Jumat, 10 Januari 2014

Guru 2014

                                                               Guru 2014

Arbai  ;   Pendidik dan Alumnus MM UGM, Yogyakarta
SINAR HARAPAN,  02 Januari 2014
                                                                                                                        


Setiap pergantian tahun, hampir semua orang bertekad dan berkeinginan berubah ke arah yang lebih baik. Jadi, tidak mengherankan jika ada orang menuliskan statusnya di media sosial, yang intinya rata-rata mengatakan, pergantian tahun harus bermakna dan memberikan warna baru dalam hidupnya.

Namun, ada satu hal yang tidak disadari setiap orang. Perubahan itu tidak dapat dilakukan secara cepat. Kenyataanya, akhir-akhir ini ada fenomena menarik dalam keseharian masyarakat kita.
Semua orang ingin lebih cepat kaya, cepat berhasil, cepat jadi sarjana, dan lebih cepat-lebih cepat lainnya. Kecepatan seakan-akan menjadi keharusan. Patut disayangkan adanya keinginan supaya cepat ini dan cepat itu mengabaikan sisi kepatutan.
Kita dapat ambil contoh dalam hal pendidikan. Karena ingin cepat mendapatkan tunjangan sertifikasi, tidak sedikit guru yang memalsukan ijazah S-1 dan memalsukan sertifikat lainnya. Itu agar bisa dimasukkan sebagai calon yang berhak mengikuti PLPG guna mendapatkan sertifikat guru sertifikasi.
Contoh lainnya yang sangat menyedihkan adalah banyak orang ingin cepat kaya karena tergiur dengan berbagai macam iklan atau produk yang ditawarkan. Contohnya seperti dengan modal sedikit akan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak dan berlipat-lipat. Sayangnya, ujung-ujungnya ditipu.
Menjadi ironis ketika kecepatan menjadi tuntutan. Tidak bisa dimungkiri, akibat tuntutan kecepatan banyak orang terjebak perilaku kotor, seperti manipulasi dan korupsi.
Tuntutan yang ingin cepat ini dan cepat itu tidak dapat dipisahkan dari gaya hidup atau tren yang menghinggapi masyarakat. Cepat kaya, cepat jadi ini, cepat jadi itu, semua imbas konsumerisme masyarakat. Kecepatan jalin-menjalin dengan konsumerisme dan gaya hidup. Tuntutan kebutuhan yang berlebihan memaksa orang ingin cepat kaya, tanpa melihat wajar atau tidak kekayaan itu didapatkannya, bersih atau tidak harta diperolehnya.
Ini tidak lebih pada persoalaan moralitas. Banyak orang yang tergoda dan tergiur bertindak di luar tuntunan norma dan agama yang dianutnya. Mereka mengorbankan moral, mengabaikan agama, hanya karena kebutuhan akibat tekanan konsumerisme dan gaya hidupnya.
Guru pun selaku manusia yang tidak sempurna tentu tidak luput dari perilaku “ingin cepat”. Oleh sebab itu, setiap guru yang ada di penjuru Nusantara, baik guru swasta, guru negeri atau guru apa pun statusnya, harus selalu berprinsip dan memegang teguh kode etik profesi. Guru tidak boleh berprinsip “ingin cepat” yang mengarah ke perilaku negatif.
Pergantian tahun bagi guru harus diikuti perubahan ke arah yang lebih baik. Guru harus memberikan contoh teladan bagi anak didik serta masyarakat yang ada di sekitarnya.
Itu sebab berdasarkan asal-usul kata, guru itu bermakna dari gelap ke terang. Guru juga memang harus berperilaku bisa dipercaya dan diikuti. Itu karena posisi pentingnya secara intelektualitas dan sosial dalam masyarakat.
Patut pula diakui, secara sosial dan kultural, posisi guru kini berbeda dengan zaman dulu. Pada eranya, profesi guru dinilai sangat mulia dan tempat orang bertanya tentang berbagai hal.
Fakta lainnya, guru memang menjadi alamat bagi orang tua menyerahkan pendidikan anak hampir seutuhnya. Perlakuan guru yang “keras” pada siswanya, misalnya memukul menggunakan mistar, bisa dimaklumi para orang tua siswa pada waktu itu. Jauh berbeda saat ini, jika ada guru berperilaku “kasar” seperti itu, akan berurusan dengan penegak hukum.
Waktu terus bergulir dan roda zaman terus berputar. Guru dituntut lebih profesional. Kadang-kadang profesionalisme guru sering melupakan dirinya sebagai rule model bagi anak didiknya.
Sejak adanya sertifikasi guru, kesejahteraan mereka semakin meningkat. Namun, seiring meningkatnya kesejahteraan hidup, tidak sedikit pula guru yang kehilangan orientasi pendidikan. Pada saat dahulu, guru mengajar karena panggilan hati, namun kini orientasinya karena panggilan materi.
Tentu ini bukan hal yang salah. Asalkan saja para guru mampu menempatkan dirinya secara profesional, menjaga kode etik guru yang mulia. Artinya, guru disamping menguasai materi sebagai pengajar, ia harus menjaga marwahnya sebagai pendidik.
Tindak tanduk guru harus sesuai kode etik profesinya. Hal ini juga sejalan dengan tema peringatan hari guru pada November lalu, “Mewujudkan Guru yang Kreatif dan Inspiratif dengan Menegakkan Kode Etik untuk Penguatan Kurikulum 2013.”
Jadi, pergantian tahun bagi guru harus memiliki makna, bukan sekadar menganti kalender di dinding dengan yang baru. Hal ini terlalu sederhana. Guru harus memberikan resolusi yang tegas bagi dirinya, tugasn yang diembannya, dan mengabdikan diri sesuai kode etik profesinya.
Sebagai penutup, kita berharap pada 2014, guru yang menjaga profesi dan kode etik semakin banyak. Jadi, ke depan tidak ada lagi terdengar guru yang tersangkut masalah hukum, melanggar kode etik profesi, dan memalsukan ijazah karena ingin cepat ini atau ingin cepat itu. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar