Antisipasi Uji Materi UU Pemilu
Masdarsada ; Alumnus Pasca Sarjana
Kajian Strategik Intelijen (KSI),
Universitas Indonesia
|
DETIKNEWS,
20 Januari 2014
Awal Desember 2013, Partai Bulan Bintang (PBB)
mendeklarasikan Yusril Ihza Mehendra, sebagai calon presiden 2014. PBB
menginstruksikan seluruh jajaran partai untuk mendukung dan menjaga Ketua
Majelis Syuro PBB itu dari segala kemungkinan yang bisa merusak citranya.
Yusril sendiri telah menyatakan kesediaannya, dan langsung menyusun sejumlah
langkah guna menyongsong Pemilu 2014.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Pemilu Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden, Parpol atau gabungan Parpol baru dapat mencalonkan Capres/Cawapres jika memenuhi syarat, menguasai 20% kursi di parlemen, atau memiliki suara nasional 25%. Berdasarkan pada ketentuan tersebut di atas, PBB tidak mungkin dapat mengajukan Capres sendiri pada Pemilu 2014. Pada Pileg 2009, PBB hanya mampu meraih perolehan suara kurang dari 2% sehingga tidak bisa menempatkan wakilnya di DPR RI. Untuk memuluskan niatnya, Yusril Ihza Mahendara kemudian melakukan ujui materiil terhadap UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK), dengan harapan MK menerima gugatannya sehingga dia bisa menjadi Capres dari PBB. Pada 13 Desember 2013, Yusril Ihza Mahendra mengajukan Pengujian Undang-Undang (PUU) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (PIlpres) terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan Yusril ini sempat menimbulkan polemik. Pasalnya, gugatan serupa juga pernah diajukan pakar komunikasi politik, Effendi Gazalli bersama Koalisi Masyarakat Sipil pada Januari 2012 lalu. Namun, setelah beberapa kali disidangkan, gugatan itu belum juga diputus hingga saat ini. Padahal, Ketua MK (saat itu) Mahfud MD mengatakan, MK telah memutuskan hasil gugatan UU Pilpres itu dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Namun sepeninggalnya, sidang putusan tak kunjung digelar. Effendi pun akhirnya memutuskan untuk mencabut gugatan tersebut. Namun menurut Yusril, gugatannya kali berbeda dengan gugatan yang sudah pernah diajukan sebelumnya. Sehingga tidak terjadi pengulangan atau nebis in idem. Yang saya mohon untuk diuji adalah norma pasal 3 ayat 4, pasal 9, pasal 14 ayat 2 dan pasal 112 UU Nomor 42 tahun 2008 terhadap pasal 4 ayat 1, pasal 6a ayat 2, pasal 7c, pasal 22e ayat 1 2 dan 3 UUD Negara RI Tahun 1945. Dia ingin menguji pasal per pasal darinya. Undang-Undang pemilihan presiden dan wakil presiden itu yang dianut dengan sistem UUD 1945. Menurutnya, pemilihan presiden yang digelar setelah pemilihan legislatif tidak tepat. Dalam sistem presidensial, seharusnya pemilu presiden lebih dulu, kecuali pada sistem parlementer. Pihaknya tengah berjuang untuk menyatukan kedua pemilu tersebut. Menurutnya, berdasarkan Pasal 6 UUD 1945, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan Parpol sebelum Pemilu. Menurut UU Nomor 42/2008, pencalonan presiden dilakukan setelah pengumuman hasil pemilihan legislatif. Itu pun masih ditambah syarat kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, yakni 20% atau menguasai suara nasional 25%. Konsep LIPI
Jauh hari
sebelumnya, berdasarkan informasi yang beredar, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) sudah pernah melakukan studi terkait pelaksanaan Pemilu
serentak. Namun hasil studi LIPI tersebut menurut LIPI menganjurkan agar
hasil penelitiannya digunakan pada Pemilu 2019, dan bukan pada Pemilu 2014
saat ini karena dianggap berpotensi mengganggu jalannya Pemilu 2014.
Saat ini publik masih menunggu sidang gugatan tersebut di MK, jika MK akhirnya mengabulkan gugatan Yusril Ihza Mahendra tentang permohonan Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) secara serentak, mau tidak mau putusan yang bersifat final dan mengikat itu harus dilaksanakan. Tapi jika putusan MK justru menimbulkan kekacauan, maka sebaiknya tidak usah dijalankan karena belum tentu bermanfaat untuk bangsa dan negara. Jika gugatan tersebut dikabulkan juga dikhawatirkan dapat menimbulkan kekosongan kekuasaan dalam pemerintahan. Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dilakukan secara serempak, bisa membuat molornya pelantikan anggota DPRD, DPR RI dan DPD sehingga kemungkinan masa jabatan anggota dewan yang lama sudah berakhir, tetapi Pemilu Legislatif belum dilaksanakan. Yang paling dikhawatirkan adalah jika masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden sudah berakhir, sementara Pilpres belum terlaksana. Sebaliknya Yusril meyakini bahwa jadwal Pemilu 2014 tak akan terganggu, jika MK mengabulkan gugatannya tersebut. KPU kemudian hanya mengundurkan pelaksanaan Pemilu DPRD, DPR RI dan DPD menjadi sama dengan Pilpres dan hal itupun tidak mengganggu persoalan logistik Pemilu 2014. Jika sekarang rencananya Pemilu DPRD, DPR, RI dan DPD dilaksanakan bulan April dan Pemilu Presiden dilaksanakan bulan Juli, maka Pemilu DPD, DPR RI dan DPD itu yang diundurkan ke bulan Juli serentak. Harapan agar MK mengabulkan gugatan tersebut juga datang dari sejumah pimpinan partai-partai gurem yang juga berambisi maju sebagai capres/cawapres. Setelah kalah dalam pembahasan untuk meminimalkan persyaratan pengajuan capres/cawapres di DPR, partai-partai kecil secara diam-diam mendukung pengajuan gugatan UU Pilpres di MK. Mereka juga sangat berharap agar MK mengabulkan gugatan Yusril tersebut sehingga juga bisa mengajukan calon presiden sendiri-sendiri atau bergabung dengan partai politik lainnya. Antisipasi Keputusan MK Guna mengantisipasi bila keputusan MK mengabulkan gugatan tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pemilu, perlu mempersiapkan diri sejak dini agar tahapan Pilpres tidak sampai tertunda yang dikhawatirkan dapat menimbulkan kekosongan kekuasaan. Untuk dapat melaksanakan Pemilu serentak, KPU memerlukan sebuah regulasi yang harus dikonsultasikan kepada pemerintah dan DPR, serta sosialisasi keputusan tersebut kepada partai politik maupun kepada masyarakat.
Hal ini diyakini memerlukan tenggang waktu cukup lama dan
pemikiran yang strategis sehingga pendapat Yusril bahwa KPU cukup menunda
pelaksanaan Pemilu Legislatif dan menggabungkannya dengan Pemilu Presiden,
tidak semudah itu. Kemungkinan pelaksanaan Pemilu Presiden tertunda bisa saja
terjadi.
Sejauh ini tahapan Pemilu 2014 sudah berjalan sesuai dengan jadwal yang disusun sejak awal, maka apabila diubah dikhawatirkan terjadi ketidakstabilan, sangat mungkin akan terjadi gesekan dan instabilitas di masyarakat. Selain itu dari sisi ketersediaan waktu, Pemilu Legislatif 2014 ini sudah tidak mungkin lagi dilaksanakan secara serentak dengan Pilpres. Oleh karena jika MK mengabulkan permohonan Yusril, hendaknya dengan satu syarat bahwa Pemilu serentak baru bisa dilakukan pada tahun 2019. Jika jangan terlalu banyak melakukan “political gambling” dalam menghadapi Pemilu 2014, karena berhasilnya Pemilu 2014 akan menjadi “pintu pembuka” menyambuk sukses Indonesia pada 2045 mendatang. Kerawanan Lain Selain masalah tersebut di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyongsong Pemilu 2014. Masalah DPT masih dinilai tidak akurat dan senantiasa muncul disetiap Pemilu dan Pemilukada. Masalah ini sangat terkait dengan manajemen administrasi kependudukan secara nasional yang dilakukan kementerian/lembaga terkait. Klaim KPU yang menyatakan masih ada 3,3 juta data pemilih tanpa NIK akan menyisahkan potensi kecurangan dalam Pemilu. Terlebih hingga saat ini sebagaian data pemilih bermasalah tersebut sudah ditemukan di DP4 oleh Kemendagri, namun belum diserahkan ke KPU. Masalah logistik Pemilu yang meliputi tinta, formulir, bilik suara, alat penanda, dan berbagai formulir lainnya. Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari belasan ribu pulau sangat berpotensi menjadi kendala utama dalam hal distribusi logistik. Tantangan lain adalah mahalnya biaya transportasi serta kondisi iklim/cuaca yang buruk menyebabkan distribusi longistik Pemilu terganggu. Rusaknya logistik Pemilu atau terlambatnya logistik tiba di TPS juga menjadi ancaman yang ada didepan mata. Di samping itu, dengan banyaknya jumlah Parpol peserta Pemilu 2014, masa kampanye yang panjang, serta kemungkinan banyaknya jumlah calon presiden dan wakil presiden yang akan maju terkait gugatan Yusril juga menjadi kendala tersendiri. Terakhir, agar Pemilu berjalan secara bersih maka birokrasi harus netral secara politik. Netralitas tersebut harus dijalankan oleh semua jenjang pemerintah dari pusat sampai ke daerah, dengan mengeluarkan surat edaran yang melarang birokrasi bersifat partisan. Keberpihakan birokrasi kepada salah satu kekuatan politik tetentu akan menimbulkan kerawanan tersendiri karena birokrasi rentan dijadikan alat kepentingan politik. Tentu kerawanan dalam Pemilu 2014 dapat dikategorikan dalam 3 (tiga) kategori yaitu low intensity vulnerability, middle intensity vulnerability dan high intensity vulnerability. Menjelang Pemilu legislatif 9 April 2014, low intensity vulnerability dan middle intensity vulnerability perlu segera diatasi di tingkat praksis, sedangkan gugatan judicial review Yusril Ihza Mahendra yang termasuk high intensity vulnerability sebaiknya ditunda MK dan disertai kebijaksanaan Yusril dalam menyikapinya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar