Kota
Air Berkelanjutan
Nirwono Joga ;
Pemerhati
Masalah Perkotaan
|
KOMPAS,
11 Januari 2014
MUSIM hujan datang banjir, itu
biasa. Mencari metode efektif ramah lingkungan untuk mengatasi banjir pada
musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau baru luar biasa. Salah satunya
adalah metode daerah tangkapan air hujan dan kemudian mengalirkannya ke
sungai atau kolam penampung, seperti waduk, situ, danau, atau embung. Air
tampungan menjadi cadangan kebutuhan air bersih sepanjang tahun sekaligus
mengisi cadangan air tanah.
Kolam penampung air bisa dibangun
di taman atau hutan kota, terutama di kawasan rentan banjir, di bagian tengah
dan hulu kiri-kanan alur sungai, hingga tepi pantai. Kolam penampung air
berfungsi mengurangi debit air hujan yang masuk ke sungai sehingga volume air
sungai yang membelah kota berkurang secara signifikan.
Revitalisasi Waduk Pluit dan Waduk
Ria-rio merupakan momentum tepat untuk merevitalisasi semua waduk, danau,
situ, atau embung yang berjumlah sekitar 200 buah dan tersebar di wilayah
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Ada empat permasalahan pokok yang
ditemui, yakni sebagai tempat pembuangan sampah dan limbah (rumah tangga),
ledakan gulma (Eichornia crassipes/enceng gondok), pendangkalan akibat
pengendapan lumpur, dan pelanggaran tata ruang (rumah liar, bangunan
komersial).
Eceng gondok dapat ditangani
secara alami. Eceng gondok memiliki kemampuan pembersih alami perairan
waduk/danau/situ/embung terhadap polutan, seperti unsur besi (Fe), timbal
(Pb), merkuri (Hg), tembaga (Cu), seng (Zn), Nikel (Ni), pestisida, atau
lainnya.
Namun, pertumbuhan eceng gondok
harus dikendalikan secara berkala, seperti pengolahan eceng gondok menjadi
biogas energi pembangkit listrik (penerangan taman, mesin pengolah air) atau
melibatkan komunitas untuk membuat kerajinan tangan eceng gondok.
Pemerintah daerah dapat melakukan
lima langkah bijak dalam revitalisasi kolam penampung air dan normalisasi
sungai.
Pertama, memetakan alur sungai
utama dan sebaran kolam penampung air di sepanjang hulu hingga hilir, dari
puncak gunung sampai tepi pantai.
Kedua, cek regulasi peruntukan
lahan (Rencana Tata Ruang Wilayah/RTRW, Rencana Detail Tata Ruang/RDTR) dan
legalisasi kepemilikan lahan di sepanjang badan sungai dan kolam penampung
air (negara, perusahaan, warga).
Ketiga, pemangku kepentingan
(akademisi/asosiasi, pengembang/perusahaan, komunitas masyarakat, dan
pemerintah) duduk bersama mencari terobosan kreatif dan manusiawi.
Keempat, pemimpin daerah
menugaskan dinas terkait bekerja sama menghijaukan bantaran sungai dan kolam
penampung air, membangun, serta merelokasi warga.
Kelima, pilih lokasi yang paling
rendah sengketa lahan dan penolakan warga sehingga segera dapat ditata.
Kebijakan DKI
Sesuai dengan arahan RTRW dan RDTR
DKI Jakarta 2030, badan 13 sungai utama akan diperlebar dari saat ini 20-30
meter menjadi 50 meter dan bantaran sungai kiri-kanan masing-masing 25 meter,
serta pengerukan kedalaman sungai dari 2-3 meter ke 5-7 meter.
Untuk sungai pendukung dari lebar
10-15 meter menjadi 20-30 meter dan saluran air utama dari 3-5 meter menjadi
10-15 meter.
Rehabilitasi saluran air dan
jaringan utilitas (pipa gas, air bersih, limbah, kabel listrik, telepon,
serat optik) dilakukan terpadu.
Upaya pengurangan banjir dengan
cara pelurusan badan sungai, kanalisasi, dan pembuatan sodetan pintas yang
bertujuan mempercepat aliran air hujan ke laut harus ditinggalkan.
Proyek ini hanya akan menyebabkan
kehancuran ekologis ekosistem tepian sungai, munculnya persoalan baru akibat
predator alami hilang (kesehatan, sosial), ancaman kekeringan pada musim
kemarau, dan terbukti tidak menyelesaikan masalah banjir.
Normalisasi sungai harus dilakukan
dengan mengembalikan kondisi alaminya, meliak-liuk bak ular, tampang
melintang bervariasi, dan ditumbuhi tanaman lebat sebagai habitat organisme
tepian sungai (reptil, mamalia, amfibi, ikan, burung, dan serangga).
Jalur hijau bantaran kali bisa
dipenuhi tanaman berfungsi hidrolis ekologis alami, mencegah erosi dasar dan
tebing sungai, dan meredam banjir.
Saat hujan, tanaman di sepanjang
sungai akan menghambat kecepatan aliran, muka air naik dan menggenangi
bantaran dan tanaman di jalur hijau yang secara alami memang dibutuhkan untuk
ekosistem pendukung kelangsungan keanekaan hayati tepian sungai.
Kolam penampung air harus dikeruk
kedalamannya menjadi 5-7 meter atau lebih (sesuai kebutuhan kawasan) dan
diperlebar badan kolamnya agar kapasitas daya tampung air meningkat tajam.
Tepi badan kolam jangan diperkeras
dengan pasangan batu kali atau dibeton, tetapi diperkuat dengan aneka tanaman
tepi air yang memperkuat bibir kolam agar tidak mudah erosi, sekaligus
menciptakan ekosistem tepian air.
Revitalisasi kolam penampung air
akan menambah luas daerah tangkapan dan resapan air, ruang terbuka hijau
kota, dan paru-paru kota.
Terbangunnya taman
waduk/danau/situ/embung menjamin pelestarian habitat satwa liar dan keanekaan
fauna (edukasi), menciptakan iklim mikro udara yang sehat (ekologis), ruang
bermain dan rekreasi warga (sosial), meningkatkan nilai tanah di sekitarnya
(ekonomi), dan tempat evakuasi bencana (jika diperlukan).
Masyarakat juga dituntut bertindak
bersama mengurangi genangan dan banjir di lingkungan tempat tinggal melalui
gerakan pembuatan sumur resapan air di halaman masing-masing dan menanam
pohon penyerap air. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar