Rabu, 08 Januari 2014

Agama Murni : Adakah?

                                           Agama Murni : Adakah?

Soe Tjen Marching  ;   Komponis
TEMPO,  07 Januari 2014
                                                                                                                 


Bila orang-orang menghargai susu murni, maka banyak juga yang menghargai agama murni. Tak jarang ada pihak yang mempertahankan kemurnian agama dengan kengototan berlebihan. Seolah keyakinan mereka bisa "tercemar" kalau menyenggol kepercayaan atau agama yang berbeda. Bahkan, Majelis Ulama Indonesia sempat berfatwa bahwa mengucapkan "selamat Natal" haram hukumnya. Kisah cinta Asmirandah dan Jonas menjelma perang karena masalah perbedaan agama.

Tapi, bila kita telusuri sekelumit saja sejarah pemikir Islam dan Kristen, percampuran agama telah terjadi berabad yang lalu. Seorang pemikir Islam, Al-Farabi, misalnya, yang lahir pada 872 di Farab, sangat dipengaruhi oleh berbagai filsafat Kristen dan Yunani. Al-Farabi juga sempat berguru kepada cendekiawan Kristen di Nastura. 

Kagum akan pemikiran Plato dan Aristoteles, Al-Farabi menerjemahkan serta mengembangkan filsafat logika Aristoteles sehingga dia dijuluki oleh para cendekiawan Islam pada abad pertengahan sebagai Guru Kedua setelah Aristoteles. 

Karena Al-Farabi, filsafat Aristoteles menyebar luas dan ulasan Al-Farabi mempenga­ruhi banyak pemikir Kristen dan Yahudi. Beberapa pemikir Islam sesudahnya, seperti Ibn Sina dan Ibn Rushd, juga turut mengembangkan pemikiran Yunani. 

Ibn Sina (980-1037) berpendapat bahwa Tuhan tidak mengurusi hal-hal pribadi yang dilakukan manusia. Ibn Sina mempengaruhi banyak filsuf Barat, seperti Thomas Aquinas, yang dianggap sebagai salah satu pemikir terpenting dalam agama Kristen. 

Setelah Ibn Sina, Ibn Rushd yang lahir pada 1128 melanjutkan penyebaran filsafat dan logika Yunani. Ulasan Ibn Rushd telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Mitchell the Scott dan ke dalam bahasa Ibrani (bahasa Yahudi) oleh Jacob Anatoli pada 1231. Buku-buku Ibn Rushd juga menjadi buku pegangan dalam silabus di beberapa Universitas di Paris dan Eropa pada sekitar abad ke-12 dan ke-16. 

Kemudian, salah satu pemikir Kristen yang paling terkenal, Thomas Aquinas (1225–1274), mempelajari Aristoteles (yang dianggap salah satu bapak filsafat Barat) melalui tulisan-tulisan Ibn Sina dan Ibn Rushd. 

Kritik sengit terhadap Thomas Aquinas karena persinggungannya dengan filsuf Islam sempat muncul. Tiga tahun setelah Thomas Aquinas wafat, uskup di Paris, Etienne Tempier, melancarkan kampanye anti-Aquinas yang pernah menulis tentang Ibn Rushd, karena dianggap berasal dari agama lain. Namun Gereja Katolik berbalik menghargai pemikiran Thomas Aquinas kembali. Pada 1323, Paus Yohanes XXII memberi gelar santo kepada Aquinas. 

Dari tangan-tangan cendekiawan muslim dan interpretasi mereka, para ilmuwan Barat mempelajari filsafat Yunani, yang juga sering dianggap sebagai nenek moyang filsafat Barat. Persentuhan antara budaya Arab dan Yahudi juga telah terjadi sejak zaman dulu. Tradisi "Barat" telah bercampur dengan interpretasi muslim, namun tradisi muslim juga telah begitu dipengaruhi oleh pemikiran yang dianggap milik Barat. Jadi, masihkah perlu mengkarantina agama dengan begitu bernafsunya? 

Mungkin, biarkan saja kata murni dipakai untuk susu, tapi tidak untuk agama, kepercayaan, dan pengetahuan, yang telah berkawin silang berabad-abad lamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar