Cukai
dan Pajak Rokok
Joko Tri Haryanto ;
Pegawai Kementerian Keuangan
|
SINAR
HARAPAN, 09 Januari 2014
Berdasarkan data pemerintah, realisasi pendapatan negara
hingga akhir 2013 mengalami perlambatan, dari target Rp 1.502,0 triliun dalam
APBN-P 2013 menjadi Rp 1.429,5 triliun. Melesetnya target pendapatan negara
tersebut sebetulnya sudah diprediksi sejak awal, mengingat dampak pelemahan
ekonomi global yang belum pulih sepenuhnya.
Di sisi lain, melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS
makin memperpanjang proses recovery yang dibutuhkan. Tekanan defisit
perdagangan juga menggerus cadangan devisa yang tersisa, hingga banyak
pengamat menyebutkan 2013 betul-betul menjadi tahun penuh ujian.
Untungnya, di tengah keterpurukan tersebut, penerimaan
kepabeanan dan cukai justru tampil sebagai penyelamat. Mengemban target Rp
153,15 triliun dalam APBN-P 2013 hingga akhir 2013, realisasi penerimaan
kepabeanan dan cukai mencapai 101,7 persen atau sekitar Rp 155,82 triliun.
Berbekal kinerja tersebut, pemerintah merasa cukup yakin
menetapkan target penerimaan kepabeanan dan cukai dalam APBN 2014 sebesar Rp
170,2 triliun, meningkat sekitar Rp 17,0 triliun.
Ditilik dari sejarahnya, terlampauinya target penerimaan
kepabeanan dan cukai sudah terjadi sejak beberapa tahun anggaran sebelumnya.
Tahun 2012 misalnya, dari target APBN-P 2012 sebesar Rp 131,2 triliun,
realisasinya mencapai Rp 144,7 triliun, atau sekitar 105,5 persen.
Pemprov Memungut
Dari sisi komponen, secara umum kontribusi cukai masih
menjadi primadona utama. Realisasi cukai 2013 tercatat Rp 108,45 triliun dari
target Rp 104,7 triliun, disusul bea masuk Rp 31,6 triliun dari target Rp
30,8 triliun, serta bea keluar Rp 15,81 triliun dari target Rp 17,6 triliun.
Dalam APBN 2014, penerimaan cukai ditargetkan Rp 116,3 triliun, bea masuk Rp
33,9 triliun, dan bea keluar Rp 20,0 triliun.
Pemerintah sekiranya perlu mengapresiasi kinerja memuaskan
dari penerimaan cukai, mengingat fungsi cukai selain memberikan dampak
pendapatan bagi APBN, juga memberikan fungsi pengendalian atas konsumsi
barang-barang yang bersifat negatif di kalangan masyarakat, seperti rokok dan
alkohol.
Terlebih jika ditelusuri dari sejarah penerimaan tahun
sebelumnya, realisasi penerimaan cukai terus meningkat secara signifikan.
Tahun 2006, penerimaan cukai dalam APBN mencapai Rp 37,8 triliun, meningkat
menjadi Rp 66,2 triliun pada 2010 serta Rp 77,0 triliun pada 2011.
Penerimaan cukai yang terus meningkat, selain digunakan
untuk dana pembangunan dan pengembangan infrastruktur pelayanan dasar, juga
didefinisikan sebagai pembatasan atas produksi rokok yang dihasilkan setiap
tahunnya. Hal ini tentu berguna dalam kampanye memerangi bahaya rokok
terhadap generasi bangsa, khususnya perokok pemula, kelompok perempuan dan
perokok pasif.
Sayangnya, pada 2014 penerimaan cukai rokok dipastikan
akan menghadapi tantangan cukup signifikan, khususnya dari sisi kebijakan
untuk tidak menaikkan tarif cukai seiring pemberlakuan pajak rokok per 1
Januari 2014 yang nantinya akan dipungut pemerintah provinsi (pemprov).
Sesuai UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, per 1 Januari 2014 Pemerintah Daerah khususnya provinsi
akan mulai memungut pajak rokok 10 persen dari tarif cukai rokok nasional.
Berdasar simulasi pemerintah dan DPR, potensi pemungutan
pajak rokok oleh provinsi pada 2014 sebesar Rp 11,63 triliun. Dengan
asumsi jumlah provinsi 33 daerah, secara rata-rata potensi tambahan
penerimaan per provinsi mencapai Rp 330 miliar setiap tahunnya.
Objek pajak rokok adalah adalah konsumsi rokok, yang
terdiri dari sigaret, cerutu, dan rokok daun. Subjeknya konsumen rokok,
dengan wajib pajak pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang
memiliki izin Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC).
Pajak rokok dipungut pemerintah bersamaan dengan
pemungutan cukai rokok, dan disetor ke rekening kas umum daerah provinsi
secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.
Dasar pengenaan pajak rokok adalah cukai yang ditetapkan
terhadap rokok, dengan besaran tarif 10 persen dari cukai rokok. Pemanfaatan
pajak rokok minimal 50 persen untuk mendanai pelayanan kesehatan dan
penegakan hukum oleh aparat berwenang.
Sebagai negara surganya perokok, rencana ini tentu
ditanggapi beragam oleh berbagai pihak. Ada yang pro, tidak sedikit yang
kontra. Ada pula yang menilai pajak rokok sejatinya hanyalah kompromi
pemerintah dengan industri rokok dalam menghadapi tekanan isu kesehatan.
Terlepas dari semua kontroversi tersebut, penulis
menegaskan, pajak rokok adalah wajib dan harus dilaksanakan demi kepentingan
nasional. Sudah lama Indonesia dikenal sebagai surganya perokok. Dengan
penduduk 230 juta jiwa serta regulasi yang kurang tegas, Indonesia menjadi
incaran para produsen rokok.
Tingginya kesadaran bahaya rokok di negara maju juga
memacu perusahaan rokok mengalihkan pasar ke Indonesia. Anak-anak dan
generasi muda menjadi target potensial mereka sebagai kunci kelanggengan
bisnis. Anak-anak dan generasi muda dapat diubah menjadi perokok pemula, menggantikan
perokok lama yang berhenti merokok atau meninggal karena penyakit akibat
rokok.
Demi terciptanya generasi muda Indonesia berkualitas,
harapan ini seharusnya didukung seluruh elemen bangsa dengan penuh kesadaran
diri. Cukai dan pajak rokok diadakan bukan untuk mematikan industri rokok,
melainkan memberikan dis-insentif meningkatnya jumlah perokok pasif khususnya
di kalangan anak-anak dan generasi muda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar