“Tuan-tuan hakim, apakah sebabnya rakyat senantiasa percaya datangnya
Ratu Adil. Dan sering kali kita mendengar di desa sini atau di desa situ
telah muncul seorang Imam Mahdi atau Erucakra. Tak lain tak bukan karena
rakyat menunggu dan mengharap pertolongan”. (Soekarno, Indonesia Menggugat)
Kata-kata itu meluncur, memecah
belah persidangan. Hari itu 1 Desember 1930, di Landraad, Bandung, Soekarno
berdiri sebagai terdakwa atas tuduhan Pasal 153, 161, dan 171 yang menvonis
pemimpin PNI itu menyebarkan permusuhan politik kepada pemerintah Belanda.
Soekarno dituduh merencanakan aksi
penggulingan terhadap kekuasaan imperialis Belanda dengan memanfaatkan
momentum Perang Pasifik.
Rakyat Jawa pada waktu itu telah
mulai melihat Soekarno merupakan titisan Erucakra, Imam Mahdi atau Ratu Adil.
Sebuah mitos yang telah mengakar
dalam masyarakat Jawa didasarkan Ramalan Prabu Jayabaya (1135-1159) yang
mengatakan kelak ketika terjadi malapetaka, kemelut sosial, dan ketidakadilan
dari penguasa lalim, akan muncul seorang Ratu Adil yang akan menyelamatkan
rakyat Jawa dari keterpurukan.
Ratu Adil tidak muncul begitu
saja. Kemunculan sosok ini muncul karena dua hal. Pertama, adalah sosoknya
yang langka dan melampuai zamannya. Kedua, karena momentum yang mendesak.
Diponegoro yang didesas-desus
sebagai titisan Erucakra muncul karena rakyat melihat bahwa Diponegoro
mengembalikan keeleganan bangsawan Jawa yang bermoral sekaligus sosok yang
taat beragama, tetapi juga tidak sungkan menjalin hubungan dengan masyarakat
pedesaan (Carey, 2012).
Ditambah keadaan sebelum munculnya
Perang Jawa seperti gagal panen, bencana penyakit kolera ditambah beban
penduduk Jawa atas pajak gerbang tol. Ini menambah keyakinan bahwa sosok
Diponegoro, yang mengikrarkan diri sebagai Erucakra pada Perang Jawa,
hanyalah sosok satu-satunya yang bisa menolong rakyat Jawa dari belenggu
keterpurukan.
Hal yang sama berlaku pada sosok
Tjokroaminoto. Kelahirannya ditandai dengan meletusnya Gunung Krakatau pada
1882. Dalam mitos Jawa kedatangan mesiah ditandai bencana alam.
Kemampuan Tjokroaminoto dalam
berpidato membuat kerumunan massa selalu mengikuti untuk menonton orasinya.
Ketika selesai berpidato, rakyat berebutan untuk menyentuh pakaiannya.
Tjokroaminoto, menurut Ricklefs, dipandang sebagai sosok Ratu Adil oleh para
petani tidak terdidik karena kecocokan namanya dengan Prabu Herucokro.
Gagasan Ratu Adil yang terus
tumbuh dalam memori kolektif orang Jawa, juga menghinggapi pemikiran politik
Soekarno. Bernhard Dahm, yang menulis biografi Soekarno dengan pendekatan
budaya dan politik Jawa mengatakan, sejak kecil Soekarno telah suka menonton
lakon wayang. Cerita pertempuran Mahabarata antara kaum kesatria, Pandawa
melawan Kurawa adalah lakon yang dihafalnya di luar kepala.
Sosok Bima merupakan kesatria
favorit Soekarno. Dalam analisisnya Bernhard Dahm berpendapat “tidak ada
jalan lain yang lebih baik selain memahami Soekarno dari sosok Bima”. Bima
adalah kesatria pemberani dan tanpa kompromi, tetapi juga jujur dan mau
bermufakat dengan orang-orang dari barisan yang sama.
Selain Bima, Karna adalah figur
panutan Soekarno. Ayahnya Raden Sukemi mengubah nama Soekarno kecil, Kusno
menjadi Soekarno karena dipengaruhi pesona Karna. Raden Sukemi punya harapan
bahwa Soekarno dewasa bisa seperti Karna, seorang kesatria sakti, pahlawan
dalam Mahabarata, yang membela negaranya tanpa ragu-ragu.
Munculnya Soekarno dalam panggung
pergerakan Indonesia setelah Tjokroaminoto menandai kelahiran Erucakra kedua
dalam pergerakan Indonesia. Dia adalah sosok yang melampaui zamannya dan
muncul pada momentum yang tepat.
Sejak muda, sejak dia tinggal di
indekos Tjokroaminoto, dia sudah mengenal berbagai pemikiran politik
Indonesia saat itu, mulai dari islamisme, nasionalisme, sampai marxisme. Dia
juga adalah orator politik yang hebat dengan belajar meniru gerak-gerik dan
cara Tjokroaminoto berpidato.
Keberaniannya menentang
pemerintahan kolonial membuat rakyat berbaris di belakang untuk mendukungnya.
Namun, Soekarno tidak pernah mengakui dirinya titisan Ratu Adil.
Walaupun rakyat memandangnya
sebagai pembawa titah Ratu Adil, ia berkali-kali mengatakan dan menafsirkan
Ratu Adil adalah “kemerdekaan”. Kemudian lebih dikonsepsikannya secara
filosofis sebagai “kedatangan sosialisme” yang akan membebaskan dan membawa
Indonesia pada kemakmuran.
Jokowi
Sejak Soekarno tiada, banyak
tokoh-tokoh yang memproklamirkan diri sebagai Ratu Adil palsu. Rakyat pun
tidak pernah lagi secara masif memersonifikasikan figur tertentu sebagai
titisan Ratu Adil. Meskipun begitu, dalam banyak kesempatan, obrolan dan
pemberitaan, memori kolektif tentang Ratu Adil masih ada dan bertahan.
Terutama ketika publik dihadapkan kepada pemilihan pemimpin baru.
Memang ini gejala yang aneh.
Semenjak Pemilu 2004 dan 2009, batas-batas politik aliran, loyalitas
tradisional, dan pengaruh tokoh tradisional untuk memengaruhi pilihan semakin
melemah. Kepercayaan terhadap hal-hal mistis, seperti kedatangan Erucakra
masih dipercayai.
Dalam beberapa hal pula, “politik
figur” yang berhasil mencitrakan SBY sebagai “orang bijak dan baik”, dipahami
orang-orang Jawa sebagai sosok Ratu Adil yang bisa membawa Indonesia pada
kesejahteraan.
Pada tahun politik 2014 ini
kerinduan kepada sosok Ratu Adil tidak pudar. Tidak hanya rakyat Jawa, tetapi
juga suara dari belahan pulau lain mengatakan hanyalah Jokowi, sosok yang
bisa membawa Indonesia selamat dari jurang kehancuran akibat korupsi,
konflik, dan kemiskinan.
Sosok Jokowi hari-hari ini menjadi
mitos, yang sudah tiada lagi bandingan kesaktiannya dibanding para calon
pemimpin lain. Inilah hal yang sama ketika Diponegoro, Tjokroaminoto, dan
Soekarno ditahbiskan sebagai titisan Ratu Adil oleh rakyat.
Bila dibandingkan tiga tokoh itu,
memang Jokowi bukan sosok pemikir dengan ide-ide besar. Namun sekali lagi,
dia merupakan sosok langka dan muncul pada momentum yang tepat. Saat politik
Indonesia penuh dengan kekotoran kolusi, penuh dengan permainan koruptif, dan
kehadiran pemimpin sulit dirasakan masyarakat.
Jokowi membalik keadaan itu semua.
Dia mengubah pemerintahan yang tertutup menjadi transparan. Keputusan politik
yang tegas diambil bila ada birokrasi yang macet. Dia tidak sungkan untuk
turun langsung blusukan ke masyarakat. Dengan blusukan ia berdialog dengan
warga, apa sebenarnya problem yang yang membuat warga kesukaran, sekaligus
dia mengecek langsung masalah yang masuk ke meja kantornya.
Kekuatan Jokowi pada “politik
aksi” inilah yang sedikit demi sedikit membangunnya menjadi “kekuatan figur”.
Tentu kepercayaan terhadap Jokowi sebagai Ratu Adil berbeda dengan masa lalu,
di mana kemunculannya dikaitkan dengan bencana alam atau peristiwa janggal. Namun,
kepercayaan mistis ini dilandasi dengan keyakinan secara rasional bahwa
Jokowi, dengan segala kekurangannya, merupakan orang yang tepat yang bisa
menyelamatkan Indonesia. Mungkin, hanyalah waktu yang dapat menguji mitos
ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar