Kamis, 23 Januari 2014

Hasrat Pemilik Media

Hasrat Pemilik Media

Turnomo Rahardjo   ;   Dosen S-1 dan S2 Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA,  23 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         

BEBERAPA bulan mendatang akan berlangsung pemilihan umum anggota DPR/DPRD, DPD, dan pemilihan presiden. Para kandidat anggota legislatif, DPD, dan pihak yang berkeinginan menjadi presiden mulai mempersiapkan diri. Tidak saja membentuk tim sukses, tetapi juga berkampanye.

Mereka memanfaatkan berbagai media komunikasi, baik media konvensional maupun baru. Melalui kampanye, para calon memperkenalkan diri kepada publik sebagai sosok yang mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik.

”Berjuang untuk kesejahteraan rakyat” atau ”jujur”, ”peduli”, dan ”tegas” merupakan ungkapan yang sering muncul. Kampanye memang selalu ditandai kehadiran pesan-pesan politik menyejukkan. Pemilu 2014 juga ditandai hasrat atau ambisi pemilik media yang menjadi politikus untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden.

Melalui medianya, mereka melakukan soft campaign dan hard campaign. Dalam mengekspresikan kepentingan politik, mereka merancang pesan-pesan melalui dramatisasi tertentu guna menarik perhatian publik. Mereka juga memanfaatkan peristiwa agama dan budaya guna meraih simpati dari kelompok masyarakat tertentu.
Misal melalui ucapan selamat merayakan harihari raya keagamaan, ucapan selamat tahun baru, ucapan selamat pada peringatan Hari Buruh, Hari Guru, Hari Ibu, dan sebagainya.

Meskipun kampanye lunak dan kampanye keras yang belum saatnya itu sudah mendapat peringatan dan teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), program- program kampanye tersebut masih saja ditayangkan oleh media penyiaran (televisi) yang dimiliki oleh para politikus tersebut.

Apa implikasi dari siaran kampanye dari pemilik media yang menjadi politikus terhadap media itu sendiri dan masyarakat pada umumnya? Pertanyaan ini perlu diberi penekanan mengingat media merupakan ruang publik (public sphere), ruang yang dapat memberi kontribusi untuk menyampaikan informasi secara utuh, jujur, dan dapat dipercaya. Hal yang mendasar untuk memahami struktur media adalah pertanyaan tentang kepemilikan (ownership) dan bagaimana kekuatan dari kepemilikan tersebut diimplementasikan (McQuail, 2010).

Keyakinan bahwa kepemilikan pada akhirnya akan menentukan sifat atau karakter dari media tidak saja dijelaskan oleh Teori Marxisme Klasik, tetapi juga aksioma tentang Second Law of Journalism.

Pemanfaatan

Teori Marxisme Klasik (Littlejohn & Foss, 2008) menjelaskan bahwa media dipahami sebagai alat dari kelas dominan dan sarana di mana para kapitalis mempromosikan kepentingan mereka.

Media menyebarkan ideologi dari kelas berkuasa dalam masyarakat, dan karenanya menindas kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Adapun aksioma Second Law of Journalism menyatakan bahwa isi media selalu mencerminkan kepentingan dari pihak-pihak yang memberikan dukungan finansial terhadap keberadaan media.

Menjelang Pemilu 2014, ada media penyiaran televisi yang dalam kegiatan jurnalistiknya menunjukkan keberpihakan kepada politikus sekaligus pemilik media yang berkeinginan mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden.

Bagaimana kita memahami praktik media seperti itu dari sisi etika media? Ketika media menunjukkan keberpihakan dengan ”mendukung” hasrat politik pemilik media maka praktik yang dilakukan berisiko merugikan publik. Media telah mengingkari nilai-nilai objektivitas, keseimbangan, kecermatan, bahkan kejujuran.

Sikap partisan yang dilakukan media secara etis bisa dinilai bahwa segala cara (means) dihalalkan demi mencapai tujuan (ends). Media yang seharusnya berfungsi sebagai ruang publik telah berubah jadi ruang privat. Secara konseptual, ada salah satu keputusan etis dalam praktik media yang dikenal dengan The Principle of Self-Determinism (Dominick, 2009).

Prinsip ini menegaskan bahwa media sedang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mencapai tujuan mereka. Pihak-pihak tersebut berusaha mendapatkan publisitas yang menguntungkan. Dalam situasi seperti ini, media (wartawan) seharusnya ”menolak” ketika dimanfaatkan oleh pihak tertentu, karena ada hak, nilai-nilai, dan keputusan pihak lain yang juga perlu untuk dihormati.

Tentu bukan persoalan yang mudah bagi wartawan untuk ”menolak” keinginan dari pihak-pihak tertentu, terlebih lagi keinginan (politik) dari pemilik media. Dalam lingkup praktik media di Indonesia, studi yang penulis lakukan menemukan bahwa posisi wartawan di hadapan pemilik media masih cenderung lemah. Wartawan tidak cukup memiliki kekuatan tawar yang memadai ketika berhadapan dengan kepentingan pemilik.

Wartawan tidak lebih ditempatkan sebagai pekerja, belum diposisikan sebagai profesional dalam menjalankan kegiatan jurnalistik. ”Ketidakberdayaan” wartawan ketika berhadapan dengan kepentingan pemilik media membuktikan berlakunya aksioma Second Law of Journalism bahwa isi media selalu mencerminkan kepentingan-kepentingan dari pihak-pihak yang memberikan dukungan finansial terhadap keberadaan media.

Secara normatif, seharusnya pemilik media bisa memisahkan kepentingan-kepentingan mereka dengan tidak mendesakkan keinginan untuk mencampuri urusan isi media yang menjadi kewenangan wartawan.

Pasalnya, tugas wartawan adalah memberikan kepada masyarakat apa yang mereka butuhkan, lebih dari sekadar apa yang mereka inginkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar