Hasrat
Pemilik Media
Turnomo Rahardjo ; Dosen S-1 dan S2 Ilmu Komunikasi
Universitas Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 23 Januari 2014
BEBERAPA bulan mendatang akan berlangsung pemilihan
umum anggota DPR/DPRD, DPD, dan pemilihan presiden. Para kandidat anggota
legislatif, DPD, dan pihak yang berkeinginan menjadi presiden mulai
mempersiapkan diri. Tidak saja membentuk tim sukses, tetapi juga berkampanye.
Mereka memanfaatkan berbagai media
komunikasi, baik media konvensional maupun baru. Melalui kampanye, para calon
memperkenalkan diri kepada publik sebagai sosok yang mampu membawa perubahan
ke arah yang lebih baik.
”Berjuang untuk kesejahteraan rakyat” atau
”jujur”, ”peduli”, dan ”tegas” merupakan ungkapan yang sering muncul.
Kampanye memang selalu ditandai kehadiran pesan-pesan politik menyejukkan.
Pemilu 2014 juga ditandai hasrat atau ambisi pemilik media yang menjadi
politikus untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden.
Melalui medianya, mereka melakukan soft campaign dan hard campaign. Dalam mengekspresikan kepentingan politik, mereka
merancang pesan-pesan melalui dramatisasi tertentu guna menarik perhatian
publik. Mereka juga memanfaatkan peristiwa agama dan budaya guna meraih
simpati dari kelompok masyarakat tertentu.
Misal melalui ucapan selamat merayakan
harihari raya keagamaan, ucapan selamat tahun baru, ucapan selamat pada
peringatan Hari Buruh, Hari Guru, Hari Ibu, dan sebagainya.
Meskipun kampanye lunak dan kampanye keras
yang belum saatnya itu sudah mendapat peringatan dan teguran dari Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI), program- program kampanye tersebut masih saja
ditayangkan oleh media penyiaran (televisi) yang dimiliki oleh para politikus
tersebut.
Apa implikasi dari siaran kampanye dari
pemilik media yang menjadi politikus terhadap media itu sendiri dan
masyarakat pada umumnya? Pertanyaan ini perlu diberi penekanan mengingat
media merupakan ruang publik (public
sphere), ruang yang dapat memberi kontribusi untuk menyampaikan informasi
secara utuh, jujur, dan dapat dipercaya. Hal yang mendasar untuk memahami
struktur media adalah pertanyaan tentang kepemilikan (ownership) dan bagaimana kekuatan dari kepemilikan tersebut
diimplementasikan (McQuail, 2010).
Keyakinan bahwa kepemilikan pada akhirnya
akan menentukan sifat atau karakter dari media tidak saja dijelaskan oleh
Teori Marxisme Klasik, tetapi juga aksioma tentang Second Law of Journalism.
Pemanfaatan
Teori Marxisme Klasik (Littlejohn & Foss, 2008) menjelaskan bahwa media dipahami
sebagai alat dari kelas dominan dan sarana di mana para kapitalis
mempromosikan kepentingan mereka.
Media menyebarkan ideologi dari kelas
berkuasa dalam masyarakat, dan karenanya menindas kelompok-kelompok yang
terpinggirkan. Adapun aksioma Second
Law of Journalism menyatakan bahwa isi media selalu mencerminkan
kepentingan dari pihak-pihak yang memberikan dukungan finansial terhadap
keberadaan media.
Menjelang Pemilu 2014, ada media penyiaran
televisi yang dalam kegiatan jurnalistiknya menunjukkan keberpihakan kepada
politikus sekaligus pemilik media yang berkeinginan mencalonkan diri sebagai
presiden dan wakil presiden.
Bagaimana kita memahami praktik media
seperti itu dari sisi etika media? Ketika media menunjukkan keberpihakan dengan
”mendukung” hasrat politik pemilik media maka praktik yang dilakukan berisiko
merugikan publik. Media telah mengingkari nilai-nilai objektivitas,
keseimbangan, kecermatan, bahkan kejujuran.
Sikap partisan yang dilakukan media secara
etis bisa dinilai bahwa segala cara (means)
dihalalkan demi mencapai tujuan (ends).
Media yang seharusnya berfungsi sebagai ruang publik telah berubah jadi ruang
privat. Secara konseptual, ada salah satu keputusan etis dalam praktik media
yang dikenal dengan The Principle of
Self-Determinism (Dominick, 2009).
Prinsip ini menegaskan bahwa media sedang
dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mencapai tujuan mereka. Pihak-pihak
tersebut berusaha mendapatkan publisitas yang menguntungkan. Dalam situasi
seperti ini, media (wartawan) seharusnya ”menolak” ketika dimanfaatkan oleh
pihak tertentu, karena ada hak, nilai-nilai, dan keputusan pihak lain yang
juga perlu untuk dihormati.
Tentu bukan persoalan yang mudah bagi
wartawan untuk ”menolak” keinginan dari pihak-pihak tertentu, terlebih lagi
keinginan (politik) dari pemilik media. Dalam lingkup praktik media di
Indonesia, studi yang penulis lakukan menemukan bahwa posisi wartawan di
hadapan pemilik media masih cenderung lemah. Wartawan tidak cukup memiliki
kekuatan tawar yang memadai ketika berhadapan dengan kepentingan pemilik.
Wartawan tidak lebih ditempatkan sebagai
pekerja, belum diposisikan sebagai profesional dalam menjalankan kegiatan
jurnalistik. ”Ketidakberdayaan” wartawan ketika berhadapan dengan kepentingan
pemilik media membuktikan berlakunya aksioma Second Law of Journalism bahwa isi media selalu mencerminkan
kepentingan-kepentingan dari pihak-pihak yang memberikan dukungan finansial
terhadap keberadaan media.
Secara normatif, seharusnya pemilik media
bisa memisahkan kepentingan-kepentingan mereka dengan tidak mendesakkan
keinginan untuk mencampuri urusan isi media yang menjadi kewenangan wartawan.
Pasalnya, tugas wartawan adalah memberikan
kepada masyarakat apa yang mereka butuhkan, lebih dari sekadar apa yang mereka
inginkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar