Konsistensi
Kebijakan Harga Elpiji 12 Kg (Nonsubsidi)
Komaidi Notonegoro ;
Wakil
Direktur Reforminer Institute
|
MEDIA
INDONESIA, 11 Januari 2014
PT Pertamina (per sero) akhirnya
merevisi besaran kenaikan harga elpiji 12 kg yang semula ditetapkan sebesar
Rp3.500 per kilogram menjadi Rp1.000 per kilogram. Revisi dilakukan setelah
pemerintah meminta Pertamina meninjau ulang penaikan harga dan memberikan
tenggat selama 1 X 24 jam. Pemerintah menyatakan tidak tahu rencana penaikan
harga elpiji 12 kg yang dilakukan oleh Pertamina.
Dalam konteks tata negara
sesungguhnya sulit dimengerti pemerintah tidak mengetahui rencana penaikan
harga elpiji 12 kg oleh Pertamina, mengingat kebijakan tersebut diputuskan
dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) dan pemerintah adalah pemegang saham
tunggal Pertamina. Meski demikian, tampaknya menjadi semakin lazim pemerintah
tidak mengetahui hal-hal yang semestinya diketahui. Dalam perkembangan yang
ada sering kali pemerintah juga mengambil kebijakan yang semestinya tidak
dilakukan atau sebaliknya.
Usulan atau rencana penaikan harga
elpiji nonsubsidi (termasuk elpiji 12 kg) pada dasarnya bukan hal baru. Dalam
dokumen rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR pada 7 Juni 2010,
Pertamina telah menyampaikan usulan tersebut. Hal itu karena kerugian bisnis
elpiji nonsubsidi pada 2008 dan 2009 masing-masing telah mencapai Rp4,73
triliun dan Rp2,30 triliun. Pada kesempatan tersebut Pertamina juga
menyampaikan telah ada persetujuan Menteri BUMN pada 2009 bahwa harga elpiji
nonsubsidi dapat dinaikkan secara bertahap untuk mencapai harga keekonomian.
Aturan
main tidak jelas
Meski telah terdapat persetujuan
dari Menteri BUMN sejak 2009, dalam realisasinya Pertamina tidak mudah
menaikkan harga elpiji nonsubsidi. Pemerintah hampir selalu meminta Pertamina
menunda rencana penaikan harga karena momentumnya sering kali bersamaan
dengan penaikan harga BBM dan/atau tarif dasar listrik (TDL). Selain sering
tidak dapat momentum, penundaan penaikan harga elpiji nonsubsidi juga
terbentur oleh aturan main atau mekanisme penetapan harga yang tidak jelas.
Sejak Mahkamah Konstitusi (MK)
membatalkan ketentuan Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) UU Migas No 22/2001 pada
21 Desember 2004, penetapan harga elpiji nonsubsidi termasuk harga elpiji 12
kg tidak memiliki pijakan hukum yang jelas. Jika pemerintah konsisten dan
mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, seharusnya penetapan harga
elpiji nonsubsidi termasuk elpiji 12 kg dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal
ini dilakukan oleh kementerian teknis terkait atau institusi yang ditetapkan
dalam peraturan tertentu.
Dalam konteks elpiji 12 kg aturan
tersebut tidak jelas. Hal ini sama halnya dengan produk BBM nonsubsidi yang
juga menjadi rancu lantaran yang menetapkan harga ialah pelaku usaha atau
berdasarkan mekanisme pasar. Padahal Mahkamah Konstitusi telah memutuskan
bahwa ketentuan penetapan harga BBM dan gas bumi berdasarkan mekanisme pasar
yang diatur dalam UU Migas No 22/2001 dibatalkan dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
Selain putusan Mahkamah
Konstitusi, pemerintah melalui PP No 36/2004 yang kemudian direvisi dengan PP
No 30/2009 memutuskan bahwa harga BBM dan gas bumi diatur dan/atau ditetapkan
oleh pemerintah. Dalam hal ini, terkait dengan elpiji 3 kg yang merupakan
elpiji bersubsidi, penetapan harganya kemudian dilakukan oleh pemerintah
melalui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM pada setiap tahun anggaran.
Adapun
untuk penetapan harga elpiji 12 kg disampaikan tetap menjadi domain atau
kewenangan pelaku usaha atau korporasi. Meski demikian, sampai sejauh ini
belum terdapat regulasi yang secara tegas menyebutkan bahwa penetapan harga
elpiji 12 kg menjadi kewenangan korporasi.
Cara berpikir pendek
Drama atau opera politik penaikan
harga elpiji 12 kg yang berakhir pada revisi besaran kenaikan harga tersebut menegaskan
bahwa cara berpikir pengambil
kebijakan sampai sejauh ini berorientasi pada kepentingan jangka pendek.
Kebijakan yang diimplementasikan sering kali hanya bersifat parsial,
sporadis, tidak terencana, atau hanya merupakan policy by accident.
Hal tersebut tecermin dalam
bagaimana pemerintah merespons masalah elpiji 12 kg. Meski Pertamina telah
menyampaikan bahwa bisnis elpiji 12 kg merugi sejak 2008 dan berulang kali
mengusulkan penaikan harga, pemerintah relatif tidak memberikan respons kebijakan.
Dalam jangka pendek, langkah
pemerintah mengintervensi penaikan harga elpiji 12 kg dari semula Rp3.500/kg
kemudian menjadi Rp1.000/kg seolah menyelesaikan masalah dan prorakyat. Akan
tetapi, dalam jangka panjang hal ter sebut berpotensi mengancam ke tahanan
energi nasional. Apalagi pemerintah telah menetapkan bahwa gas merupakan
sumber energi andalan untuk menggantikan peran minyak bumi di masa yang akan
datang.
Meski sebagai produsen minyak dan
gas, saat ini sebagian besar kebutuhan elpiji Indonesia dipenuhi dari impor.
Karena itu, dalam menetapkan harga patokan elpiji 3 kg pemerintah menggunakan
acuan harga CP Aramco ditambah beta yang meliputi biaya transportasi, distribusi,
dan margin badan usaha.
Pada Desember 2013 harga CP Aramco
tercatat sebesar US$1.163/metrik ton dan kurs rupiah sebesar 12.087 per dolar
AS. Dengan kondisi tersebut biaya pengadaan CP Aramco pada periode tersebut
sebesar Rp14.051/kg. Sementara dengan menaikkan harga Rp3.500/kg, harga jual
elpiji 12 kg akan menjadi Rp9.350/kg atau masih lebih rendah daripada biaya
pengadaan bahan baku (CP Aramco).
Selain tidak konsisten dengan
regulasi yang ada, kebijakan harga elpiji 12 kg yang ditetapkan jauh lebih rendah
daripada biaya bahan baku juga bertolak belakang dengan klaim keberhasilan
pemerintah. Argumentasi pemerintah meminta Pertamina mengevaluasi besaran
kenaikan harga karena mempertimbangkan masih banyak masyarakat yang berdaya
beli rendah. Sementara di sisi yang lain pemerintah mengklaim bahwa indikator
makro terus membaik, jumlah penduduk miskin berkurang dan jumlah kelas
menengah terus bertambah.
Berdasarkan segmen pasar, elpiji
12 kg diperuntukkan bagi kelas menengah atau masyarakat yang sudah berdaya
beli. Sebaliknya untuk masyarakat yang belum berdaya beli (miskin) dan usaha
mikro-kecil yang masih membutuhkan subsidi telah disediakan elpiji 3 kg atau
elpiji bersubsidi. Jika klaim pemerintah bahwa jumlah kelas menengah terus
bertambah dan indikator makroekonomi terus membaik adalah benar, semestinya
tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan terhadap dampak penaikan harga
elpiji 12 kg.
Satu hal yang perlu dipahami oleh
pemerintah dan/atau pengambil kebijakan, elpiji merupakan komoditas yang
menguasai hajat hidup masyarakat luas. Karena itu, pengelolaan dan
pengaturannya membutuhkan perencanaan yang matang dan sungguh-sungguh. Jika
kebijakan pengelolaannya dipolitisasi untuk sekadar memoles citra, kerapuhan
ketahanan energi nasional di masa mendatang merupakan harga yang harus
dibayar mahal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar