Minggu, 05 Januari 2014

Dehumanisasi Politik

                                                Dehumanisasi Politik

Iwan Fauzi  ;   Wakil Ketua Keluarga Besar Marhaen (KBM) Jawa Barat
SINAR HARAPAN,  31 Desember 2013
                                                                                                                                                                          


Tampaknya dunia politik di Indonesia tergolong barbar. Dikatakan barbar karena suka kurang beradab, kasar, dan kejam dalam menjatuhkan lawan politik.

Para pelakunya sering menganut pola primitif—menyampingkan etika dan moral—dengan melebihkan porsi teknis strategi dan intrik politik.

Rasanya cukup jenuh menyaksikan debat politik yang bermetamorfosis menjadi kalimat memaki. Kritik tidak lagi berubah menjadi autokritik.

Ketersinggungan frasa kata, bergeser ke sarkasme.. Diskusi politik menjelma menjadi kemarahan politik. Akibatnya, gerak tubuh politikus dicerminkan rusaknya perilaku, bukan dari kecerdasannya berbicara.

Saling menyakiti dalam komunikasi politik sangat lazim terjadi di negeri ini. Kekerasan politik ditunjukkan secara vertikal dengan menghujat penguasa atau horizontal kepada lawan politik. Seolah politikus mengalami ketidakadilan dalam dirinya. Dalam istilah Dom Helder Camara, (Spiral of Violence, 1971) ketidakadilan (personal/komunal) menyebabkan kekerasan (institusi).

Di layar televisi, politikus kerap mengumbar amarah. Sayangnya, perilaku kurang menyedapkan itu disaksikan jutaan pasang mata rakyat. Jadi, kekerasan politik (political violence) berkembang menjadi kultur dalam kehidupan sehari-hari.

Contoh nyata, saat ini calon anggota legislatif (caleg) sibuk bersosialisasi di daerah pemilihan (dapil) masing-masing. Persaingan tak sehat sering terjadi. Banyak ditemukan antartim sukses saling menjatuhkan. Untuk memberangus lawannya, mereka melontarkan isu negatif, termasuk SARA, juga saling merobek atribut antarcaleg.

Kekerasan ini tidak hanya dijumpai di sekitar kader politik. Belakangan ini bahkan timbul kekhawatiran antarcalon presiden (capres) kurang menjaga estetika atau kesantunan politik. Akhir-akhir ini, beberapa capres saling meledek dan perang opini. Mereka saling menjerumuskan dengan menjatuhkan karakter individu capres lain (character assassination).

Beberapa hasil survei capres menyebutkan, tokoh A lebih baik elektabilitasnya dari B, dan C lebih popular dari D, begitu seterusnya. Tumbuhnya lembaga survei politik bagaikan jamur di musim hujan. Konon, ada lembaga survei yang “dimainkan” untuk tujuan politik tertentu.

Jadi, penyangkalan hasil survei yang satu, dibantah lembaga survei lain. Herannya, kerangka ilmiah penelitian survei berubah dengan “perang ludah dan lidah”, lewat pernyataan-pernyataan yang membingungkan masyarakat. Dengan kata lain, kekerasan politik memancing lawan saling membalas (violence attracts violence).

Sebenarnya, ibu kandung politikus adalah partai politik (parpol). Politikus dilahirkan, tumbuh berkembang, dan dibesarkan parpol. Jika ibu kandungnya mengajarkan strategi jelek, jelek pula politikus yang dihasilkannya. Semua ini tergantung lingkungan politik dari tempat politikus tersebut berkecimpung.

Sayangnya, sistem kaderisasi di sejumlah parpol relatif kurang baik. Bukan rahasia umum, banyak parpol merekrut kadernya secara pragmatis. Banyak kader direkrut karena kemampuan finansial juga popularitas. Lebih banyak lagi kader yang dipilih bukan karena faktor ideologi.

Celakanya, semangat era Reformasi yang menolak KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) seolah terlupakan. Banyak contoh perilaku KKN tumbuh subur di internal parpol. Seorang kader parpol bisa terdongkrak karier politiknya karena kedekatan, bahkan terkait hubungan kekeluargaan dengan ketua parpol.

Jangan heran jika kita kerap dikagetkan munculnya tokoh politik karbida yang rekam jejaknya diragukan. Mereka mudah meraih jabatan politik, tetapi lebih menonjolkan semangat kelompok, fraksi, patronklien, serta maruk kekuasaan atas segala cara.
Barangkali lewat cara instan pula demokrasi Indonesia bisa berkembang. Makna kedaulatan dalam demokrasi dikhianati rendahnya kesantunan dari politikus karbida. Dengan pandangan sinis, parpol berubah menjadi legitimasi gerombolan besar yang disahkan negera.

Terjadinya dehumanisasi, nihilisme, serta anarkisme dalam kehidupan politik semestinya diredam dengan peningkatan edukasi politik rakyat. Apalagi, menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Oleh karena itu, sudah saatnya para pemimpin atau elite parpol memberi keteladanan kepada rakyat dengan menunjukkan proses demokrasi sebagai estetika politik, tanpa saling mencerca satu sama lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar