Kisah
Anas Urbaningrum
dan
Whistleblower Megakorupsi
Agust Riewanto ;
Pengajar
Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 11 Januari 2014
BELAKANGAN
ini Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum Partai Demokrat) kembali menjadi
perhatian publik sejak dijadikan tersangka oleh KPK dalam kasus megakorupsi
Proyek Hambalang pada 23 Februari 2013 lalu. Bagi publik, Anas seolah menjadi
kisah tersendiri dalam jagat politik mutakhir di Indonesia, karena: muda,
cerdas, dan berkarier cemerlang yang diharapkan mampu membawa gerbong negeri
ini ke haluan yang lebih baik dari politisi tua.
Politikus muda itu mangkir dari
panggilan KPK pada 7 Januari 2014 karena surat panggilan KPK tidak jelas
sangkaannya, bahkan pihak Anas menuduh ada konspirasi jahat antara KPK dan
Presiden SBY. Menurut pihak Anas, sehari sebelum pemanggilan KPK, Wakil Ketua
KPK Bambang Widjojanto dan Wamenkum dan HAM Denny Indrayana dipanggil pihak
istana terkait dengan kemungkinan pembicaraan soal ini (Media Indonesia, 6
Januari 2014).
Meski akhirnya kemarin Anas
memenuhi panggilan KPK dan ditahan, sebagai warga negara yang baik seharusnya
ia tak perlu melawan jika persoalan utamanya ialah dirinya tidak terlibat
langsung dalam kasus megakorupsi Hambalang. Juga seharusnya dari dulu Anas
bisa bersikap kesatria, bertanggung jawab, dan terhormat untuk menghadiri
panggilan KPK sambil menjadi whistleblower
(peniup peluit) untuk menyatakan siapa saja yang terlibat dalam kasus ini.
Pentingnya whistleblower
Harus diakui bahwa kasus megakorupsi
yang terorganisasi, sistematis, terstruktur, masif yang melibatkan jejaring politik
yang kuat, dan melibatkan aktor intelektual kan aktor intelektual yang cerdas sulit dibongkar jika tak
ada pihak atau salah seorang yang melihat, mendengar, dan terlibat langsung
di dalam modus korupsi itu. Di titik inilah peran Anas diperlukan, yang lebih
disebabkan pada panggilan jiwa untuk bertanggung jawab pada nilai kebenaran.
Untuk membongkar sebuah konspirasi
jahat kelas elite, seperti narkoba, korupsi, dan trafficking, di dalam negara yang menganut sistem hukum
Anglo-Saxon dan Eropa Kontinental, model whistleblower
ini diperkenalkan sebagai sistem yang ampuh untuk menyingkap tabir kejahatan
sistemis dan membawa hasil yang signifi kan hingga kini.
Seorang whistleblower dalam kedua sistem
negara ialah orang yang beriktikad baik berdasarkan pada keyakinan individu,
kesalehan, profesionalitas, dan tanggung jawab pada masyarakat untuk berani
menjadi pelapor ataupun saksi dan bahkan pelaku dari sebuah kejahatan untuk
bekerja sama dengan aparat hukum dalam menyingkap kejahatan.
Model whistleblower ini bahkan
diatur secara jelas di dalam regulasi khusus (lex specialis) di beberapa negara modern, misalnya: pertama, di
Inggris, whistleblower diatur dalam
Pasal 1 dan Pasal 2 Public Interest
Disclosure Act 1998, whistleblower tidak boleh dipecat dan dilindungi
dari viktimisasi serta perlakuan yang merugikan.
Kedua, di Australia, whistleblower diatur dalam Pasal 20
dan 21 Protected Disdosures Act 1994. Identitas whistle blower dirahasiakan, tidak ada pertanggungjawaban secara
pidana atau perdata, perlindungan dari pencemaran nama baik, serta dari
tindak pembalasan dan perlindungan kondisional apabila namanya dipublikasikan
ke media.
Ketiga, di Kanada, whistleblower
diatur dalam Section 425.1 Criminal Code of Canada. Whistleblower dilindungi
dari pemberi pekerjaan yang memberikan hukuman disiplin, menurunkan pangkat,
memecat, atau melakukan tindakan apa pun yang merugikan dari segi pekerjaan
dengan tujuan untuk mencegah pekerja memberikan informasi kepada pemerintah
atau badan pelaksana hukum atau untuk membalas pekerja yang memberikan
informasi.
Keempat, di Amerika Serikat,
diatur dalam Whistleblower Act 1989.
Whistleblower di Amerika Serikat
dilindungi dari pemecatan, penurunan pangkat, pemberhentian sementara,
ancaman, gangguan, dan tindakan diskriminasi.
Di
Indonesia
Indonesia sebenarnya bukan negara
yang alpa dalam mengatur whistleblower ini kendati memang tidak sesempurna
seperti di Inggris, Australia, Kanada, dan Amerika Serikat. Namun, semangat
perlindungan terhadap seorang whistle blower telah mulai nyaring terdengar
sejak dibentuknya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Model whistleblower ini secara eksplisit
diatur dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban pada Pasal 10 Ayat (1) dan Ayat (2).
Walaupun pasal ini tidak secara
eksplisit melindungi seorang whistleblower,
yang bersangkutan tetap akan dijatuhi hukuman pidana jika terlibat dalam
kasus kejahatan. Pasal ini hanya melindungi saksi dan korban kejahatan.
Karena itu, jika seorang whistleblower hendak dilindungi, harus terlebih
dahulu terkualifikasi sebagai saksi dalam sebuah kejahatan. Ketentuan UU ini
merupakan sebuah kemajuan dalam politik hukum pidana di Indonesia jika
dibandingkan dengan empat dekade sebelumnya.
Regulasi whistleblower
Pada 10 Agustus 2011 Mahkamah
Agung (MA) telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04
Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan
Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (justice collaborator) dalam Perkara Tindak
Pidana Tertentu.
SEMA itu telah memberikan panduan
kepada hakim untuk mengategorikan saksi pelaku sebagai justice collaborator,
yakni: (1) merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu; (2) mengakui
kejahatan yang dilakukannya; (3) bukan pelaku utama dalam kejahatan itu; dan
(4) memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan.
Berdasarkan fakta yuridis itu,
sesungguhnya konsep justice
collaborator kini telah menjadi bagian dari proses penegakan hukum di
Indonesia, kendati hanya berlaku bagi hakim dan tidak mengikat bagi institusi
kejaksaan ataupun kepolisian. Atas dasar SEMA ini, jika Anas bersedia menjadi
seorang whistleblower, Anas harus
terlebih dahulu: (1) mengakui sebagai salah satu pelaku korupsi atau
setidaknya terlibat dalam lingkaran sistemis korupsi; (2) bersedia mengungkap
fakta dan bukti-bukti yang autentik untuk berani menyatakan aktor-aktor utama
kejahatan korupsi sistemis yang dituduhkan kepadanya; dan (3) bersedia
menjadi saksi dalam proses peradilan pidana tanpa merasa ditekan dan
dirugikan.
Bagi KPK, hadirnya SEMA ini
sesungguhnya menjadi spirit untuk segera mengungkap skandal kasus korupsi
yang menimpa Anas ini dan merespons positif atas ‘kicauan’ Anas terkait
dengan kasus megakorupsi lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar