai politik hanya bisa
memperebutkan sekitar 10 persen pemilih lagi apabila angka golput mencapai 20
persen. Dalam Pemilu 2004, angka golput mencapai 23,34 persen. Angka itu
bertambah menjadi 29,01 persen pada Pemilu 2009.
Artinya, apabila pertambahan jumlah golput
terus terjadi, dibandingkan dengan hasil survei bulan Desember 2013 ini,
parpol tinggal berkelahi untuk merebut pemilih yang masih ragu-ragu di
masing-masing partai. Perkelahian itu dengan cara mencederai partai politik
lain dengan cara politik hitam.
Untuk mempertahankan tingkat keterpilihan,
partai politik seyogianya makin menonjolkan calon-calon anggota legislatifnya
ketimbang cerita tentang partainya. Di luar itu, pemilih kian rasional dengan
cara menyimak program-program yang ditawarkan ketimbang hanya sekadar wajah
yang manis atau ganteng.
Cara berkampanye juga tidak lagi mudah, lebih
banyak lewat tatap muka, dialog dan turun tangan ketimbang hanya
membagi-bagikan kalender atau stiker. Makin jelas dan baik program yang
disampaikan, makin besar peluang keterpilihan kandidat yang bersangkutan.
Makin sering bertemu konstituen, makin besar kesempatan bagi publik untuk
mengenali kandidat secara langsung.
Publik sudah rasional dengan sendirinya,
sehingga mencari satu suara saja begitu sulit. Jarang ada yang disebut suara
serumpun alias satu orang bisa memengaruhi sekian puluh, ratus atau ribu
orang lainnya. Bagi yang sudah berpengalaman di lapangan, pasti sering
bertemu dengan tipikal orang yang menjanjikan suara serumpun itu. Padahal, kenyataannya
kosong. Pergerakan manusia yang cepat, begitu juga informasi yang bertubi,
menyulitkan satu orang untuk memengaruhi banyak orang di zaman sekarang.
Masyarakat kian individualistis.
Dengan demikian, Pemilu 2014 sepertinya tak
akan lagi melahirkan efek tsunami politik sebagaimana terjadi dengan Partai
Demokrat pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. Begitu juga dengan PKS. Efek itu
hanya bisa terjadi ketika figur begitu kuat, sementara rekam jejak sama
sekali belum terbaca.
Masalahnya, Partai Demokrat dan Partai
Keadilan Sejahtera sudah tercoreng dengan beragam kasus korupsi, seperti juga
terjadi dengan partai lain. Sebaliknya, walau terserang kasus korupsi di
sebagian kadernya, Partai Golkar memiliki ketangguhan dari sisi infrastruktur
kepartaian serta cukup terbentengi dengan kader-kader yang sudah piawai
menghadapi isu negatif.
Sisa waktu menjelang
Pemilu 2014 akan lebih banyak diisi dengan dialog-dialog yang konstruktif dan
memberikan harapan ketimbang pola serangan kampanye hitam yang negatif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar