Guru
2014
Arbai ;
Pendidik dan Alumnus MM UGM, Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 02 Januari 2014
Setiap pergantian tahun, hampir semua orang bertekad dan
berkeinginan berubah ke arah yang lebih baik. Jadi, tidak mengherankan jika
ada orang menuliskan statusnya di media sosial, yang intinya rata-rata
mengatakan, pergantian tahun harus bermakna dan memberikan warna baru dalam
hidupnya.
Namun, ada satu hal yang tidak
disadari setiap orang. Perubahan itu tidak dapat dilakukan secara cepat.
Kenyataanya, akhir-akhir ini ada fenomena menarik dalam keseharian masyarakat
kita.
Semua orang ingin lebih cepat
kaya, cepat berhasil, cepat jadi sarjana, dan lebih cepat-lebih cepat
lainnya. Kecepatan seakan-akan menjadi keharusan. Patut disayangkan adanya
keinginan supaya cepat ini dan cepat itu mengabaikan sisi kepatutan.
Kita dapat ambil contoh dalam hal
pendidikan. Karena ingin cepat mendapatkan tunjangan sertifikasi, tidak
sedikit guru yang memalsukan ijazah S-1 dan memalsukan sertifikat lainnya.
Itu agar bisa dimasukkan sebagai calon yang berhak mengikuti PLPG guna
mendapatkan sertifikat guru sertifikasi.
Contoh lainnya yang sangat
menyedihkan adalah banyak orang ingin cepat kaya karena tergiur dengan
berbagai macam iklan atau produk yang ditawarkan. Contohnya seperti dengan
modal sedikit akan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak dan
berlipat-lipat. Sayangnya, ujung-ujungnya ditipu.
Menjadi ironis ketika kecepatan
menjadi tuntutan. Tidak bisa dimungkiri, akibat tuntutan kecepatan banyak
orang terjebak perilaku kotor, seperti manipulasi dan korupsi.
Tuntutan yang ingin cepat ini dan
cepat itu tidak dapat dipisahkan dari gaya hidup atau tren yang menghinggapi
masyarakat. Cepat kaya, cepat jadi ini, cepat jadi itu, semua imbas
konsumerisme masyarakat. Kecepatan jalin-menjalin dengan konsumerisme dan
gaya hidup. Tuntutan kebutuhan yang berlebihan memaksa orang ingin cepat
kaya, tanpa melihat wajar atau tidak kekayaan itu didapatkannya, bersih atau
tidak harta diperolehnya.
Ini tidak lebih pada persoalaan
moralitas. Banyak orang yang tergoda dan tergiur bertindak di luar tuntunan
norma dan agama yang dianutnya. Mereka mengorbankan moral, mengabaikan agama,
hanya karena kebutuhan akibat tekanan konsumerisme dan gaya hidupnya.
Guru pun selaku manusia yang tidak
sempurna tentu tidak luput dari perilaku “ingin cepat”. Oleh sebab itu,
setiap guru yang ada di penjuru Nusantara, baik guru swasta, guru negeri atau
guru apa pun statusnya, harus selalu berprinsip dan memegang teguh kode etik
profesi. Guru tidak boleh berprinsip “ingin cepat” yang mengarah ke perilaku
negatif.
Pergantian tahun bagi guru harus
diikuti perubahan ke arah yang lebih baik. Guru harus memberikan contoh
teladan bagi anak didik serta masyarakat yang ada di sekitarnya.
Itu sebab berdasarkan asal-usul
kata, guru itu bermakna dari gelap ke terang. Guru juga memang harus
berperilaku bisa dipercaya dan diikuti. Itu karena posisi pentingnya secara
intelektualitas dan sosial dalam masyarakat.
Patut pula diakui, secara sosial
dan kultural, posisi guru kini berbeda dengan zaman dulu. Pada eranya,
profesi guru dinilai sangat mulia dan tempat orang bertanya tentang berbagai
hal.
Fakta lainnya, guru memang menjadi
alamat bagi orang tua menyerahkan pendidikan anak hampir seutuhnya. Perlakuan
guru yang “keras” pada siswanya, misalnya memukul menggunakan mistar, bisa
dimaklumi para orang tua siswa pada waktu itu. Jauh berbeda saat ini, jika
ada guru berperilaku “kasar” seperti itu, akan berurusan dengan penegak
hukum.
Waktu terus bergulir dan roda
zaman terus berputar. Guru dituntut lebih profesional. Kadang-kadang
profesionalisme guru sering melupakan dirinya sebagai rule model bagi anak
didiknya.
Sejak adanya sertifikasi guru,
kesejahteraan mereka semakin meningkat. Namun, seiring meningkatnya
kesejahteraan hidup, tidak sedikit pula guru yang kehilangan orientasi
pendidikan. Pada saat dahulu, guru mengajar karena panggilan hati, namun kini
orientasinya karena panggilan materi.
Tentu ini bukan hal yang salah.
Asalkan saja para guru mampu menempatkan dirinya secara profesional, menjaga
kode etik guru yang mulia. Artinya, guru disamping menguasai materi sebagai
pengajar, ia harus menjaga marwahnya sebagai pendidik.
Tindak tanduk guru harus sesuai
kode etik profesinya. Hal ini juga sejalan dengan tema peringatan hari guru
pada November lalu, “Mewujudkan Guru
yang Kreatif dan Inspiratif dengan Menegakkan Kode Etik untuk Penguatan
Kurikulum 2013.”
Jadi, pergantian tahun bagi guru
harus memiliki makna, bukan sekadar menganti kalender di dinding dengan yang
baru. Hal ini terlalu sederhana. Guru harus memberikan resolusi yang tegas
bagi dirinya, tugasn yang diembannya, dan mengabdikan diri sesuai kode etik
profesinya.
Sebagai penutup, kita berharap
pada 2014, guru yang menjaga profesi dan kode etik semakin banyak. Jadi, ke
depan tidak ada lagi terdengar guru yang tersangkut masalah hukum, melanggar
kode etik profesi, dan memalsukan ijazah karena ingin cepat ini atau ingin
cepat itu. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar