Rabu, 08 Januari 2014

Sandera Gas Elpiji

                                                   Sandera Gas Elpiji

Tulus Abadi  ;   Anggota Pengurus Harian YLKI
TEMPO,  08 Januari 2014
                                                                                                                        


Pemerintah pun harus legawa bahwa mandat UU tentang BUMN adalah berorientasi keuntungan (profit oriented). Dan tidak lazim korporat mensubsidi konsumennya. Bagaimana mau profit jika BUMN yang bersangkutan menjual produknya secara merugi?

Hiruk-pikuk perayaan tahun baru berakhir antiklimaks. Sebagian masyarakat berhati masygul dan gundah-gulana, khususnya pengguna elpiji kemasan 12 kilogram. Pasalnya, PT Pertamina per 1 Januari memberlakukan tarif baru elpiji, dengan kenaikan harga yang amat fantastis. Harga elpiji 12 kg, yang semula Rp 78 ribu per tabung, menjadi Rp 122 ribu per tabung. Itu pun harga dari depo Pertamina.

Di pasar, harganya mencapai rata-rata Rp 142-150 ribu (di Pulau Jawa!). Masyarakat meradang, apalagi kelompok pengguna usaha mikro-menengah, seperti untuk warung dan restoran. Kondisi kian parah manakala elpiji 3 kg pun ikut-ikutan naik (sepihak) dan bahkan menghilang dari pasar.

Persoalan elpiji nyatanya amat kompleks dan ruwet. Bukan hanya dari sisi kebijakan harga, tapi juga pada sisi pasokan dan tata niaga. Sejatinya, dari sisi kebijakan harga (pricing policy) sudah jelas, bahwa yang berhak menentukan harga elpiji 12 kg adalah operator, PT Pertamina. Ini karena elpiji 12 kg bukan komoditas yang dikenai PSO (public service obligation), sebagaimana gas kemasan 3 kg. 

Tapi realitasnya, pemerintah kerap melakukan intervensi untuk menentukan harga. Akibatnya, dalam hal bisnis elpiji, secara finansial PT Pertamina mengalami bleeding; terbukti per tahun perusahaan pelat merah ini merugi lebih dari Rp 7 triliun. Bahkan klimaks kerugian itu secara akumulatif mencapai Rp 27 triliun. Artinya, selama ini PT Pertamina mensubsidi elpiji 12 kg bagi konsumennya. 

Ini aneh bin ajaib karena subsidi itu tanggung jawab negara, bukan korporat. Secara normatif, ini jelas pelanggaran (pidana) menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga makin mengabsahkan bahwa PT Pertamina merugi dalam bisnis elpiji, dan merekomendasikan adanya penyesuaian harga.

Persoalan berikutnya, yang tak kalah pelik adalah aspek tata niaga, yakni adanya disparitas harga antara 12 kg dan 3 kg. Apalagi, setelah kenaikan harga 12 kg, disparitas harga itu kian menganga. Sedangkan faktanya, tidak ada larangan bahwa siapa pun bisa mengakses (membeli) elpiji 3 kg, sekalipun orang kaya. Sangat wajar jika, setelah kenaikan harga elpiji 12 kg, terjadi kelangkaan elpiji kemasan 3 kg, karena banyak pengguna elpiji 12 kg yang turun kelas menjadi pengguna elpiji 3 kg (migrasi). Ini akan terus terjadi jika disparitas tidak diperkecil dan pangsa pasar elpiji 3 kg masih bersifat terbuka.

Dan, yang tak kalah menggetarkan adalah bahwa 57 persen pasokan elpiji nasional masih berasal dari impor. Logika impor sangat jelas, yakni mengikuti harga pasar internasional (ARAMCO). Impor ini trennya akan terus menanjak seiring dengan jumlah pertumbuhan konsumen elpiji, sementara di satu sisi infrastruktur (kilang) milik PT Pertamina belum mampu menghasilkan pasok­an yang mencukupi kebutuhan nasional. Dengan kata lain, harga elpiji akan kian mahal karena akan terus menyesuaikan harga internasional.

Bagaimanapun, sandera elpiji harus segera diakhiri. Dan persoalannya bukan hanya menyelesaikan dari sisi harga saja. Tetapi, berbagai persoalan yang membelit pada sisi hulu harus diselesai­kan terlebih dulu, khususnya oleh regulator (pemerintah); bereskan dari sisi tata niaga. 

Jika ada produk yang sama tapi harga berbeda (disparitas harga), akan timbul distorsi yang amat kompleks. Pemerintah harus mendesain agar pangsa pasar gas 3 kg bersifat tertutup. Pemerintah pun harus legawa bahwa mandat UU tentang BUMN adalah berorientasi keuntungan (profit oriented). Dan tidak lazim korporat mensubsidi konsumennya. Bagaimana mau profit jika BUMN yang bersangkutan menjual produknya secara merugi?

Dan, wajib hukumnya pemerintah menyegerakan pembangunan kilang minyak yang mampu menghasilkan elpiji untuk memasok kebutuhan nasional, sehingga ketergantungan impor bisa dikurangi. Kecuali jika ketergantungan terhadap impor elpiji memang disengaja untuk mendulang rente ekonomi dari pihak-pihak tertentu (mafia minyak).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar