Selasa, 07 Januari 2014

Nalar Sehat Orang Swiss

                                          Nalar Sehat Orang Swiss

Djoko Susilo  ;   Duta Besar Indonesia di Bern, Swiss
JAWA POS,  06 Januari 2014
                                                                                                                        


Hari-hari ini, jika kita membaca berita koran, melihat talk show di TV, dan mengikuti diskusi di forum media sosial di internet, topik utama umumnya soal kenaikan harga elpiji oleh Pertamina. Banyak komentator yang menghujat Pertamina dan tentu saja juga Kementerian BUMN yang menaungi perusahaan penting milik pemerintah tersebut. Dari jauh saya ikuti perdebatan itu. Intinya banyak komentar yang ngawur di kalangan awam, yang masih bisa dimaklumi, dan pernyataan mencari muka dari para politisi, yang sangat disesalkan.

Masalah kenaikan harga elpiji, Pertamina sudah sangat jelas bahwa perusahaan itu selama ini menjual barang di bawah harga produksinya. Nalar sehat pengusaha di mana pun tidak akan melakukan hal tersebut. Tapi, selama ini Pertamina terpaksa melakukannya. Elpiji tabung 12 kg itu dimaksudkan untuk konsumsi kelas menengah atas, jadi wajar jika tidak disubsidi. Untuk masyarakat tidak mampu pemerintah sudah memberikan subsidi dalam LPG tabung 3 kg. 

Saya tidak tahu pertimbangan apa yang menyebabkan Pertamina dulu menjual di bawah harga keekonomian. Tapi, yang jelas, akibat menjual dengan harga di bawah ongkos produksi, sejak empat tahun terakhir perusahaan negara itu mengalami kerugian per tahun Rp 7 triliun dari bisnis elpijinya. BPK pun menegur atas terjadinya kerugian tersebut, sehingga Pertamina akhirnya menaikkan harga jual elpiji, yang juga masih rugi. Tapi, kira-kira sekarang hanya Rp 2 triliun setahun.

Kalau dihitung secara detail, sebenarnya kenaikan itu hanya membebani konsumen kelas menengah sekitar Rp 1.500 per hari yang jika diuangkan juga tidak bisa untuk membeli apa pun. Mungkin untuk perokok, kenaikan itu satu bulan bisa saja sama dengan 3 bungkus rokok. Lumayan. Tapi efek bagi negara, sesuai dengan audit BPK, terjadi potensi kekurangan keuntungan Rp 7 triliun setiap tahun. Dengan dana itu sudah berapa sekolah dan puskesmas yang bisa dibangun, berapa ratus kendaraan bisa dibeli untuk transportasi publik.

Belum lama ini, saya bertamu ke rumah teman saya seorang profesor di University of St Gallen, Swiss, yang rumahnya di pelosok desa. Meski jauh di pelosok desa, yang sangat sepi dan pemandangan alamnya sangat indah, dia tidak mengalami kesulitan kalau harus mengajar di kampusnya di Jenewa atau di St Gallen. Kediaman teman saya itu di wilayah Basel, yang berbatasan dengan Jerman dan Prancis. Tetapi, sebagaimana permukiman lain di Swiss, rumahnya selalu terjangkau oleh kendaraan umum.

Dari dia, saya mengetahui bahwa Swiss itu dulu sangat melarat. Yang dimiliki hanya gunung dan air. Di masa lalu ekspor Swiss hanyalah tenaga manusianya yang bekerja sebagai pasukan bayaran untuk beberapa negara Eropa lainnya. Tetapi, sejak masyarakat Swiss menggunakan nalar sehatnya dalam mengurus negara, secara bertahap Swiss menjadi modern, maju, dan sejahtera. 

Nalar sehat orang Swiss ini diwujudkan dalam format politik pemerintahan maupun perilaku politik para pemimpinnya. Dalam sistem pemerintahan, Swiss dari level federal, kanton (provinsi) , kabupaten/kota sampai kelurahan, prinsip kepemimpinannya adalah kolegial. Jadi, tidak ada "boss" yang paling berkuasa. Keputusan harus diambil secara musyawarah dan mufakat. Tidak ada anggota kabinet yang merasa lebih berkuasa daripada yang lain. Makanya, dalam sistem pemerintahan Swiss, presiden, gubernur, wali kota, dan lurah hanya menjabat setahun secara bergiliran. 

Setelah mengatur pemerintahan dengan baik, warga Swiss juga konsekuen mendukungnya dengan membayar pajak. Dari hampir 8 juta warga Swiss, diperkirakan hanya 20 persen yang tidak membayar pajak pendapatan. Bandingkan dengan di Indonesia, yang jumlah pembayar pajaknya masih kurang dari 15 persen dari jumlah penduduk. Di Swiss mereka punya prinsip yang sederhana: Anda bayar pajak, Anda dapat layanan bagus. Anda tidak bayar pajak, negara sulit memberikan layanan yang terbaik. 

Setelah beres dengan urusan pajak, pemerintah membuat alokasi besaran untuk apa pajak dan pendapatan negara lainnya itu. 

Dalam membuat alokasi anggaran ini, masyarakat Swiss menggunakan paradigma akal sehat. Sebab, mereka sadar, negara mereka tidak mempunyai kekayaan apa-apa kecuali air, gunung, dan pemandangan alam yang indah. Karena itu, sumber daya tidak boleh diboroskan begitu rupa, terutama sumber daya alam yang tidak terbarukan, seperti BBM, gas, dan sebagainya. Mereka menginvestasikan uang pajak pada pendidikan dan kesehatan secara habis-habisan. 

Warga Swiss sadar, gas dan BBM harus dihemat, sehingga harganya harus mahal dan dikenai pajak lingkungan. Ini untuk memaksa masyarakat berhemat dengan BBM dan gas yang harus diimpor. Karena Swiss kaya dengan air, untuk keperluan listrik mereka menggunakan 70 persen tenaga hidro dan 30 persen tenaga nuklir. Walhasil, ongkos listrik di Swiss jauh lebih murah daripada di Indonesia. 

Untuk mempertahankan kedaulatan pangan, meski sudah tergolong negara industri maju, Swiss memberikan subsidi besar ke sektor pertanian. Pemerintah melarang konversi lahan pertanian secara sembarangan. Walhasil, di depan wisma Indonesia di Bern pun yang masih terhitung dalam wilayah ibu kota Bern, masih terhampar luas ladang jagung, gandum, sayur mayur, dan peternakan sapi perah. 

Pelajaran yang bisa dipetik dari Swiss ini, selama pemimpin nasional kita hanya mencari popularitas dan mengesampingkan nalar sehat, dan itu juga disukai masyarakatnya, jangan harap Indonesia menjadi maju dan modern. Cepat atau lambat kita akan tersungkur ke krisis lagi seperti krismon pada 1997 lalu, mungkin lebih parah. 

Karena itu, dalam masa pemilu ini kita pilih pemimpin yang menggunakan akal sehat dan bukan sekadar populer karena pencitraan. Subsidi hanya diberikan untuk bidang pendidikan dan kesehatan, serta mereka yang benar-benar membutuhkan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar