Kekerabatan
Politik dan Politisi Korup
Siswanto ; Peneliti P2P LIPI
|
KOMPAS,
03 Januari 2014
KONTEKS sejarah Reformasi tahun
1998 adalah melawan rezim yang korup. Mestinya di era ini budaya dan perilaku politik para
politisi berpijak pada semangat Reformasi: melawan korupsi (karena salah satu
produk Reformasi 1998 adalah Tap MPR No XI/1998 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Kenyataannya, perilaku
politisi dan penyelenggaraan negara saat ini bertentangan dengan semangat
reformasi. Para politisi dan pejabat berlomba-lomba korupsi.
Salah satu pasal Tap MPR tersebut
berbunyi ”untuk menjalankan fungsi dan tugasnya tersebut, penyelenggara
negara harus jujur, adil, terbuka, dan tepercaya serta mampu membebaskan diri
dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.” Tap MPR ini tidak dihiraukan.
Ada asumsi bahwa angka korupsi pada era Reformasi lebih tinggi dibandingkan
dengan pada era Orde Baru. Salah satu indikatornya: banyaknya anggota DPR,
DPRD, serta pejabat tinggi pusat dan daerah yang dipenjara karena terjerat
kasus korupsi.
Asumsi yang dikembangkan bahwa
maraknya korupsi, yang dilakukan khususnya oleh politisi, tidak bisa
dipisahkan dari sistem kekerabatan yang salah tempat. Sistem kekerabatan
telah disalahgunakan masyarakat demi kepentingan pribadi atau golongan dengan
cara melanggar hukum (KKN).
Sistem kekerabatan
Sistem kekerabatan di sini
diartikan sebagai hubungan antar-entitas yang mempunyai latar silsilah sama,
baik melalui keturunan biologis, sosial, maupun budaya. Dalam sistem
kekerabatan, dikenal istilah keluarga inti (hubungan kekerabatan yang terjadi
karena tali pernikahan: suami, istri, dan anak). Dikenal pula keluarga luas, yaitu
hubungan kekerabatan di luar keluarga inti: paman, tante, kakek, nenek, cucu,
keponakan, saudara ipar, dan sebagainya. Dalam praktiknya, sistem kekerabatan
dipahami lebih luas lagi, bahkan sampai orang yang tinggal sama-sama satu
kampung.
Antropolog senior seperti
Koentjaraningrat punya catatan atas nilai-nilai budaya Indonesia yang
mencerminkan sisi negatif atas nilai-nilai budaya tersebut. Catatan ini
dibuat pada saat rezim Orde Baru sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan
nasional, untuk menyadarkan masyarakat dan pemerintah pada saat itu bahwa tak
semua nilai budaya Indonesia itu sejalan dengan pembangunan nasional.
Nilai-nilai budaya yang tak
sejalan dengan pembangunan diidentifikasi sebagai: mentalitas meremehkan
mutu, mentalitas suka menerabas, sifat tidak percaya kepada diri sendiri,
sifat tidak berdisiplin murni, dan mentalitas suka mengabaikan tanggung
jawab. Tidak dimungkiri, nilai-nilai budaya ini masih melekat erat dalam
kehidupan masyarakat Indonesia.
Artinya, reformasi, pendidikan, dan
modernisasi tidak membuahkan hasil karena tak mengubah mentalitas buruk
masyarakat Indonesia. Bandingkan dengan masyarakat Melayu di luar Indonesia,
misalnya di Singapura dan Malaysia. Kedua masyarakat negara ini awalnya sama
dengan masyarakat Indonesia, ada nilai-nilai budaya yang tidak sejalan dengan
pembangunan.
Di Malaysia Timur, tepatnya di
Kucing, misalnya, banyak terdapat patung kucing. Konon ini simbol bahwa
masyarakat dahulu punya sifat pemalas seperti kucing, yang kesukaannya
tidur-tiduran belaka. Namun, sekarang kota Kucing tertata rapi dan maju.
Keadaan ini mencerminkan ada perubahan mental masyarakat dari malas menjadi
rajin dan disiplin. Pendidikan dan modernisasi berhasil mengubah mental
masyarakat dari buruk ke baik.
Tulisan ini ingin mengatakan bahwa
sistem kekerabatan atau sistem kekeluargaan yang salah tempat juga menjadi
kendala bagi pembangunan nasional karena mendorong timbulnya korupsi. Sistem
kekerabatan seharusnya diletakkan pada posisi terhormat karena merujuk pada
persamaan keturunan dan adat, sedangkan korupsi adalah aksi mengambil sesuatu
yang bukan haknya. Jadi, pada hakikatnya sistem kekerabatan bertolak belakang
dengan korupsi.
Masalahnya, manusia
menyalahgunakan sistem kekerabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Dalam konteks ini, seseorang yang anggota keluarganya memiliki kekuasaan
(pejabat) cenderung menggunakan pengaruh keluarga itu untuk kepentingannya.
Dikenal budaya memo atau katebelece yang diberikan seorang pejabat kepada
pihak lain dengan tujuan memengaruhi kebijakan yang diambil agar sesuai
dengan kepentingan si pembuat memo dan kerabatnya. Atas nama kerabat atau
keluarga, seseorang sengaja memengaruhi pihak lain demi kepentingannya dengan
cara tak adil dan melawan hukum.
Kekerabatan dalam politik
Kader-kader suatu partai politik
dipahami sebagai entitas dari kekerabatan politik, dalam hal ini sistem
kekerabatan dalam arti luas. Para anggota kader merasa satu nasib dan satu
penanggungan meski dalam beberapa kasus, sesama kader terlibat konflik.
Dinamika politik terkadang mengantar mereka kepada persaingan menuju target
politik tertentu.
Meski demikian, sesama kader
adalah tetap keluarga besar partai. Mereka berada dalam satu bingkai:
ideologi. Mereka punya ikatan batin dan emosi yang timbul karena bingkai ideologi
tadi. Jadi, ideologi menjadi pengikat untuk membangun nilai kekerabatan di
dalam suatu partai karena kader dan politisi merasa satu keluarga besar dari
partai yang menaunginya.
Para kader dan politisi punya
tanggung jawab kepada partai tempatnya bernaung. Diawali upaya partai politik
yang punya tugas membesarkan kadernya agar menjadi politisi yang sukses.
Partai politik dalam hal ini punya fungsi sebagai sarana bagi para kader
mencapai target politik. Sebaliknya, politisi punya tanggung jawab moral kepada
partai yang membesarkan dan mengusungnya. Ketika sudah jadi politisi besar
dan punya jabatan strategis, dia akan berpikir membalas budi kepada
partainya, memberi dukungan moral ataupun material. Upaya memberikan dukungan
material kepada partai ini mendorong KKN.
Sering kali jaringan kekerabatan
digunakan untuk kepentingan politik tertentu dari para politisi. Kekerabatan
politik dimanfaatkan untuk mendukung perjuangan politisinya. Komunikasi dan
kerja sama politik antara para kader dan politisi satu partai ataupun lintas
partai dilakukan ketika ada target politik tertentu yang ingin dicapai. Di
pihak lain politisi di legislatif bersinergi dengan pejabat di eksekutif saat
ada rancangan program yang akan diwujudkan menjadi kebijakan publik. Sinergi
politik ini juga dilakukan bersifat lintas partai yang dikenal dengan istilah
koalisi.
Selanjutnya jaringan kekerabatan
politik mempertemukan dunia politik dengan dunia usaha. Ini normal sejauh tak
melanggar hukum karena tugas politisi adalah memperjuangkan kepentingan
rakyat, termasuk ada di lingkungan dunia usaha. Namun, ketika kekerabatan
politik tadi dimanfaatkan untuk mencapai tujuan dengan cara melanggar hukum
(KKN), fenomena ini menjadi tidak normal.
Gejala sosial yang juga marak
terjadi, pengusaha menjadi politisi. Langkah ini normal sejauh pengusaha
mampu menjaga profesionalismenya. Ia menjadi tak normal ketika pengusaha
setelah menjadi politisi memanfaatkan jaringan kekerabatan politiknya untuk
mengawal kepentingan bisnisnya.
Gejala sosial lain adalah politisi
merangkap jadi pengusaha meski dalam sehari-hari kegiatan usaha diserahkan
kepada keluarganya. Sekali lagi tentu saja ini normal sejauh dilakukan dengan
tujuan semata-mata untuk berinvestasi dan upayanya tak melanggar aturan.
Upaya ini menjadi tak normal ketika politisi memanfaatkan kekerabatan politik
untuk memperoleh kemudahan dan melindungi kepentingan bisnisnya. Apalagi,
jika upaya menjadi pengusaha ini hanya untuk melakukan pencucian uang agar
harta yang banyak terkesan sebagai hasil jerih payahnya dalam bisnis.
Padahal, ini hanya untuk menutupi keadaan sesungguhnya bahwa kekayaan yang
dimiliki adalah hasil perbuatan melawan hukum (KKN).
Pergeseran nilai
Sistem kekerabatan telah mengalami
pergeseran nilai dalam konteks KKN. Sistem kekerabatan telah disalahgunakan
sebagian anggota masyarakat. Sistem kekerabatan pada hakikatnya berdimensi
sosial, tidak terkait dengan kepentingan pribadi karena sistem kekerabatan
bertumpu pada satu keturunan dan adat atau nilai-nilai luhur. Dalam
perkembangannya, masyarakat demi mencapai kepentingan pribadi memanfaatkan
jaringan kekerabatan yang dimiliki dengan cara melanggar hukum (KKN).
Dalam konteks melawan korupsi,
sistem kekerabatan perlu dikembalikan kepada arti sebenarnya. Pemimpin adat
punya peran strategis menyadarkan masyarakat dengan memberi pencerahan bahwa
sesungguhnya nilai-nilai kekerabatan itu luhur dan bertolak belakang dengan
tindakan melanggar hukum, termasuk KKN.
Jaringan kekerabatan politik juga
menjadi alat kepentingan ekonomi: dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis para
politisi yang memiliki kepentingan bisnis atau politisi yang merangkap
sebagai pebisnis. Akibatnya, konflik kepentingan antara dirinya sebagai
politisi dan sebagai pengusaha tidak terhindarkan. Ini juga bermuara kepada
KKN.
Perlu pengawasan ekstra oleh
lembaga terkait dan masyarakat terhadap politisi yang merangkap sebagai
pebisnis (meski dijalankan orang lain) atau kepada politisi yang punya
jaringan bisnis. Pengalaman menunjukkan bahwa umumnya masyarakat Indonesia
belum cakap bertindak profesional, belum cakap membedakan kepentingan dinas
dan pribadi sehingga terjebak KKN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar