Minggu, 12 Januari 2014

Kota Air Berkelanjutan

Kota Air Berkelanjutan

Nirwono Joga  ;    Pemerhati Masalah Perkotaan
KOMPAS,  11 Januari 2014
                                                                                                                        


MUSIM hujan datang banjir, itu biasa. Mencari metode efektif ramah lingkungan untuk mengatasi banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau baru luar biasa. Salah satunya adalah metode daerah tangkapan air hujan dan kemudian mengalirkannya ke sungai atau kolam penampung, seperti waduk, situ, danau, atau embung. Air tampungan menjadi cadangan kebutuhan air bersih sepanjang tahun sekaligus mengisi cadangan air tanah.

Kolam penampung air bisa dibangun di taman atau hutan kota, terutama di kawasan rentan banjir, di bagian tengah dan hulu kiri-kanan alur sungai, hingga tepi pantai. Kolam penampung air berfungsi mengurangi debit air hujan yang masuk ke sungai sehingga volume air sungai yang membelah kota berkurang secara signifikan.

Revitalisasi Waduk Pluit dan Waduk Ria-rio merupakan momentum tepat untuk merevitalisasi semua waduk, danau, situ, atau embung yang berjumlah sekitar 200 buah dan tersebar di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).

Ada empat permasalahan pokok yang ditemui, yakni sebagai tempat pembuangan sampah dan limbah (rumah tangga), ledakan gulma (Eichornia crassipes/enceng gondok), pendangkalan akibat pengendapan lumpur, dan pelanggaran tata ruang (rumah liar, bangunan komersial).

Eceng gondok dapat ditangani secara alami. Eceng gondok memiliki kemampuan pembersih alami perairan waduk/danau/situ/embung terhadap polutan, seperti unsur besi (Fe), timbal (Pb), merkuri (Hg), tembaga (Cu), seng (Zn), Nikel (Ni), pestisida, atau lainnya.

Namun, pertumbuhan eceng gondok harus dikendalikan secara berkala, seperti pengolahan eceng gondok menjadi biogas energi pembangkit listrik (penerangan taman, mesin pengolah air) atau melibatkan komunitas untuk membuat kerajinan tangan eceng gondok.

Pemerintah daerah dapat melakukan lima langkah bijak dalam revitalisasi kolam penampung air dan normalisasi sungai.

Pertama, memetakan alur sungai utama dan sebaran kolam penampung air di sepanjang hulu hingga hilir, dari puncak gunung sampai tepi pantai.

Kedua, cek regulasi peruntukan lahan (Rencana Tata Ruang Wilayah/RTRW, Rencana Detail Tata Ruang/RDTR) dan legalisasi kepemilikan lahan di sepanjang badan sungai dan kolam penampung air (negara, perusahaan, warga).

Ketiga, pemangku kepentingan (akademisi/asosiasi, pengembang/perusahaan, komunitas masyarakat, dan pemerintah) duduk bersama mencari terobosan kreatif dan manusiawi.

Keempat, pemimpin daerah menugaskan dinas terkait bekerja sama menghijaukan bantaran sungai dan kolam penampung air, membangun, serta merelokasi warga.

Kelima, pilih lokasi yang paling rendah sengketa lahan dan penolakan warga sehingga segera dapat ditata.

Kebijakan DKI

Sesuai dengan arahan RTRW dan RDTR DKI Jakarta 2030, badan 13 sungai utama akan diperlebar dari saat ini 20-30 meter menjadi 50 meter dan bantaran sungai kiri-kanan masing-masing 25 meter, serta pengerukan kedalaman sungai dari 2-3 meter ke 5-7 meter.

Untuk sungai pendukung dari lebar 10-15 meter menjadi 20-30 meter dan saluran air utama dari 3-5 meter menjadi 10-15 meter.

Rehabilitasi saluran air dan jaringan utilitas (pipa gas, air bersih, limbah, kabel listrik, telepon, serat optik) dilakukan terpadu.

Upaya pengurangan banjir dengan cara pelurusan badan sungai, kanalisasi, dan pembuatan sodetan pintas yang bertujuan mempercepat aliran air hujan ke laut harus ditinggalkan.

Proyek ini hanya akan menyebabkan kehancuran ekologis ekosistem tepian sungai, munculnya persoalan baru akibat predator alami hilang (kesehatan, sosial), ancaman kekeringan pada musim kemarau, dan terbukti tidak menyelesaikan masalah banjir.

Normalisasi sungai harus dilakukan dengan mengembalikan kondisi alaminya, meliak-liuk bak ular, tampang melintang bervariasi, dan ditumbuhi tanaman lebat sebagai habitat organisme tepian sungai (reptil, mamalia, amfibi, ikan, burung, dan serangga).
Jalur hijau bantaran kali bisa dipenuhi tanaman berfungsi hidrolis ekologis alami, mencegah erosi dasar dan tebing sungai, dan meredam banjir.

Saat hujan, tanaman di sepanjang sungai akan menghambat kecepatan aliran, muka air naik dan menggenangi bantaran dan tanaman di jalur hijau yang secara alami memang dibutuhkan untuk ekosistem pendukung kelangsungan keanekaan hayati tepian sungai.

Kolam penampung air harus dikeruk kedalamannya menjadi 5-7 meter atau lebih (sesuai kebutuhan kawasan) dan diperlebar badan kolamnya agar kapasitas daya tampung air meningkat tajam.

Tepi badan kolam jangan diperkeras dengan pasangan batu kali atau dibeton, tetapi diperkuat dengan aneka tanaman tepi air yang memperkuat bibir kolam agar tidak mudah erosi, sekaligus menciptakan ekosistem tepian air.

Revitalisasi kolam penampung air akan menambah luas daerah tangkapan dan resapan air, ruang terbuka hijau kota, dan paru-paru kota.

Terbangunnya taman waduk/danau/situ/embung menjamin pelestarian habitat satwa liar dan keanekaan fauna (edukasi), menciptakan iklim mikro udara yang sehat (ekologis), ruang bermain dan rekreasi warga (sosial), meningkatkan nilai tanah di sekitarnya (ekonomi), dan tempat evakuasi bencana (jika diperlukan).

Masyarakat juga dituntut bertindak bersama mengurangi genangan dan banjir di lingkungan tempat tinggal melalui gerakan pembuatan sumur resapan air di halaman masing-masing dan menanam pohon penyerap air.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar