Tidak
Akan Berhenti Korupsi?
Marwan Mas ;
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas
45, Makassar
|
KORAN
SINDO, 09 Januari 2014
Memasuki tahun
2014, kita merasa gerah membaca dan menonton berita di media massa para
pejabat korup ditangkap dan digiring ke ruang tahanan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Boleh jadi juga ada yang merasa iba dan kasihan,
tetapi melihat fakta betapa besarnya uang negara yang dikorup untuk kepentingan
pribadi, rasa iba berubah menjadi geram dan sakit hati.
Mereka seenaknya menyalahgunakan wewenang yang dipercayakan rakyat, sehingga wajar jika kita sangsi kalau korupsi akan berkurang. Sudah lebih lima belas tahun pemerintahan reformasi melakukan perang terhadap korupsi, tetapi korupsi tak kunjung berhenti, bahkan sudah merambah ke daerah. Data Kementerian Dalam Negeri tahun lalu menunjukkan sudah lebih dari 160 kepala daerah, 18 di antaranya gubernur dan mantan gubernur tersangkut kasus korupsi. Maka itu, kita kecewa oleh rezim yang berkuasa yang masih setengah hati memerangi korupsi. Sepertinya KPK jalan sendiri mengungkap kasus-kasus korupsi yang terkait dengan pemangku kekuasaan, baik di pusat (kementerian dan DPR) maupun di daerah seperti Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Memasuki tahun politik, ada rasa pesimistis bagi publik kalau para elite politik dan kekuasaan tidak akan berhenti melakukan korupsi. Ketegasan KPK sepertinya belum akan membawa pesan berarti untuk takut melakukan korupsi lantaran perang terhadap korupsi tidak dilakukan secara sistematis dan masif. Enaknya Jadi Koruptor Kita perlu membalikkan pemahaman “enaknya jadi koruptor”. Para koruptor memiliki jaringan luas dan bisa menunda- nunda proses hukum. Jikapun divonis bersalah, mereka akan membeli fasilitas berkelas seperti kamar hotel berbintang di ruang penjara. Para koruptor tetap merasa enak menikmati hasil korupsinya di dalam penjara. Hukuman penjara juga bisa dipersingkat melalui fasilitas pengurangan masa tahanan (remisi) setiap tahun. Rasa enak terbaru yang diperoleh koruptor, terutama koruptor jebolan anggota DPR adalah menerima uang pensiun. Meskipun terbukti melakukan korupsi, sebelum dijatuhi sanksi lebih dahulu mengundurkan diri sebagai anggota DPR agar mendapatkan hak pensiun. Benar yang dikatakan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas bahwa korupsi merupakan seni tingkat tinggi. Akibatnya, berbagai modus dilakukan agar sulit dilacak oleh aparat hukum dengan cara-cara biasa. Para koruptor dan jaringannya memanfaatkan kelemahan hukum untuk lolos dan menyembunyikan hasil korupsinya di luar negeri. Harus ada upaya strategis untuk membuat koruptor merasa tidak enak, antara lain menjatuhkan hukuman maksimal sesuai ancaman pidana pasal UU Korupsi yang dilanggar. Minimal seperti vonis kasasi Mahkamah Agung yang menghukum Angelina Sondakh hampir tiga kali lipat dari putusan sebelumnya. Begitu pula putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi, Jakarta yang memperberat hukuman terdakwa Joko Susilo dalam kasus simulator surat izin mengemudi di Korlantas Polri. Penyidik juga harus mengefektifkan penerapan UU Pencucian Uang, dengan sasaran mengejar aset hasil korupsi yang disembunyikan atau disamarkan dengan cara mengalihkannya kepada pihak lain. Hukuman denda dan pembayaran uang pengganti sesuai jumlah yang dikorupsi, juga harus dievaluasi dengan tidak menggunakan pidana subsider (hukuman pengganti) berupa penjara yang biasanya tidak lebih dari satu tahun. Dalam praktik, jaksa eksekutor kesulitan menyita aset terpidana karena sudah disembunyikan di luar negeri. Sekiranya aset terpidana betul-betul sudah habis dan tidak mencukupi pembayaran uang pengganti dan denda, hukuman diganti dengan “kerja sosial” selama jangka waktu tertentu di institusi di mana terpidana melakukan korupsi. Honor dari kerja sosial dikompensasi untuk membayar tunggakan uang pengganti dan denda. Selain bisa menimbulkan rasa malu, juga dapat membuat calon koruptor merasa takut. Gerakan Antikorupsi Jumlah aktivis antikorupsi saat ini semakin defisit, tidak sebanding dengan lahirnya “talenta baru koruptor”. Gerakannya juga sudah biasa dan kurang menggigit, selain hanya melaporkan kasus, mengikuti diskusi publik, atau pelatihan dan lokakarya, juga tidak bersinergi secara nasional. Gerakan yang dilakukan lebih terkesan untuk menonjolkan lembaganya sendiri. Kalaupun ada aktivis di daerah, itu pun dapat dihitung dengan jari dan aktivitasnya tidak menggaung ke daerah lain. Fenomena ini merupakan paradoks di tengah regenerasi dan reproduksi koruptor berusia muda. Lantaran gerakan antikorupsi terkesan jalan sendiri, publik bersikap hatihati memberi dukungan secara maksimal. Padahal, untuk menekan tumbuhnya talenta baru koruptor, perlu ada gerakan radikal dan gagasan terbaru dengan cara membangkitkan motivasi masyarakat untuk ikut secara aktif melakukan perang terhadap korupsi. Para aktivis, mahasiswa, dan akademisi antikorupsi, ataupun pers antikorupsi perlu duduk bersama untuk menggagas gerakan strategis. Misalnya bagaimana mendorong penyidik, penuntut, dan hakim untuk berani melakukan “eksperimentasi hukum” dengan menerapkan hukuman kerja sosial. Gagasan ICW yang meminta agar tersangka korupsi yang digiring ke ruang pemeriksaan supaya “diborgol”, juga patut diapresiasi. Semuanya punya satu tujuan agar tercipta efek jera dan menimbulkan rasa tidak enak menjadi koruptor. Saling menyalahkan, terutama yang tidak prinsip sebaiknya dievaluasi, kemudian mengubahnya dengan pendekatan kerja sama. Misalnya sharing informasi soal keberadaan aset koruptor yang diperoleh dari korupsi yang selama ini sulit disita saat akan dieksekusi kejaksaan. Para aktivisantikorupsiperlu lebih giat melakukan langkah progresif, sebab suara-suara yang mencoba mendeterminasi mengguritanya korupsi, tidak boleh berujung hanya mimpi. Tidak boleh takut oleh risiko keamanan dan keselamatan saat melakukan advokasi antikorupsi. Kita harus tetap bersemangat. Kalau tidak, para koruptor akan terus merasa enak yang boleh jadi akan memicu tumbuhnya “talenta baru koruptor” ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar