Hukum
Istana di Gunung Mas
Margarito Kamis ; Doktor Hukum Tata Negara,
Staf Pengajar FH Univ Khairun, Ternate
|
MEDIA
INDONESIA, 03 Januari 2014
TIDAK seperti mantan wali kota Tomohon
di Sulawesi Utara, dan mantan bupati Bouvendigul di Papua, yang keduanya
diizinkan KPK keluar dari tahanan untuk dilantik, dalam kasus Gunung Mas, KPK
justru mengubah cara pandangnya. KPK berkukuh tidak mengizinkan Hambit keluar dari rumah
tahanan negara, walau hanya sekadar dilantik. Sikap KPK ini, tak disangka
menguak kelemahan mendasar hukum pemerintahan daerah.
Buntu, bahkan mati total daya
dukung hukum pemda kita. UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,
jelas tak dapat diandalkan dalam mengelola keadaan hukum di Gunung Mas itu.
Asyiknya, Istana, melalui pembantunya, tampak tidak habis akal, walau sejauh
ini tidak terlihat adanya akal yang logis dari mereka, yang dapat diandalkan
mengakhiri keadaan hukum yang sudah buntu, bahkan mati total itu di Gunung
Mas.
Nalar sehat
Menariknya, keadaan hukum yang
oleh publik dinilai kian terasa pelik ini, tampaknya tidak demikian menurut Istana.
Sejauh ini Istana masih menilai keadaan hukum ini biasa-biasa saja. Sama
sekali belum terlihat langkah-langkah nyata, apalagi mengagumkan dari Istana
dalam memecahkan keadaan hukum yang pelik ini. Istana, masih menaruh kepercayaan
dan mengandalkan menteri dalam negeri, pembantunya, dan gubernur Kalimantan
Tengah, wakilnya di daerah, bergandeng tangan mengelola keadaan hukum itu.
Mampukah mereka berdua?
Berdasarkan hukum positif, jawaban yang tersedia adalah pasti tidak. Mengapa?
Pertama, hukum positif kita, khususnya yang diatur dalam Pasal 25 dan 26 UU
Nomor 32 Tahun 204 tentang Pemerintahan Daerah, jelas. Bupati dan wakil
bupati memiliki, selain menyandang status hukum yang berbeda, juga tugas dan
fungsinya berbeda.
Bupati berstatus hukum sebagai
pemimpin daerah hukum yang bernama kabupaten, sedangkan wakil berstatus hukum
sebagai pembantu bupati. Kalau bupatinya tidak pernah ada, karena tidak
pernah dilantik, wakil bupati mau memberi bantuan kepada siapa? Bukankah
berdasarkan penalaran logis dogmatis bupati adalah subjek yang menerima
bantuan dari wakil bupati? Kalau subjek yang dibantu tidak pernah ada, soal
hukum yang muncul adalah siapa yang berhak menerima bantuan itu?
Keberadaan
bupati adalah kunci berfungsinya tugas dan kewajiban wakil bupati.
Kedua, dengan menggunakan
penalaran dogmatis terhadap norma kepala
daerah berhenti, tentu dari jabatannya, akan muncul soal hukum berikut.
Mungkinkah calon bupati terpilih yang tidak pernah dilantik jadi bupati,
diberi status hukum sebagai bupati? Dengan nalar apa, seseorang yang tidak
pernah dilantik jadi bupati, berstatus hukum sebagai bupati? Bintih yang
tidak pernah dilantik jadi bupati, tentu tidak bisa diberhentikan dari
jabatan bupati. Untuk bisa jadi bupati, Bintih harus dilantik. Setelah Bintih
menyandang status hukum sebagai bupati, barulah Bintih diberhentikan dari
jabatan itu. Faktanya, Bintih tidak dilantik jadi bupati, dan demikian tidak
pernah jadi bupati. Konsekuensinya, Bintih tidak bisa diberhentikan dari
jabatan itu.
Menanti hukum darurat
Menempatkan dan menjadikan konstitusi
sebagai hukum tertinggi dalam satu sistem hukum, jelas merupakan pemikiran,
yang tidak hanya merupakan terobosan mengagumkan pada masanya, melainkan juga
brilian. Muruahnya, bukan sekadar sebagai sarana menghentikan tindakan sewenang-wenang
penguasa, melainkan lebih dari itu. Darinya semua rindu tentang kehidupan
yang beradab, berharkat, dan bermartabat disandarkan dan dialirkan.
Marwah seagung itu diwujudkan dengan cara
memastikan hak setiap orang sebagai individu merdeka, tidak dihambat
penggunaannya secara sewenang-wenang oleh penguasa. Bintih,
tersangka kasus dugaan suap terhadap Akil Mochtar, mantan Ketua MK, adalah
calon bupati terpilih Kabupaten Gunung Mas. Status itu jelas hukumnya. Jelas
pula haknya. Hak apa? Hak untuk dilantik. Bukan itu saja, wakil bupati yang
tidak turut serta dalam kasus itu juga memiliki hak untuk dilantik.
Andai rasa hukum Istana terluka
dengan kenyataan hukum yang disandang Bintih, yakni tersangka, sehingga tidak
mau melantiknya, boleh saja. Tetapi, rasa hukum itu, kata orang bijak, tidak
boleh menghalangi kewajiban Istana memenuhi hak Bintih dan wakilnya. Toh
hukum positif kita megharuskan Bintih dilantik jadi bupati. Status sebagai
bupati dan kelak setelah ia menyandang status terdakwa, barulah keadaan hukum
menjadi sempurna untuk memberhentikan dirinya dari jabatan bupati.
Namun, sekali lagi, bila rasa
hukum Istana terluka dengan memungkinkan seseorang yang berstatus tersangka
dilantik menjadi bupati, rasa hukum baru itu harus diberi sifat normatif.
Suka atau tidak, itulah konsekuensi konstitusional logis dalam kehidupan bernegara
secara bermartabat dan beradab, dengan konstitusi sebagai sandaran dan
panduannya.
Istana, boleh saja menggunakan
skema kekosongan jabatan bupati dan wakil bupati yang tersedia dalam UU Nomor
32 Tahun 2004. Tetapi, terlalu sulit untuk mengatakan pilihan ini logis. Sebab,
soal hukumnya adalah sampai kapan masa kerja pelaksana harian itu? Selama
Istana tetap pada rasa hukum tidak mau melantik Bintih, selama itu pula tidak
ada orang yang dapat memangku jabatan bupati itu, dan wakil bupati. Selama
itu jabatan bupati dan wakil bupati tidak terisi, kosong.
Apakah Istana memiliki cara
mengakhiri keadaan hukum itu? Kecuali menggunakan hukum asal jadi, hukum
positif tidak menyediakan jalan keluarnya. Apakah jalan keluarnya. Apakah
Istana akan membiarkan keadaan hukum yang kacau itu berakhir bersama
berakhirnya masa jabatan presiden pada 20 Oktober 2014 yang akan datang? Membiarkan
keadaan hukum kacau hingga berakhirnya masa jabatan presiden jelas melukai
Republik ini.
Memilih sikap itu, tentu tidak
dapat dikatakan tidak cerdas, tetapi jelas tidak memiliki nilai dan pijakan
konstitusional. Bukan soal berani atau tidak berani, tetapi sangat hebat bila
sudut pandang Istana terhadap keadaan hukum di Gunung Mas saat ini sedikit
mengilap.
Istana pasti menemukan jalan
keluar konstitusional yang elok. Konstitusi meniscayakan Istana melebeli
keadaan hukum di Gunung Mas sebagai keadaan genting, dan memaksa. Istana bisa
membuat satu rumus hukum yang normanya berbunyi begini. Dalam hal seorang
calon bupati terpilih ditetapkan menjadi tersangka tindak pidana korupsi,
yang bersangkutan tidak dapat dilantik. Rumus
ini, tidak akan melahirkan hukum konyol-konyolan di Republik tercinta ini. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar