Rabu, 08 Januari 2014

Kaya Cara Politikus

                                                 Kaya Cara Politikus

Herry Gunawan  ;   pendiri plasadana.com
TEMPO,  07 Januari 2014
                                                                                                                        


Pada suatu sore yang redup, seorang kawan yang bekerja di perusahaan operator pertambangan batu bara berbagi kisah. "Saya mau jadi politikus saja," kata dia singkat. Ia bukan penyuka politik, apalagi politikus. Membaca keterkejutan ini, ia menjelaskan, "Karena bisa lebih mudah tajir dari orang yang berkeringat."

Kawan yang kerap bolak-balik Jakarta-Kalimantan Tengah-Kalimantan Selatan untuk mengawal produksi hasil tambang itu mencoba menjelaskan lebih jauh. Dengan menjadi politikus, kata dia, kita bisa punya secarik kertas sakti yang mendatangkan uang secara rutin. "Seperti ATM (anjungan tunai mandiri) seumur hidup." 

Rupanya ini soal izin pertambangan, tentang jalan pintas mencari uang bagi politikus. Inilah yang membuat dia cemburu. Sejak kepala daerah dipilih secara langsung, posisi partai politik makin kuat. Seorang kandidat yang ingin mencari peruntungan sebagai pemimpin daerah umumnya memerlukan kendaraan partai untuk mendaftar sebagai calon kepala daerah. Stempel pencalonan partai plus basis massa diperlukan.

Berdasarkan tata krama dalam dunia politik kepartaian, seorang kandidat calon kepala daerah memerlukan restu dari pimpinan pusat. Tentu dukungan ini tidak gratis. "Ada harganya," kata teman yang seolah-olah sudah menjadi politikus itu. "Kalau sekadar 'uang pelicin' sih kecil. Tapi buat daerah kaya tambang, incarannya IUP."

IUP yang dimaksud itu adalah izin usaha pertambangan. Sebelumnya, izin itu bernama kuasa pertambangan. Sesuai dengan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang dikeluarkan pada 2009, izin bisa dikeluarkan oleh kepala daerah tingkat II dan tingkat I. Peminta izin tidak perlu punya perusahaan, karena izin itu bisa diberikan kepada perorangan. Inilah kertas sakti yang dimaksud, sebagai hadiah atas dukungan politik yang sudah diterima.

Kalau sudah mengantongi izin itu, orang pun tidak perlu jadi pebisnis yang harus memeras otak untuk bertahan hidup dan mengembangkan usaha.  Penggarapnya cukup orang lain. Toh, pemilik IUP akhirnya menerima setoran juga. Kira-kira, setoran untuk batu bara berkalori tinggi bisa mencapai US$ 10 per ton dari setiap batu yang diangkut penggarap. Sedangkan untuk batu bara berkalori rendah, setorannya di bawah itu.

Bayangkan, kalau satu lahan pertambangan bisa menghasilkan 500.000 ton batu bara per tahun, berarti uang yang masuk kantong politikus mencapai US$ 5 juta. Dengan asumsi kurs 11 ribu per dolar Amerika Serikat, setiap bulan uang yang masuk ke pundi-pundinya lebih dari Rp 4,5 miliar. 

Nah, mau dibagi ke berapa rekan pun, uang setoran itu masih sangat besar. Jumlahnya jauh di atas gaji anggota DPR atau direktur utama perusahaan swasta. Dengan bermodalkan secarik kertas, semua ini bermula. Begitulah kompensasi politik. Jadi, tak perlu merasa heran sekiranya ada politikus yang tidak berbisnis tapi tampilan kekayaannya mencorong.

Jadi saya pun mafhum kalau kawan yang bercerita itu mau beralih profesi menjadi politikus. Dan pantas pula jika para petinggi partai membantu keluarga, kerabat, dan sekutunya untuk berkarier di dunia politik. Begitulah cara mudah untuk meraup untung, sekaligus merusak tatanan ekonomi lantaran ikut menciptakan ekonomi biaya mahal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar