Gosip
Politik dan Pemilu 2014
Bambang Arianto ;
Peneliti Politik
|
TEMPO,
07 Januari 2014
Ritual elektoral 2014 diprediksi tetap dipenuhi oleh
euforia kompetisi, partisipasi, dan kebebasan politik. Tingginya frekuensi
kepentingan politik dalam ritual elektoral 2014 akan semakin memunculkan
kekhawatiran akan terjadinya stagnasi konsolidasi demokrasi akibat
bertabrakannya konflik kepentingan politik, yang cenderung tumpang-tindih.
Salah satunya, publik kerap disuguhi pelbagai gosip politik yang tujuannya ingin menjatuhkan lawan politik. Catut-mencatut nama dalam politik saat ini sepertinya sudah menjadi sebuah tradisi dalam kultur dan ritual elektoral. Gosip politik yang berkembang saat ini masih di ambang batas kewajaran. Namun hal ini menjadi tidak wajar bila hal tersebut kerap kali terjadi dalam proses persidangan korupsi politik yang dimanfaatkan untuk menarik keterlibatan pihak lain dan belum terbukti di depan hukum. Artinya, gelagat gosip politik yang ditimbulkan masih bersifat asumsi dan terendus sebagai aroma politik, yang tujuannya menjatuhkan lawan politik, kelompok, bahkan partai politik. Mengutip pernyataan Stein (Don F. Faules, 1998: 200), gosip politik diistilahkan sebagai grapevine, yakni metode pemberian sebuah laporan rahasia dari orang ke orang yang tidak dapat diperoleh melalui saluran biasa, karena isi pesan grapevine senantiasa diwacanakan ke publik melalui komunikasi informal (face to face communication). Hal ini akhirnya diamplifikasi media melalui bungkus pemberitaan yang samar-samar, sehingga dengan kultur rakyat Indonesia yang lebih cepat menerima isu politik ketimbang pesan melalui tulisan, grapevine pun merebak. Padahal pesan grapevine kerap kali dijadikan sebagai ajang character assasination figur politik. Gejala ini dapat ditelisik ketika Partai Demokrat terkesan makin membabi-buta melancarkan serangan politik melalui berbagai pernyataan seputar konsep kepemimpinan dan blusukan gaya Jokowi. Publik menilai gosip politik yang berkembang selama ini lebih pada kepanikan yang dialami elite politik Partai Demokrat dalam menghadapi meroketnya tingkat elektabilitas Jokowi. Sebenarnya, gosip politik dapat berkembang menjadi hal yang positif bagi figur politik bila segera diklarifikasikan di hadapan publik ketimbang sibuk mencari "kambing hitam" yang malah dapat memperkeruh suasana. Konsekuensi dari kebebasan dan keterbukaan informasi yang kerap menjadi indikator di era transisi demokrasi menunjukkan terdapatnya ketidakpastian dalam nalar pemilih mengenai sesuatu hal. Minimnya referensi dan kerangka berpikir pemilih akan dapat berpengaruh pada sikap ataupun proses pengambilan keputusan dalam ritual elektoral. Ketidakpastian akan menciptakan jarak komunikasi yang mengakibatkan hilangnya kepercayaan pemilih terhadap figur politik yang terlibat dalam ranah komunikasi politik. Kesempatan ini yang kerap dimanfaatkan untuk membunuh karakter lawan politik. Sebenarnya, makin sedikit gosip politik yang beredar, kondisinya akan semakin ideal. Namun bukan berarti memiliki gosip politik yang banyak juga menutup kemungkinan untuk sukses. Lagi-lagi ini sangat bergantung pada bagaimana cara menyikapinya. Gosip politik akan menjadi penting dan ada kalanya berbalik membuat citra yang diopinikan menjadi positif. Figur dan kandidat politik sudah saatnya menampilkan perilaku dan etika yang santun, dan tidak menyalahi aturan demokrasi, sehingga dapat meminimalkan timbulnya gesekan. Manajemen konflik yang didukung oleh kearifan dan kemampuan manajerial kepemimpinan elite mutlak diperlukan. Dalam kultur politik Tanah Air, gosip politik akan tetap menjadi budaya yang masih cukup kental dalam nalar publik. Sebab, pembicaraan bebas (diskursus politik) lebih mudah dicerna publik ketimbang pesan tertulis yang disampaikan kandidat politik. Situasi seperti ini sangat rawan penyalahgunaan gosip politik. Ketatnya persaingan antar-elite samar-samar, tapi pasti telah menjadikan gosip politik sebagai bumper politik untuk menjatuhkan lawan politik. Gosip politik dapat menggelinding menjadi kepentingan dan faksionalisasi politik yang akhirnya dapat dikomodifikasi menjadi alat penggembos tingkat elektabilitas lawan politik. Akhirnya, publik akan disuguhi permainan politik secara terbuka, destruktif, dan terkesan rendahan. Bila tidak diiringi oleh kedewasaan berdemokrasi, ritual elektoral 2014 hanya akan menghasilkan produk demokrasi yang jauh dari prinsip egaliter. Figur dan kandidat politik di masa depan, siapa pun itu, senantiasa harus tampil lebih merakyat dengan cara mengedepankan intensitas komunikasi yang tinggi guna menjelaskan mengenai personalisasi yang dimilikinya. Hal ini dirasa perlu untuk mengkonfirmasi referensi pemilih dalam pengambilan keputusan dalam memilih. Gosip politik yang bersifat negatif akan menjadi jalan untuk membuka kran ketertutupan komunikasi seluas-luasnya dalam upaya meningkatkan kepercayaan publik. Dalam politik elektoral 2014, publik harus mampu mencerna gosip politik secara rasional, agar ketika menggunakan hak pilihnya, mereka tidak kembali tertipu oleh figur dan partai politik yang mengedepankan janji-janji kosong tapi minus kerja nyata. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar