Minggu, 12 Januari 2014

Konsistensi Kebijakan Harga Elpiji 12 Kg (Nonsubsidi)

Konsistensi Kebijakan Harga Elpiji 12 Kg (Nonsubsidi)

Komaidi Notonegoro  ;    Wakil Direktur Reforminer Institute
MEDIA INDONESIA,  11 Januari 2014
                                                                                                                        


PT Pertamina (per sero) akhirnya merevisi besaran kenaikan harga elpiji 12 kg yang semula ditetapkan sebesar Rp3.500 per kilogram menjadi Rp1.000 per kilogram. Revisi dilakukan setelah pemerintah meminta Pertamina meninjau ulang penaikan harga dan memberikan tenggat selama 1 X 24 jam. Pemerintah menyatakan tidak tahu rencana penaikan harga elpiji 12 kg yang dilakukan oleh Pertamina.

Dalam konteks tata negara sesungguhnya sulit dimengerti pemerintah tidak mengetahui rencana penaikan harga elpiji 12 kg oleh Pertamina, mengingat kebijakan tersebut diputuskan dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) dan pemerintah adalah pemegang saham tunggal Pertamina. Meski demikian, tampaknya menjadi semakin lazim pemerintah tidak mengetahui hal-hal yang semestinya diketahui. Dalam perkembangan yang ada sering kali pemerintah juga mengambil kebijakan yang semestinya tidak dilakukan atau sebaliknya.

Usulan atau rencana penaikan harga elpiji nonsubsidi (termasuk elpiji 12 kg) pada dasarnya bukan hal baru. Dalam dokumen rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR pada 7 Juni 2010, Pertamina telah menyampaikan usulan tersebut. Hal itu karena kerugian bisnis elpiji nonsubsidi pada 2008 dan 2009 masing-masing telah mencapai Rp4,73 triliun dan Rp2,30 triliun. Pada kesempatan tersebut Pertamina juga menyampaikan telah ada persetujuan Menteri BUMN pada 2009 bahwa harga elpiji nonsubsidi dapat dinaikkan secara bertahap untuk mencapai harga keekonomian.

Aturan main tidak jelas

Meski telah terdapat persetujuan dari Menteri BUMN sejak 2009, dalam realisasinya Pertamina tidak mudah menaikkan harga elpiji nonsubsidi. Pemerintah hampir selalu meminta Pertamina menunda rencana penaikan harga karena momentumnya sering kali bersamaan dengan penaikan harga BBM dan/atau tarif dasar listrik (TDL). Selain sering tidak dapat momentum, penundaan penaikan harga elpiji nonsubsidi juga terbentur oleh aturan main atau mekanisme penetapan harga yang tidak jelas.

Sejak Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan ketentuan Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) UU Migas No 22/2001 pada 21 Desember 2004, penetapan harga elpiji nonsubsidi termasuk harga elpiji 12 kg tidak memiliki pijakan hukum yang jelas. Jika pemerintah konsisten dan mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, seharusnya penetapan harga elpiji nonsubsidi termasuk elpiji 12 kg dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal ini dilakukan oleh kementerian teknis terkait atau institusi yang ditetapkan dalam peraturan tertentu.

Dalam konteks elpiji 12 kg aturan tersebut tidak jelas. Hal ini sama halnya dengan produk BBM nonsubsidi yang juga menjadi rancu lantaran yang menetapkan harga ialah pelaku usaha atau berdasarkan mekanisme pasar. Padahal Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa ketentuan penetapan harga BBM dan gas bumi berdasarkan mekanisme pasar yang diatur dalam UU Migas No 22/2001 dibatalkan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Selain putusan Mahkamah Konstitusi, pemerintah melalui PP No 36/2004 yang kemudian direvisi dengan PP No 30/2009 memutuskan bahwa harga BBM dan gas bumi diatur dan/atau ditetapkan oleh pemerintah. Dalam hal ini, terkait dengan elpiji 3 kg yang merupakan elpiji bersubsidi, penetapan harganya kemudian dilakukan oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM pada setiap tahun anggaran. 

Adapun untuk penetapan harga elpiji 12 kg disampaikan tetap menjadi domain atau kewenangan pelaku usaha atau korporasi. Meski demikian, sampai sejauh ini belum terdapat regulasi yang secara tegas menyebutkan bahwa penetapan harga elpiji 12 kg menjadi kewenangan korporasi.

Cara berpikir pendek

Drama atau opera politik penaikan harga elpiji 12 kg yang berakhir pada revisi besaran kenaikan harga tersebut menegaskan bahwa cara berpikir pengambil kebijakan sampai sejauh ini berorientasi pada kepentingan jangka pendek. Kebijakan yang diimplementasikan sering kali hanya bersifat parsial, sporadis, tidak terencana, atau hanya merupakan policy by accident.

Hal tersebut tecermin dalam bagaimana pemerintah merespons masalah elpiji 12 kg. Meski Pertamina telah menyampaikan bahwa bisnis elpiji 12 kg merugi sejak 2008 dan berulang kali mengusulkan penaikan harga, pemerintah relatif tidak memberikan respons kebijakan.

Dalam jangka pendek, langkah pemerintah mengintervensi penaikan harga elpiji 12 kg dari semula Rp3.500/kg kemudian menjadi Rp1.000/kg seolah menyelesaikan masalah dan prorakyat. Akan tetapi, dalam jangka panjang hal ter sebut berpotensi mengancam ke tahanan energi nasional. Apalagi pemerintah telah menetapkan bahwa gas merupakan sumber energi andalan untuk menggantikan peran minyak bumi di masa yang akan datang.

Meski sebagai produsen minyak dan gas, saat ini sebagian besar kebutuhan elpiji Indonesia dipenuhi dari impor. Karena itu, dalam menetapkan harga patokan elpiji 3 kg pemerintah menggunakan acuan harga CP Aramco ditambah beta yang meliputi biaya transportasi, distribusi, dan margin badan usaha.

Pada Desember 2013 harga CP Aramco tercatat sebesar US$1.163/metrik ton dan kurs rupiah sebesar 12.087 per dolar AS. Dengan kondisi tersebut biaya pengadaan CP Aramco pada periode tersebut sebesar Rp14.051/kg. Sementara dengan menaikkan harga Rp3.500/kg, harga jual elpiji 12 kg akan menjadi Rp9.350/kg atau masih lebih rendah daripada biaya pengadaan bahan baku (CP Aramco).

Selain tidak konsisten dengan regulasi yang ada, kebijakan harga elpiji 12 kg yang ditetapkan jauh lebih rendah daripada biaya bahan baku juga bertolak belakang dengan klaim keberhasilan pemerintah. Argumentasi pemerintah meminta Pertamina mengevaluasi besaran kenaikan harga karena mempertimbangkan masih banyak masyarakat yang berdaya beli rendah. Sementara di sisi yang lain pemerintah mengklaim bahwa indikator makro terus membaik, jumlah penduduk miskin berkurang dan jumlah kelas menengah terus bertambah.

Berdasarkan segmen pasar, elpiji 12 kg diperuntukkan bagi kelas menengah atau masyarakat yang sudah berdaya beli. Sebaliknya untuk masyarakat yang belum berdaya beli (miskin) dan usaha mikro-kecil yang masih membutuhkan subsidi telah disediakan elpiji 3 kg atau elpiji bersubsidi. Jika klaim pemerintah bahwa jumlah kelas menengah terus bertambah dan indikator makroekonomi terus membaik adalah benar, semestinya tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan terhadap dampak penaikan harga elpiji 12 kg.

Satu hal yang perlu dipahami oleh pemerintah dan/atau pengambil kebijakan, elpiji merupakan komoditas yang menguasai hajat hidup masyarakat luas. Karena itu, pengelolaan dan pengaturannya membutuhkan perencanaan yang matang dan sungguh-sungguh. Jika kebijakan pengelolaannya dipolitisasi untuk sekadar memoles citra, kerapuhan ketahanan energi nasional di masa mendatang merupakan harga yang harus dibayar mahal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar