Kinerja
Kontrak Indonesia
Effnu Subiyanto ; Ketua Yayasan Cikal, Pendiri Forkep,
Kandidat Doktor Ekonomi Unair
|
JAWA
POS, 06 Januari 2014
Jika melihat ributnya struktur harga dari
komoditas yang diimpor Indonesia, ada pertanyaan yang harus diklarifikasi
pemerintah. Bagaimana kinerja kontrak-kontrak pembelian barang atau jasa,
seperti kontrak impor daging, kontrak impor beras, kontrak pembelian kedelai,
kontrak impor gas, kontrak pembelian alutsista, kontrak utang sampai kontrak
pembelian minyak dan BBM.
Negara lain mendapatkan berkah berkontrak dengan Indonesia, seperti kontrak pembelian sangat murah penjualan LNG di Tangguh dengan beberapa negara. Pemerintah China sangat untung karena mendapat kontrak LNG dengan basis harga USD 3,8 per mmbtu (million metric British thermal unit). Harga baru ini tetap lebih murah karena harga internasional gas sekarang ini USD 17,93 per juta Btu atau USD 873 per MT. Anehnya, kondisi berbeda terjadi pada jenis barang yang sama. Harga jual LNG Arun dan Badak mendapatkan harga yang tinggi, yakni USD 9 per juta Btu. Pada kontrak pembelian daging atau sapi hidup dengan Australia, dampak harga daging setelah sampai Indonesia juga membikin heboh saking mahalnya. Harga daging per kg kini masih berkisar Rp 100 ribu dan belum juga kunjung turun meski pemerintah mengatakan stok daging sangat cukup. Masih banyak komoditas yang diimpor dan rata-rata nilai kontraknya sangat besar. Ada tujuh bahan pangan yang masih diimpor oleh Indonesia, mulai beras (USD 503,9 juta), jagung (USD 186,4 juta), kedelai (USD 424,2 juta), kentang (USD 14,9 juta), tepung terigu (USD 84,8 juta), gandum (USD 767 juta), hingga singkong (USD 1,6 juta). Bahkan, yang sangat ironis, garam pun masih impor dengan nilai sedikitnya USD 64,4 juta per tahun. Kontrak Gas Untuk kebutuhan gas LPG, Pertamina hanya mampu memenuhi 17 persen kebutuhan nasional. Pada 2012 volume yang dijual Pertamina 918.137 metrik ton (MT) dan meningkat 6,4 persen menjadi 977 ribu MT pada tahun lalu. Jika dengan asumsi kenaikan permintaan konstan, kebutuhan LPG pada tahun ini sedikitnya mencapai 1,04 juta MT. Persoalannya, jika mengetahui dengan pasti jumlah yang diperlukan setiap tahun, mengapa Pertamina tidak mampu membuat kontrak pembelian jangka panjang dengan harga yang lebih ekonomis. Jika sekarang kontrak pembelian dilakukan dengan skema window shopping, celakalah bangsa ini. Sebab, harganya adalah harga snapshot pada saat pembeli dan penjual bertemu seolah di warung kopi. Mengapa tidak menggunakan argumentasi sama ketika melihat traktat penjualan gas LNG Tangguh. Harga pasar internasional USD 17,93 per mmbtu atau USD 873 per MT, namun China dan Jepang malah mendapatkan harga USD 3,8 per mmbtu atau USD 9 per mmbtu. Kejahatan Kontrak Jika melihat seringnya rakyat Indonesia menjadi korban permainan harga komoditas impor, tidak berlebihan bila para negosiator perdagangan Indonesia harus dicurigai bermain mata dengan penyedia barang luar negeri. Tidak akan ada yang tahu, setiap perunding itu mendapatkan keuntungan atau janji tertentu dari para vendor manca itu. Untuk hal ini KPK harus mewaspadai karena tidak tertutup kemungkinan sudah lama berlangsung. Sulitnya dilakukan renegosiasi pada kontrak-kontrak yang notabene under-pricing seperti halnya kontrak LNG Tangguh atau kontrak Freeport di Papua, bukan tidak mungkin adalah desain yang sudah diperhitungkan para mafia kontrak Indonesia. Kebalikannya, ketika kontrak pembelian impor dilakukan Indonesia, standar yang dilaporkan para negosiator itu adalah harga over-pricing yang sangat mahal. Sangat jarang delegasi dagang Indonesia pulang dengan potensi mendapatkan keuntungan untuk negara dalam jumlah besar. Kejayaan dan kepiawaian berkontrak para juru runding Indonesia tampaknya sudah berada pada senja kala yang harus diregenerasi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar