Mimpi
Wujudkan “Smart City”
Budi Santoso ;
Anggota Federasi Pembangunan Perkotaan Indonesia (Feppi), Lembaga
Inisiator Smart City Awards Indonesia
|
KOMPAS,
06 Januari 2014
SEBUAH televisi pada Desember
2013 memberitakan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini berencana menata kawasan
Dolly menjadi kawasan smart city. Kawasan bekas lokalisasi ini akan disulap
menjadi sejumlah rumah susun dan bangunan publik lainnya yang ramah lingkungan
dan didukung dengan fasilitas wi-fi yang dapat diakses secara gratis.
Nomine wali kota terbaik dunia ini
begitu antusias segera mewujudkannya sebagai bagian dari menuju kota yang
cerdas.
Hampir serupa, Wali Kota Bandung
Ridwan Kamil juga ingin merealisasikan ”Kota Kembang” sebagai smart
city. Hal ini diawali dengan penggunaan teknologi informasi sehingga dia
dapat memantau langsung arus lalu lintas setiap saat cukup melalui ruang
kerjanya (Kompas, 14/11/ 2013).
Dengan segala wewenang yang
dimiliki, kedua wali kota tersebut pada dasarnya bermimpi sekaligus ingin
mewujudkan smart city. Apa itu smart city dan apa
kepentingannya?
Kecenderungan global
Data Perserikatan Bangsa- Bangsa
mengungkapkan bahwa pada tahun 2007 untuk pertama kali lebih dari setengah
penduduk Bumi tinggal di daerah perkotaan. Tahun 2050, jumlah penduduk dunia
akan meningkat 70 persen, dari 3,3 miliar jiwa menjadi 6,4 miliar jiwa.
Sekarang saja sudah terdapat 500 kota besar (yang memiliki warga lebih dari 1
juta jiwa) di seluruh dunia, dan angka ini akan melonjak menjadi 10.000 kota
besar pada tahun 2040.
Perubahan demografis tersebut
tentu saja berdampak pada banyak hal. Pertama, terjadinya perubahan iklim.
Saat ini kota- kota telah membuang sekitar 80 persen emisi gas rumah kaca di
seluruh dunia. Sulit dibayangkan kalau hal ini terus berlanjut dalam 40 tahun
ke depan, sementara tindakan antisipasi tidak dilakukan.
Kedua, meningkatkan kelangkaan
sumber-sumber alam. Kota-kota bertanggung jawab terhadap sekitar 75 persen
konsumsi energi global yang dihabiskan. Secara langsung atau tidak langsung,
sekitar 60 persen penggunaan air juga terjadi di perkotaan.
Ketiga, tekanan
pada infrastruktur dan mobilitas, terutama pada penyediaan listrik, sanitasi,
jaringan jalan, dan logistik.
Dampak-dampak tersebut dipandang
sebagai ancaman besar sekaligus tantangan bagi kota-kota di seluruh penjuru
dunia. Dalam kerangka inilah, dalam lima tahun terakhir konsep smart
city mulai diwacanakan dan mulai diimplementasikan.
Salah satunya melalui Pertemuan
Puncak Kota Besar Cerdas Dunia di Istanbul, Turki, pada 27 November 2013.
Lebih dari 100 pemimpin kota besar, ahli pembangunan kota, penyedia layanan
kota, dan akademisi dari dunia berkumpul guna membahas pemikiran cerdas dan
praktik terbaik bagi penerapan kota cerdas di masa depan.
Konsep smart city pada
hakikatnya menempatkan kota sebagai sebuah ekosistem dari banyak subsistem
untuk saling terinterkoneksi dan mendukung sehingga kota tersebut tetap
berkelanjutan (sustainable cities). Ada enam komponen utama atau subsistem
dalam smart city, yaitu: energi terbarukan dan efisiensi energi,
pengelolaan air bersih dan limbah, transportasi dan logistik hijau, produk
dan jasa yang ramah lingkungan, gedung dan interior hijau, serta teknologi
informasi dan komunikasi (ICT) hijau.
Memang untuk
mengimplementasikan smart city secara utuh, dibutuhkan (penemuan)
teknologi yang terkini, investasi yang besar, dan waktu yang tidak sebentar.
Oleh sebab itu, banyak pemerintah kota besar di dunia memulai dengan apa saja
yang bisa dilakukan dan secara bertahap.
Kota di Malta, negara kepulauan
kecil di Laut Tengah, kota pertama yang mengaplikasikannya dengan ICT untuk
mengoptimalkan air dan sistem energi. Stockholm, ibu kota Swedia,
menggunakan control point yang dilengkapi laser dan kamera untuk
mengurangi kemacetan dan emisi gas rumah kaca. Kota Gujarat di India
mengembangkan lahan hijau melalui teknologi canggih untuk menghilangkan
limbah pembuangan. Kota Istanbul memanfaatkan layanan kesehatan bagi warganya
cukup dengan memanfaatkan telepon seluler, tablet, atau komputer mereka.
Putrajaya dan Kuching di Malaysia bahkan disebut-sebut sebagai kota cerdas
yang lengkap di Asia.
Mimpi yang sama
Jadi, bisa dikatakan
bahwa smart city telah menjadi kecenderungan global, yang mana mau
tidak mau setiap kota harus menuju ke sana demi kelangsungan hidup dan
kenyamanan kota itu sendiri.
Bagaimana dengan Indonesia? Negeri
ini juga mengalami kecenderungan yang sama, khususnya dalam perubahan
demografis. Pada tahun 1970 jumlah penduduk yang tinggal di kota masih 17
persen, dan melejit menjadi 52 persen tahun 2010. Bisa jadi tahun 2050 yang
hidup di perkotaan 70 persen pula.
Sayangnya, dalam hal smart
city kita masih tertinggal. Kota-kota di sini masih disibukkan untuk
mewujudkan green city atau ecocity. Ini pun sulitnya luar biasa
karena banyak pemimpin kota dan warganya kurang peduli.
Namun, kita beruntung punya dua
wali kota yang cerdas (Surabaya dan Bandung) yang berpikiran cerdas dan
bermimpi untuk menjadikan smart city di wilayah yang menjadi tanggung
jawabnya. Keduanya tidak hanya terbukti dalam menghijaukan kota, tetapi juga
sudah melangkah lebih jauh. Patut diapresiasi dan didukung upaya tersebut
karena ini baru tahap awal untuk menuju tahap-tahap berikutnya yang lebih
besar tantangan dan investasinya.
Bila perlu, semua pemimpin kota di
Nusantara yang terdiri dari 93 kotamadya dan 409 kota kabupaten punya mimpi
yang sama, yakni membangun kota pintar. Smart city menjadi begitu
penting manakala yang diinginkan dan diharapkan merupakan kota yang lestari,
nyaman, efisien, dan punya daya saing ekonomi yang tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar