Maulid
Kepemimpinan Rakyat
Hasibullah Satrawi ; Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir;
Direktur Aliansi Indonesia Damai (Aida)
|
MEDIA
INDONESIA, 15 Januari 2014
ADA hubungan kuat antara
pemimpin dan yang dipimpin (rakyat). Tidak ada pemimpin kuat dan hebat tanpa
adanya dukungan dari yang dipimpin. Sebaliknya, tidak ada keteraturan dalam
kemaslahatan tanpa adanya pemimpin yang memimpin dengan visi kerakyatan.
Pemimpin hebat nyaris
tanpa guna bila tidak didukung masyarakat yang cerdas, yaitu masyarakat yang
memahami siapa yang seharusnya diberikan amanah oleh mereka untuk menjadi
pemimpinnya. Riwayat para nabi (termasuk nabi yang tidak sekaligus menjadi
rasul) banyak mengandung sisi kehebatan pemimpin yang tidak mendapatkan
dukungan dari masyarakatnya hingga mereka ditimpa pelbagai macam musibah dan
kesengsaraan yang dikenal dengan istilah azab.
Sejarah Nabi Muhammad
SAW sejatinya menjadi contoh dari peran dan fungsi yang sama-sama baik oleh
pemimpin dan yang dipimpin. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan istilah
kepemimpinan rakyat untuk menggambarkan hubungan peran dan fungsi yang
sama-sama ideal antara pemimpin dan yang dipimpin.
Pemimpin arif, kesohor
Kitab-kitab sejarah
kerap menggambarkan Nabi Muhammad SAW sebagai sosok yang jujur, amanah, dan
cerdas. Beliau bahkan sudah kesohor dengan sifat-sifat dasar pemimpin seperti
itu sebelum beliau diangkat menjadi seorang nabi. Riwayat beliau menjadi
pemimpin di Madinah sejatinya menjadi inspirasi bagi bangsa ini.
Tidak
semata-mata karena kehidupan masyarakat Madinah dikenal dengan kehidupan masyarakatnya
yang majemuk seperti halnya bangsa ini, lebih daripada itu, karena Nabi
memimpin komunitas itu berkat sifat-sifat kepemimpinan yang telah kesohor
dalam dirinya. Hingga beliau `dilamar' perwakilan masyarakat Madinah (dari
suku Auz dan Khazraj) untuk menjadi pemimpin mereka.
Dengan kata lain, Nabi
telah dikenal jujur, tanpa harus mengklaim diri sebagai orang yang jujur. Pun
Nabi telah dikenal amanah, tanpa harus membayar media untuk mencitrakan
demikian. Begitu seterusnya. Nabi Muhammad SAW juga dikenal sebagai orang
yang arif dan bijaksana, pun juga jauh hari sebelum beliau diangkat menjadi
manusia pilihan. Peristiwa pengembalian Hajar Aswad (batu hitam) pada
tempatnya kerap dijadikan sebagai salah satu contoh dari kearifan dan
kebijaksanaan Nabi dalam memimpin.
Singkat cerita, para
tokoh dan elite masyarakat Mekah pernah geger karena berebut untuk menjadi
orang nomor satu dan berhak mengembalikan Hajar Aswad yang terjatuh ke
tempatnya semula. Hingga akhirnya mereka menyepakati sebuah aturan terkait yang
ternyata orang itu tak lain ialah Nabi Muhammad SAW. Alih-alih beliau justru
mempersilakan para elite dan tokoh yang ada untuk mengangkat batu tersebut
secara bersama-sama kemudian Nabi mengembalikan ke tempatnya.
Itu teladan kearifan
yang harus ditiru para elite dan tokoh bangsa ini yang sedang geger untuk
menjadi orang nomor satu di Republik ini. Kearifan seperti itu melampaui
ketentuan perundang-perundangan; apakah ketentuan yang ada membolehkan atau
tidak. Apalagi hanya dukung-mendukung dan nafsu kekuasaan.
Lompatan kepemimpinan
Teladan seperti itulah
yang sekarang nyaris sirna di kalangan para elite dan calon pemimpin di
Republik ini. Panggung kekuasaan penuh sesak dengan orang-orang yang haus
akan kekuasaan di level yang lebih tinggi. Tak peduli lagi apakah
kepemimpinan yang dijalankannya saat ini sudah mampu membalas amanah yang
diberikan rakyat kepada mereka. Seakan hal yang terpenting hanyalah ketentuan
perundang-perundangan; yang penting tidak melanggar ketentuan yang ada.
Dalam salah satu hadisnya,
Nabi Muhammad SAW menegaskan seM tiap individu sesungguhnya ialah t pemimpin.
Semuanya kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan yang
dijalankannya. Hadis itu hendak menegaskan setiap individu hakikatnya ialah
pemimpin walaupun tidak menjadi presiden, gubernur, bupati, ataupun
tingkat-tingkat kepemimpinan lainnya. Setiap kepemimpinan akan dimintai
pertanggung jawaban. Oleh karenanya, sejatinya pemimpin berkonsentrasi untuk
menyelesaikan tanggung jawab kepemimpinan yang dimilikinya untuk benar-benar
memenuhi amanah rakyat yang telah diberikan kepadanya.
Sangat disayangkan,
hal yang jamak terjadi di Republik ini justru sebaliknya. Hampir semua mereka
yang didera nafsu kuasa berambisi untuk menjadi pemimpin pada level di
atasnya, tidak peduli dengan nasib kepemimpinan yang dijalankannya bila nanti
ditinggalkan. Akibatnya ialah banyak pihak yang mengalami `lompatan negatif';
belum selesai fase tertentu, tapi sudah berambisi masuk di fase yang lebih
tinggi.
Maulid
Peringatan maulid Nabi
yang saat ini bertepatan dengan tahun pelaksanaan pemilu sejatinya dijadikan
sebagai momentum bagi lahirnya (maulid) kepemimpinan rakyat, yaitu
kepemimpinan yang melandaskan diri dan bergerak untuk kemaslahatan rakyat. Kepemimpinan
rakyat hanya bisa tercipta manakala masyarakat benar-benar menggunakan power kepemimpinannya dalam memilih
calon pemimpin yang ada. Tidak sekadar memilih, apalagi memilih dengan
pamrih.
Inilah yang menjadi
tantangan sangat berat bagi bangsa ini sekarang. Para pemimpin kerap menjalankan
pemerintahan dengan semangat pamrih, sedangkan masyarakat kerap menggunakan
hak suara yang dimilikinya atas dasar pamrih. Sudah menjadi rahasia umum,
saat ini pemilihan di tingkat desa sekalipun (pemilu kades) membutuhkan modal
sampai ratusan juta, termasuk di daerah-daerah pelosok, bahkan mungkin ada
yang sampai miliaran.
Hal seperti itu
terkonfirmasikan oleh sikap sebagian masyarakat yang pernah penulis temui.
Bagi mereka, uang politik seperti itu tidak ubahnya hujan yang datang pada
musimnya; “Bila tidak nandon pada saat
musim hujan datang seperti sekarang, kita terancam dalam dahaga selamanya.”
Demikian kurang lebih yang disampaikan sebagian masyarakat kepada penulis.
Tentu masyarakat tidak
dapat disalahkan sepenuhnya. Mereka terpaksa ‘menceburkan diri’ seperti itu
karena di luar musim kampanye keadaannya benarbenar kering dari perhatian
para pemimpin yang ada. Dengan kata lain, para pemimpinlah sesungguhnya yang
merusak masyarakat dengan kepemimpinan mereka yang pamrih.
Itulah yang penulis sebut
bahwa pemimpin dan yang dipimpin sama-sama mempunyai peran dan fungsi yang
saling berhubungan. Bila salah satu pihak menggunakan peran dan fungsi secara
negatif, pada waktunya pihak lain pun akan melakukan peran dan fungsi yang
sama. Pun demikian sebaliknya hingga tercipta lingkaran setan pamrih. Oleh
karenanya, dibutuhkan keberanian dari semua pihak untuk memutus lingkaran
setan pamrih itu secara seren tak. Para calon pemimpin tidak mengandalkan
pamrih dalam proses pemilihan, apa pun bentuknya. Pun demikian, masyarakat
tidak menggunakan hak pilihnya atas dasar pamrih-pamrih yang ada. Itulah
kepemimpinan rakyat yang telah diteladankan Nabi Muhammad SAW. Apalah gunanya
merayakan maulid Nabi bila tidak disertai kehendak untuk meneladani hal-hal
agung dari beliau, khususnya dalam memilih pemimpin dan memimpin?
Atas dasar semangat
maulid Nabi, mari kita jadikan Pemi lu 2014 sebagai momentum bagi lahirnya
kepemimpinan rakyat. Sebuah kepemimpinan yang terpilih atas dasar kehendak
dan kecerdasan masyarakat. Semoga.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar