Selasa, 07 Januari 2014

Hukum Istana di Gunung Mas

                                  Hukum Istana di Gunung Mas

Margarito Kamis  ;   Doktor Hukum Tata Negara,
Staf Pengajar FH Univ Khairun, Ternate
MEDIA INDONESIA,  03 Januari 2014
                                                                                                                        


TIDAK seperti mantan wali kota Tomohon di Sulawesi Utara, dan mantan bupati Bouvendigul di Papua, yang keduanya diizinkan KPK keluar dari tahanan untuk dilantik, dalam kasus Gunung Mas, KPK justru mengubah cara pandangnya. KPK berkukuh tidak mengizinkan Hambit keluar dari rumah tahanan negara, walau hanya sekadar dilantik. Sikap KPK ini, tak disangka menguak kelemahan mendasar hukum pemerintahan daerah.

Buntu, bahkan mati total daya dukung hukum pemda kita. UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, jelas tak dapat diandalkan dalam mengelola keadaan hukum di Gunung Mas itu. Asyiknya, Istana, melalui pembantunya, tampak tidak habis akal, walau sejauh ini tidak terlihat adanya akal yang logis dari mereka, yang dapat diandalkan mengakhiri keadaan hukum yang sudah buntu, bahkan mati total itu di Gunung Mas.

Nalar sehat

Menariknya, keadaan hukum yang oleh publik dinilai kian terasa pelik ini, tampaknya tidak demikian menurut Istana. Sejauh ini Istana masih menilai keadaan hukum ini biasa-biasa saja. Sama sekali belum terlihat langkah-langkah nyata, apalagi mengagumkan dari Istana dalam memecahkan keadaan hukum yang pelik ini. Istana, masih menaruh kepercayaan dan mengandalkan menteri dalam negeri, pembantunya, dan gubernur Kalimantan Tengah, wakilnya di daerah, bergandeng tangan mengelola keadaan hukum itu.

Mampukah mereka berdua? Berdasarkan hukum positif, jawaban yang tersedia adalah pasti tidak. Mengapa? Pertama, hukum positif kita, khususnya yang diatur dalam Pasal 25 dan 26 UU Nomor 32 Tahun 204 tentang Pemerintahan Daerah, jelas. Bupati dan wakil bupati memiliki, selain menyandang status hukum yang berbeda, juga tugas dan fungsinya berbeda.

Bupati berstatus hukum sebagai pemimpin daerah hukum yang bernama kabupaten, sedangkan wakil berstatus hukum sebagai pembantu bupati. Kalau bupatinya tidak pernah ada, karena tidak pernah dilantik, wakil bupati mau memberi bantuan kepada siapa? Bukankah berdasarkan penalaran logis dogmatis bupati adalah subjek yang menerima bantuan dari wakil bupati? Kalau subjek yang dibantu tidak pernah ada, soal hukum yang muncul adalah siapa yang berhak menerima bantuan itu? 

Keberadaan bupati adalah kunci berfungsinya tugas dan kewajiban wakil bupati.
Kedua, dengan menggunakan penalaran dogmatis terhadap norma kepala daerah berhenti, tentu dari jabatannya, akan muncul soal hukum berikut. Mungkinkah calon bupati terpilih yang tidak pernah dilantik jadi bupati, diberi status hukum sebagai bupati? Dengan nalar apa, seseorang yang tidak pernah dilantik jadi bupati, berstatus hukum sebagai bupati? Bintih yang tidak pernah dilantik jadi bupati, tentu tidak bisa diberhentikan dari jabatan bupati. Untuk bisa jadi bupati, Bintih harus dilantik. Setelah Bintih menyandang status hukum sebagai bupati, barulah Bintih diberhentikan dari jabatan itu. Faktanya, Bintih tidak dilantik jadi bupati, dan demikian tidak pernah jadi bupati. Konsekuensinya, Bintih tidak bisa diberhentikan dari jabatan itu.

Menanti hukum darurat

Menempatkan dan menjadikan konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam satu sistem hukum, jelas merupakan pemikiran, yang tidak hanya merupakan terobosan mengagumkan pada masanya, melainkan juga brilian. Muruahnya, bukan sekadar sebagai sarana menghentikan tindakan sewenang-wenang penguasa, melainkan lebih dari itu. Darinya semua rindu tentang kehidupan yang beradab, berharkat, dan bermartabat disandarkan dan dialirkan.

Marwah seagung itu diwujudkan dengan cara memastikan hak setiap orang sebagai individu merdeka, tidak dihambat penggunaannya secara sewenang-wenang oleh penguasa. Bintih, tersangka kasus dugaan suap terhadap Akil Mochtar, mantan Ketua MK, adalah calon bupati terpilih Kabupaten Gunung Mas. Status itu jelas hukumnya. Jelas pula haknya. Hak apa? Hak untuk dilantik. Bukan itu saja, wakil bupati yang tidak turut serta dalam kasus itu juga memiliki hak untuk dilantik.

Andai rasa hukum Istana terluka dengan kenyataan hukum yang disandang Bintih, yakni tersangka, sehingga tidak mau melantiknya, boleh saja. Tetapi, rasa hukum itu, kata orang bijak, tidak boleh menghalangi kewajiban Istana memenuhi hak Bintih dan wakilnya. Toh hukum positif kita megharuskan Bintih dilantik jadi bupati. Status sebagai bupati dan kelak setelah ia menyandang status terdakwa, barulah keadaan hukum menjadi sempurna untuk memberhentikan dirinya dari jabatan bupati.

Namun, sekali lagi, bila rasa hukum Istana terluka dengan memungkinkan seseorang yang berstatus tersangka dilantik menjadi bupati, rasa hukum baru itu harus diberi sifat normatif. Suka atau tidak, itulah konsekuensi konstitusional logis dalam kehidupan bernegara secara bermartabat dan beradab, dengan konstitusi sebagai sandaran dan panduannya.

Istana, boleh saja menggunakan skema kekosongan jabatan bupati dan wakil bupati yang tersedia dalam UU Nomor 32 Tahun 2004. Tetapi, terlalu sulit untuk mengatakan pilihan ini logis. Sebab, soal hukumnya adalah sampai kapan masa kerja pelaksana harian itu? Selama Istana tetap pada rasa hukum tidak mau melantik Bintih, selama itu pula tidak ada orang yang dapat memangku jabatan bupati itu, dan wakil bupati. Selama itu jabatan bupati dan wakil bupati tidak terisi, kosong.

Apakah Istana memiliki cara mengakhiri keadaan hukum itu? Kecuali menggunakan hukum asal jadi, hukum positif tidak menyediakan jalan keluarnya. Apakah jalan keluarnya. Apakah Istana akan membiarkan keadaan hukum yang kacau itu berakhir bersama berakhirnya masa jabatan presiden pada 20 Oktober 2014 yang akan datang? Membiarkan keadaan hukum kacau hingga berakhirnya masa jabatan presiden jelas melukai Republik ini.

Memilih sikap itu, tentu tidak dapat dikatakan tidak cerdas, tetapi jelas tidak memiliki nilai dan pijakan konstitusional. Bukan soal berani atau tidak berani, tetapi sangat hebat bila sudut pandang Istana terhadap keadaan hukum di Gunung Mas saat ini sedikit mengilap.

Istana pasti menemukan jalan keluar konstitusional yang elok. Konstitusi meniscayakan Istana melebeli keadaan hukum di Gunung Mas sebagai keadaan genting, dan memaksa. Istana bisa membuat satu rumus hukum yang normanya berbunyi begini. Dalam hal seorang calon bupati terpilih ditetapkan menjadi tersangka tindak pidana korupsi, yang bersangkutan tidak dapat dilantik. Rumus ini, tidak akan melahirkan hukum konyol-konyolan di Republik tercinta ini. Semoga.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar