Jumat, 10 Januari 2014

Cukai dan Pajak Rokok

                                           Cukai dan Pajak Rokok

Joko Tri Haryanto  ;    Pegawai Kementerian Keuangan
SINAR HARAPAN,  09 Januari 2014
                                                                                                                        


Berdasarkan data pemerintah, realisasi pendapatan negara hingga akhir 2013 mengalami perlambatan, dari target Rp 1.502,0 triliun dalam APBN-P 2013 menjadi Rp 1.429,5 triliun. Melesetnya target pendapatan negara tersebut sebetulnya sudah diprediksi sejak awal, mengingat dampak pelemahan ekonomi global yang belum pulih sepenuhnya.

Di sisi lain, melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS makin memperpanjang proses recovery yang dibutuhkan. Tekanan defisit perdagangan juga menggerus cadangan devisa yang tersisa, hingga banyak pengamat menyebutkan 2013 betul-betul menjadi tahun penuh ujian.

Untungnya, di tengah keterpurukan tersebut, penerimaan kepabeanan dan cukai justru tampil sebagai penyelamat. Mengemban target Rp 153,15 triliun dalam APBN-P 2013 hingga akhir 2013, realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai mencapai 101,7 persen atau sekitar Rp 155,82 triliun.

Berbekal kinerja tersebut, pemerintah merasa cukup yakin menetapkan target penerimaan kepabeanan dan cukai dalam APBN 2014 sebesar Rp 170,2 triliun, meningkat sekitar Rp 17,0 triliun.

Ditilik dari sejarahnya, terlampauinya target penerimaan kepabeanan dan cukai sudah terjadi sejak beberapa tahun anggaran sebelumnya. Tahun 2012 misalnya, dari target APBN-P 2012 sebesar Rp 131,2 triliun, realisasinya mencapai Rp 144,7 triliun, atau sekitar 105,5 persen.

Pemprov Memungut

Dari sisi komponen, secara umum kontribusi cukai masih menjadi primadona utama. Realisasi cukai 2013 tercatat Rp 108,45 triliun dari target Rp 104,7 triliun, disusul bea masuk Rp 31,6 triliun dari target Rp 30,8 triliun, serta bea keluar Rp 15,81 triliun dari target Rp 17,6 triliun. Dalam APBN 2014, penerimaan cukai ditargetkan Rp 116,3 triliun, bea masuk Rp 33,9 triliun, dan bea keluar Rp 20,0 triliun.

Pemerintah sekiranya perlu mengapresiasi kinerja memuaskan dari penerimaan cukai, mengingat fungsi cukai selain memberikan dampak pendapatan bagi APBN, juga memberikan fungsi pengendalian atas konsumsi barang-barang yang bersifat negatif di kalangan masyarakat, seperti rokok dan alkohol.

Terlebih jika ditelusuri dari sejarah penerimaan tahun sebelumnya, realisasi penerimaan cukai terus meningkat secara signifikan. Tahun 2006, penerimaan cukai dalam APBN mencapai Rp 37,8 triliun, meningkat menjadi Rp 66,2 triliun pada 2010 serta Rp 77,0 triliun pada 2011.

Penerimaan cukai yang terus meningkat, selain digunakan untuk dana pembangunan dan pengembangan infrastruktur pelayanan dasar, juga didefinisikan sebagai pembatasan atas produksi rokok yang dihasilkan setiap tahunnya. Hal ini tentu berguna dalam kampanye memerangi bahaya rokok terhadap generasi bangsa, khususnya perokok pemula, kelompok perempuan dan perokok pasif.

Sayangnya, pada 2014 penerimaan cukai rokok dipastikan akan menghadapi tantangan cukup signifikan, khususnya dari sisi kebijakan untuk tidak menaikkan tarif cukai seiring pemberlakuan pajak rokok per 1 Januari 2014 yang nantinya akan dipungut pemerintah provinsi (pemprov).

Sesuai UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, per 1 Januari 2014 Pemerintah Daerah khususnya provinsi akan mulai memungut pajak rokok 10 persen dari tarif cukai rokok nasional.

Berdasar simulasi pemerintah dan DPR, potensi pemungutan pajak rokok oleh provinsi pada 2014 sebesar Rp 11,63 triliun. Dengan asumsi jumlah provinsi 33 daerah, secara rata-rata potensi tambahan penerimaan per provinsi mencapai Rp 330 miliar setiap tahunnya.

Objek pajak rokok adalah adalah konsumsi rokok, yang terdiri dari sigaret, cerutu, dan rokok daun. Subjeknya konsumen rokok, dengan wajib pajak pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC).

Pajak rokok dipungut pemerintah bersamaan dengan pemungutan cukai rokok, dan disetor ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.

Dasar pengenaan pajak rokok adalah cukai yang ditetapkan terhadap rokok, dengan besaran tarif 10 persen dari cukai rokok. Pemanfaatan pajak rokok minimal 50 persen untuk mendanai pelayanan kesehatan dan penegakan hukum oleh aparat berwenang.

Sebagai negara surganya perokok, rencana ini tentu ditanggapi beragam oleh berbagai pihak. Ada yang pro, tidak sedikit yang kontra. Ada pula yang menilai pajak rokok sejatinya hanyalah kompromi pemerintah dengan industri rokok dalam menghadapi tekanan isu kesehatan.

Terlepas dari semua kontroversi tersebut, penulis menegaskan, pajak rokok adalah wajib dan harus dilaksanakan demi kepentingan nasional. Sudah lama Indonesia dikenal sebagai surganya perokok. Dengan penduduk 230 juta jiwa serta regulasi yang kurang tegas, Indonesia menjadi incaran para produsen rokok.

Tingginya kesadaran bahaya rokok di negara maju juga memacu perusahaan rokok mengalihkan pasar ke Indonesia. Anak-anak dan generasi muda menjadi target potensial mereka sebagai kunci kelanggengan bisnis. Anak-anak dan generasi muda dapat diubah menjadi perokok pemula, menggantikan perokok lama yang berhenti merokok atau meninggal karena penyakit akibat rokok.

Demi terciptanya generasi muda Indonesia berkualitas, harapan ini seharusnya didukung seluruh elemen bangsa dengan penuh kesadaran diri. Cukai dan pajak rokok diadakan bukan untuk mematikan industri rokok, melainkan memberikan dis-insentif meningkatnya jumlah perokok pasif khususnya di kalangan anak-anak dan generasi muda.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar