Geliat
Demokrat
Budiarto Shambazy ;
Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS,
11 Januari 2014
APA yang
terjadi pada Partai Demokrat sepanjang tahun ini menarik diamati. Inilah
partai yang bergantung kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pemilu 2004,
PD belum berkuasa meski SBY terpilih menjadi presiden.
Pada Pemilu
2009, perolehan suara PD meningkat sekitar tiga kali lipat. Ini rekor yang
belum pernah terjadi dalam sejarah politik dunia di sebuah negara demokratis.
Namun, di satu pihak citra PD terpuruk karena berbagai kasus korupsi elite
partai. Di pihak lain popularitas SBY juga terus menurun.
Mana penyebab
dan mana akibat keterpurukan, korupsi PD atau kinerja SBY, takkan pernah
terjawab. Sama seperti teka-teki ”ayam atau telur”. Teka-teki itu makin sukar
dijawab ketika SBY mengambil alih jabatan ketua umum, Februari 2013.
Sebagai ketua
umum, SBY mematok target meningkatkan citra dan elektabilitas partai. Namun,
berhubung kesibukan sebagai kepala negara, ia kurang memiliki waktu dan
perhatian mengurus partai. Terlihat jelas, SBY berjuang habis-habisan.
Namun,
mengelola krisis partai berkuasa tak seperti membalikkan tangan. Sebab, tagline PD pada Pemilu 2009 ”Katakan Tidak
pada Korupsi”. Kenyataan mengatakan sebaliknya. Betul, tak hanya PD yang
dirundung korupsi, partai-partai lain juga. Namun, itulah kodrat partai yang
berkuasa yang menjadi barometer politik.
Kontradiksi
korupsi itu membuat citra PD makin terpuruk. Apalagi narasi korupsi yang
melibatkan tokoh, seperti Muhammad Nazaruddin atau Angelina Sondakh,
mengundang cibir. Selain itu, konsentrasi SBY melulu pada mengangkat citra
dan elektabilitas. Seolah gangguan isu-isu korupsi dapat dijinakkan dengan
langkah-langkah mekanikal dan prosedural saja.
Sumber
penurunan elektabilitas juga keretakan internal partai. Perlawanan
Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) menjadi bukti konkret. Bagi kalangan
berpandangan ekstrem, predikat yang tepat bagi PD the party is over (pesta sudah usai). Bagi yang
moderat yang terjadi sejatinya krisis berskala besar.
Dalam posisi
limbung, SBY menemukan jalan keluar yang jitu, yakni menyelenggarakan
konvensi. Konvensi diharapkan tak hanya mengangkat citra dan elektabilitas
saja, tetapi juga menutup aib korupsi selama-lamanya.
Perhatian
memang langsung teralih ke konvensi. Masyarakat dan pers terpukau pada
sebelas nama peserta konvensi/capres. Dan, sebagian dari sebelas nama itu
berkualitas presiden. Keragaman latar belakang, jabatan, dan politik
(politisi/akademisi/pejabat) menjadi daya tarik tersendiri.
Konvensi
diliput antusias media massa. Data memperlihatkan pada medio 2013 peliputan
konvensi mencapai tiga ribuan news
item. Ini angka yang tinggi
yang cuma dikalahkan news item peliputan Gubernur DKI Jakarta Joko
Widodo.
Namun, jumlah
itu secara bertahap menurun drastis bulan per bulan sampai Desember 2013 yang
hanya di bawah 300-an news
item. Kesimpulannya, konvensi kurang menarik perhatian. Apa pasal? Salah
satunya karena jumlah peserta terlalu banyak.
Media dan
masyarakat tak disuguhkan kompetisi. Sebagian peserta bahkan tak dikenal
masyarakat. Dan, hampir semua peserta ewuh
pakewuh mengkritisi SBY.
Padahal, kampanye perlu menarik batas politik dari petahana meski dari partai
sama.
Hampir semua
peserta enggan bersikap realistis, mengambil posisi melanjutkan kesinambungan
rekor petahana yang seolah bagus semua. Akibat kultur ewuh pakewuh itu tampaklah keseragaman visi,
misi, dan program ke 11 peserta. Namun, mesti diakui, belakangan ini
keseragaman itu mulai pudar.
Masalahnya,
apakah cukup waktu bagi PD menguber perbaikan citra dan kenaikan
elektabilitas? Apalagi, suka atau tidak, penahanan Anas Urbaningrum bukan an
isolated incident yang
terpisah dari kiprah PD dalam beberapa tahun terakhir.
PD partai
nasionalis yang andal. Bagi sebuah partai, sepuluh tahun meniti buih
kekuasaan sejatinya masih tergolong masa seumur jagung. Partai yang mengalami
krisis sesekali perlu menggeliat, tetapi perlu waktu lebih panjang untuk
bangkit lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar