Menyemai
Toleransi
Edi Sugianto ; Penggiat Pendidikan Multikultural, UMJ Jakarta
|
KOMPAS,
21 Januari 2014
SEKARANG
orang memandang biasa perayaan agama yang dikawal ketat aparat keamanan.
Demikian pula halnya dengan perayaan Natal yang baru berlalu, agar umat bisa
beribadat dalam suasana aman dan nyaman. Maklum saja negeri ini sudah seperti
”rimba”.
Penjagaan ketat tersebut sangatlah
kontradiktif dengan ajaran agama yang serba damai dan menghargai sesama.
Kenyataannya, agama yang dianut
kelompok tertentu masih dianggap musuh oleh pemeluk agama yang lain. Mimpi
indah tentang bangsa yang penuh kedamaian di negeri kita, masih fatamorgana.
Tahun 2012 tercatat 264
pelanggaran kebebasan beragama dan 371 bentuk tindakan penghambat kebebasan
beragama yang menyebar di 28 provinsi.
Lima provinsi dengan tingkat
pelanggaran tertinggi berturut-turut: Jawa Barat sebanyak 76 peristiwa, Jawa
Timur (45), Aceh (36), Jawa Tengah (30), dan Sulawesi Selatan (17). Ini belum
termasuk sweepingdi sejumlah tempat ibadah.
Pada periode Januari-Juni 2013
Setara Institute mencatat, 122 peristiwa pelanggaran kebebasan
beragama/berkeyakinan dalam 160 bentuk tindakan menyebar di 16 provinsi.
Separuhnya terjadi di Jawa Barat sebanyak 61 peristiwa, diikuti Jawa Timur
(18) dan DKI Jakarta (10).
Dari 160 bentuk tindakan
pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan terdapat 70 tindakan negara yang
melibatkan para penyelenggara negara sebagai aktor.
Dari 70 tindakan negara, 58
tindakan merupakan tindakan aktif (by
commission) termasuk 11 tindakan penyegelan tempat ibadah dan delapan
tindakan diskriminasi. Sementara itu 12 tindakan merupakan tindakan
pembiaran/by omission (www.setara-institute.org).
Hemat saya, konflik antarumat
beragama di negeri ini hanya mungkin bisa diredam apabila para penganut agama
sudah benar-benar memahami inti ajaran agama masing-masing.
Muncul pertanyaan, kapan para
penganut agama memahami hakikat agama? Bagaimana respons pendidikan (agama)
tentang itu?
Pendidikan multikultural
Pendidikan sebagai jembatan
perubahan sosial (social change)
diyakini mampu memoderasi konflik horizontal di masyarakat, termasuk konflik
berlabel agama. Banyak usulan agar gagasan ”multikulturalisme” diintegrasikan
dalam kurikulum pendidikan (formal).
Saat ini, multikulturalisme mulai
ditiupkan dalam ”pendidikan agama” karena model pendidikan agama yang lama
dianggap sudah usang, tidak relevan, dan gagal menciptakan harmoni kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Multikultural diakui sebagai
realitas hidup manusia dengan keragaman budaya, etnis, kebangsaan, agama,
bahasa, adat/tradisi, jender, dan sebagainya, yang secara sengaja diciptakan
Tuhan.
Pluralitas merupakan ibu kandung
manusia, mengingkarinya berarti ”kafir” dengan takdir Tuhan. Karena sikap
sombong, merasa hebat dan paling benar sendiri adalah musuh kaum beriman,
juga musuh Tuhan yang nyata.
Multikulturalisme menjadi solusi
hidup untuk menumbuhkan sikap saling mengakui, menghargai dan menghormati
satu sama lain. Tanpa semua itu, persaudaraan dan perdamaian hanya sebuah
mimpi.
Pendidikan sebagai wadah
transformasi diharapkan mampu menebarkan nilai-nilai multikulturalisme;
toleransi, humanisme, persaudaraan, perdamaian, demokrasi, dan keadilan.
Persaudaraan antarumat beragama
hanya bisa dibangun dengan nilai-nilai universal agama, tanpa harus
menanggalkan kekhasan dari masing-masing agama (partikular). ”Bersatu tidak
berarti harus sama”.
Dua model
Lalu, model pendidikan (agama)
seperti apa agar tradisi eksklusivisme dan intoleransi bisa dimusnahkan
secara radikal, serta keluar dari tradisi in the wall pengajaran
agama.
Hemat saya, ada dua model
pendidikan agama yang tepat untuk memberantas eksklusivisme.
Pertama, pendidikan agama at
the wall. Dalam pembelajaran ini, guru tidak hanya mengajarkan
peserta didik tentang agamanya sendiri, tetapi juga tentang agama lain.
Guru pun mengajak murid-murid
berdiskusi dengan penganut agama lain agar belajar mengapresiasi orang lain
yang berbeda agama melalui dialog sehat. Dialog harus dibangun dengan
semangat demokratis dan tidak ada satu pihak pun yang dirugikan.
Kedua, pendidikan
agama beyond the wall. Dalam model ini, guru tidak sekadar mengajak anak
didik berdiskusi dan berdialog dengan orang yang berbeda agama.
Akan tetapi sudah mengikutsertakan
anak didik dari beragam agama untuk mengampanyekan perdamaian, keadilan,
harmoni, dan melibatkan mereka dalam kerja-kerja kemanusiaan.
Musuh agama bukan pemeluk
agama yang berbeda, melainkan kemiskinan, kebodohan, kapitalisme,
imperialisme, radikalisme, korupsi, kerusakan lingkungan, dan lain-lain.
Pendidikan multikultural,
menunjukkan bahwa semua agama mengajak kepada kebaikan.
Toleransi tak akan pernah tumbuh
di hati gersang lagi tandus yang selalu berkata, ”agama (keagamaan) saya
paling benar, dan yang lain salah/sesat”.
Tak ada cara lain untuk
menciptakan masyarakat agama yang penuh toleransi, kecuali terlebih dahulu
membangun paradigma generasi sedini mungkin.
Dengan demikian maka akan
terwujud masyarakat madani yang menjunjung nilai kebersamaan, persaudaraan,
dan kemanusiaan universal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar