Jumat, 10 Januari 2014

Jokowi dan Ratu Adil

                                               Jokowi dan Ratu Adil

Wildan Sena Utama  ;   Peneliti Sejarah,
Sedang Studi di Institute for History, Leiden University
SINAR HARAPAN,  03 Januari 2014
                                                                                                                        


Tuan-tuan hakim, apakah sebabnya rakyat senantiasa percaya datangnya Ratu Adil. Dan sering kali kita mendengar di desa sini atau di desa situ telah muncul seorang Imam Mahdi atau Erucakra. Tak lain tak bukan karena rakyat menunggu dan mengharap pertolongan”. (Soekarno, Indonesia Menggugat)

Kata-kata itu meluncur, memecah belah persidangan. Hari itu 1 Desember 1930, di Landraad, Bandung, Soekarno berdiri sebagai terdakwa atas tuduhan Pasal 153, 161, dan 171 yang menvonis pemimpin PNI itu menyebarkan permusuhan politik kepada pemerintah Belanda.
Soekarno dituduh merencanakan aksi penggulingan terhadap kekuasaan imperialis Belanda dengan memanfaatkan momentum Perang Pasifik.
Rakyat Jawa pada waktu itu telah mulai melihat Soekarno merupakan titisan Erucakra, Imam Mahdi atau Ratu Adil.
Sebuah mitos yang telah mengakar dalam masyarakat Jawa didasarkan Ramalan Prabu Jayabaya (1135-1159) yang mengatakan kelak ketika terjadi malapetaka, kemelut sosial, dan ketidakadilan dari penguasa lalim, akan muncul seorang Ratu Adil yang akan menyelamatkan rakyat Jawa dari keterpurukan.
Ratu Adil tidak muncul begitu saja. Kemunculan sosok ini muncul karena dua hal. Pertama, adalah sosoknya yang langka dan melampuai zamannya. Kedua, karena momentum yang mendesak.
Diponegoro yang didesas-desus sebagai titisan Erucakra muncul karena rakyat melihat bahwa Diponegoro mengembalikan keeleganan bangsawan Jawa yang bermoral sekaligus sosok yang taat beragama, tetapi juga tidak sungkan menjalin hubungan dengan masyarakat pedesaan (Carey, 2012).
Ditambah keadaan sebelum munculnya Perang Jawa seperti gagal panen, bencana penyakit kolera ditambah beban penduduk Jawa atas pajak gerbang tol. Ini menambah keyakinan bahwa sosok Diponegoro, yang mengikrarkan diri sebagai Erucakra pada Perang Jawa, hanyalah sosok satu-satunya yang bisa menolong rakyat Jawa dari belenggu keterpurukan.
Hal yang sama berlaku pada sosok Tjokroaminoto. Kelahirannya ditandai dengan meletusnya Gunung Krakatau pada 1882. Dalam mitos Jawa kedatangan mesiah ditandai bencana alam.
Kemampuan Tjokroaminoto dalam berpidato membuat kerumunan massa selalu mengikuti untuk menonton orasinya. Ketika selesai berpidato, rakyat berebutan untuk menyentuh pakaiannya. Tjokroaminoto, menurut Ricklefs, dipandang sebagai sosok Ratu Adil oleh para petani tidak terdidik karena kecocokan namanya dengan Prabu Herucokro.
Gagasan Ratu Adil yang terus tumbuh dalam memori kolektif orang Jawa, juga menghinggapi pemikiran politik Soekarno. Bernhard Dahm, yang menulis biografi Soekarno dengan pendekatan budaya dan politik Jawa mengatakan, sejak kecil Soekarno telah suka menonton lakon wayang. Cerita pertempuran Mahabarata antara kaum kesatria, Pandawa melawan Kurawa adalah lakon yang dihafalnya di luar kepala.
Sosok Bima merupakan kesatria favorit Soekarno. Dalam analisisnya Bernhard Dahm berpendapat “tidak ada jalan lain yang lebih baik selain memahami Soekarno dari sosok Bima”. Bima adalah kesatria pemberani dan tanpa kompromi, tetapi juga jujur dan mau bermufakat dengan orang-orang dari barisan yang sama.
Selain Bima, Karna adalah figur panutan Soekarno. Ayahnya Raden Sukemi mengubah nama Soekarno kecil, Kusno menjadi Soekarno karena dipengaruhi pesona Karna. Raden Sukemi punya harapan bahwa Soekarno dewasa bisa seperti Karna, seorang kesatria sakti, pahlawan dalam Mahabarata, yang membela negaranya tanpa ragu-ragu.
Munculnya Soekarno dalam panggung pergerakan Indonesia setelah Tjokroaminoto menandai kelahiran Erucakra kedua dalam pergerakan Indonesia. Dia adalah sosok yang melampaui zamannya dan muncul pada momentum yang tepat.
Sejak muda, sejak dia tinggal di indekos Tjokroaminoto, dia sudah mengenal berbagai pemikiran politik Indonesia saat itu, mulai dari islamisme, nasionalisme, sampai marxisme. Dia juga adalah orator politik yang hebat dengan belajar meniru gerak-gerik dan cara Tjokroaminoto berpidato.
Keberaniannya menentang pemerintahan kolonial membuat rakyat berbaris di belakang untuk mendukungnya. Namun, Soekarno tidak pernah mengakui dirinya titisan Ratu Adil.
Walaupun rakyat memandangnya sebagai pembawa titah Ratu Adil, ia berkali-kali mengatakan dan menafsirkan Ratu Adil adalah “kemerdekaan”. Kemudian lebih dikonsepsikannya secara filosofis sebagai “kedatangan sosialisme” yang akan membebaskan dan membawa Indonesia pada kemakmuran.
Jokowi
Sejak Soekarno tiada, banyak tokoh-tokoh yang memproklamirkan diri sebagai Ratu Adil palsu. Rakyat pun tidak pernah lagi secara masif memersonifikasikan figur tertentu sebagai titisan Ratu Adil. Meskipun begitu, dalam banyak kesempatan, obrolan dan pemberitaan, memori kolektif tentang Ratu Adil masih ada dan bertahan. Terutama ketika publik dihadapkan kepada pemilihan pemimpin baru.
Memang ini gejala yang aneh. Semenjak Pemilu 2004 dan 2009, batas-batas politik aliran, loyalitas tradisional, dan pengaruh tokoh tradisional untuk memengaruhi pilihan semakin melemah. Kepercayaan terhadap hal-hal mistis, seperti kedatangan Erucakra masih dipercayai.
Dalam beberapa hal pula, “politik figur” yang berhasil mencitrakan SBY sebagai “orang bijak dan baik”, dipahami orang-orang Jawa sebagai sosok Ratu Adil yang bisa membawa Indonesia pada kesejahteraan.
Pada tahun politik 2014 ini kerinduan kepada sosok Ratu Adil tidak pudar. Tidak hanya rakyat Jawa, tetapi juga suara dari belahan pulau lain mengatakan hanyalah Jokowi, sosok yang bisa membawa Indonesia selamat dari jurang kehancuran akibat korupsi, konflik, dan kemiskinan.
Sosok Jokowi hari-hari ini menjadi mitos, yang sudah tiada lagi bandingan kesaktiannya dibanding para calon pemimpin lain. Inilah hal yang sama ketika Diponegoro, Tjokroaminoto, dan Soekarno ditahbiskan sebagai titisan Ratu Adil oleh rakyat.
Bila dibandingkan tiga tokoh itu, memang Jokowi bukan sosok pemikir dengan ide-ide besar. Namun sekali lagi, dia merupakan sosok langka dan muncul pada momentum yang tepat. Saat politik Indonesia penuh dengan kekotoran kolusi, penuh dengan permainan koruptif, dan kehadiran pemimpin sulit dirasakan masyarakat.
Jokowi membalik keadaan itu semua. Dia mengubah pemerintahan yang tertutup menjadi transparan. Keputusan politik yang tegas diambil bila ada birokrasi yang macet. Dia tidak sungkan untuk turun langsung blusukan ke masyarakat. Dengan blusukan ia berdialog dengan warga, apa sebenarnya problem yang yang membuat warga kesukaran, sekaligus dia mengecek langsung masalah yang masuk ke meja kantornya.
Kekuatan Jokowi pada “politik aksi” inilah yang sedikit demi sedikit membangunnya menjadi “kekuatan figur”. Tentu kepercayaan terhadap Jokowi sebagai Ratu Adil berbeda dengan masa lalu, di mana kemunculannya dikaitkan dengan bencana alam atau peristiwa janggal. Namun, kepercayaan mistis ini dilandasi dengan keyakinan secara rasional bahwa Jokowi, dengan segala kekurangannya, merupakan orang yang tepat yang bisa menyelamatkan Indonesia. Mungkin, hanyalah waktu yang dapat menguji mitos ini.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar