Agama
Finansial dan Moralitas Cacing Pita
dalam
Kapitalisme Zombi
Stanley Khu ; Alumni Jurusan Antropologi Universitas Padjadjaran, Bandung
|
INDOPROGRESS,
14 Januari 2014
‘Kita menciptakan uang dan menggunakannya,
tapi kita tak bisa memahami hukum-hukumnya dan mengontrol tindakannya. Ia punya hidup sendiri.’ – Lionel Trilling –
KRISIS demi krisis
yang kita saksikan dalam sejarah ekonomi menyediakan kerangka sempurna untuk
memahami narasi-narasi yang menjadi landasan bagi kemunculan kapitalisme
kontemporer. Salah satunya adalah pembagian ekonomi ke dalam dua ranah
berbeda: ekonomi riil (ranah tempat relasi produksi dan pertukaran yang
terprediksi didasarkan pada kebutuhan) dan ekonomi spekulatif (ranah
non-produktif, ketamakan, dan kesia-siaan yang membuat kita semakin dekat
menuju kiamat).
Seperti yang kita tahu, sebagian besar orang di dunia ini
melakukan kerja riil yang menghasilkan nilai riil, selagi minoritas kecil
lain di Wall Street (mis: Gordon Gekko-nya Michael Douglas) secara tak
bertanggung jawab menghamburkan surplus yang dihasilkan dalam sebuah arena
bak kasino yang kita kenal sebagai ‘pasar finansial.’
Gambaran
tentang trader dan speculator tak bermoral telah lama muncul dalam
literatur Barat, misalnya melalui sosok Shylock-nya Shakespeare di ‘The Merchant of Venice’ dan Ebenezer Scrooge-nya
Dickens di ‘A Christmas Carol.’ Dan dalam tingkat yang lebih
ekstrem, sanksi terhadap para perantara ini dapat berakhir dengan genosida,
seperti yang terjadi pada orang Yahudi dan Armenia. Meski begitu, kita tetap
tak boleh melupakan bahwa kaum perantara ini (trader, speculator, hedge-fund manager)
hanyalah individu-individu yang melakukan tugas mereka dalam sebuah sistem
tempat para pembuat kebijakan dan politisi gagal melakukan tugas mereka.
Contoh sederhananya:
prinsip finansial yang menyatakan bahwa utang adalah harta. Investor-investor
seperti R. Kiyosaki selalu mendengungkan prinsip ini. Karena negara tak mampu
memberdayakan rakyatnya, maka negara mengimbau mereka untuk menjalankan hidup
dengan utang. Para bankir berbondong-bondong menciptakan produk-produk yang
akan mengemas utang menjadi bentuk sekuritas baru. Puncaknya, pada 2005,
mereka menawarkan utang/’sekuritas’ bernama subprime mortgage.
Dan butuh 3 tahun sebelum dunia menyadari bahwa ‘utang selamanya tetap akan
menjadi utang.’ Dengan demikian, sukses gagalnya seseorang dengan utang di
tangannya tak dianggap sebagai tanggung jawab negara, melainkan si individu
yang bersangkutan. Ini sesuai prinsip lainnya yang juga digemari pasar
finansial: individualisme.
Istilah ‘finance’
sendiri berasal dari bahasa Latin, ‘finis,’ yang berarti ‘akhir,’ untuk
merujuk pada tanggal jatuh tempo sebuah utang. Dalam dunia finansial modern,
‘finis’ secara konstan diredefinisi: ditunda, direnegosiasi, dan diubah.
Intinya, sebisa mungkin diulur tanggal jatuh temponya; utang tak boleh lenyap
karena ia adalah harta.
Dunia yang kita
tinggali saat ini sangat dipengaruhi prinsip-prinsip finansial. Situasi ini
mungkin bisa kita sebut sebagai ‘finansialisasi.’ Para penganut agama
finansialisasi bisa saja menyatakan bahwa dunia ini sejak dari sananya telah
menganut paham mereka: bahwa setiap masyarakat di dunia ini adalah rasional.
Di masa kini, para pedagang bursa memiliki program komputer otomatis yang
bisa mengambil alih pekerjaan tersebut. Program akan menjual Dollar secara
otomatis bila harganya jatuh atau naik sampai titik tertentu. Program bisa
mengukur perubahan arus nilai mata uang, suku bunga relatif, tingkat pinjaman
pemerintah, harga komoditas, turunnya neraca perdagangan, dan variabel lain
yang dianggap penting.
Tapi satu hal yang dilupakan: 75 persen fluktuasi mata
uang disebabkan oleh faktor-faktor non-ekonomi, dan hanya 25 persen yang bisa
dikorelasikan dengan satuan kuantitatif dan indikator statistik. Hal ini
menjelaskan kenapa Dolar AS merangkak naik melampaui nilai riilnya ketika
Ronald Reagan menduduki kursi presiden: masyarakat menganggap kemampuan
Reagan menjalankan tugas kepresidenan sama baiknya dengan kemampuannya
berakting.
Meski begitu,
orang-orang ini, dengan mengutip dari sana-sini tentang bagaimana budaya di
beberapa masyarakat tertentu memungkinkan penyetarafan pembunuhan atau
pernikahan dengan nilai ‘uang’ tertentu, mereka bisa saja berargumen bahwa
setiap masyarakat di dunia pada hakikatnya memiliki kapasitas berpikir secara
‘ekonomi formal.’ Satu hal yang terlewatkan oleh mereka, perbandingan macam
ini menuntut penciptaan rasio-rasio kuantitatif di antara barang-barang yang
berbeda ke perbedaan-perbedaan yang setaraf dalam nilai, dan beberapa jenis
pertukaran, seperti misalnya pembunuhan yang bisa dikompensasi dengan ‘uang,’
secara antropologis sebenarnya lebih merupakan upaya untuk menciptakan
‘analogi’ daripada ‘rasio.’
Jika kita terpesona
dengan hitungan di dalam pertukaran hadiah pada masyarakat tertentu, maka
kita, mengutip Maurer, telah sepenuhnya dibutakan oleh matematika dari
penyetarafan moneter dalam masyarakat ‘modern,’ karena kita terus bersikukuh
dalam memandang uang sebagai ‘ekspresi komoditi yang paling dapat dihitung,’
sebagai ‘ekspresi, indeks, dan ukuran kesetarafan.’
Sebenarnya kita tak
perlu jauh-jauh merujuk ke masyarakat ‘non-modern,’ karena pada masyarakat
yang sudah ‘modern’-pun terdapat kesulitan dalam penyetaraan moneter.
Misalnya: meski kita berupaya menerapkan aneka kebijakan pajak terhadap
individu dengan pendapatan yang berbeda-beda, pada akhirnya kebijakan inflasi
yang diambil suatu negara hanya akan menyengsarakan individu dengan
pendapatan pas-pasan. Bila dilihat sekilas, inflasi mungkin tampaknya akan
paling keras menghantam individu dengan kekayaan terbesar (karena jumlah
uangnya paling banyak), namun harus diingat bahwa laju inflasi adalah indeks
numerik dengan sistem pukul rata. Dengan laju inflasi sebesar x, individu A
dengan kekayaan 1 milyar akan kehilangan 100 juta, sedangkan individu B
dengan kekayaan 100 juta akan kehilangan 10 juta dari kekayaannya. Antara
kehilangan 100 juta dan 10 juta memang sebuah gap yang jauh,
tapi mari kita lihat dari sisi yang lain. Individu A masih memiliki 900 juta,
selagi individu B kini hanya punya 90 juta untuk dibelanjakan.
Dan yang lebih hebat
lagi, tipe-tipe seperti individu A biasanya tak menyimpan semua uangnya dalam
bentuk tunai. Karena menyadari rapuhnya uang tunai, mereka biasanya akan
menginvestasikan sebagian besar kekayaan mereka, dan kalau beruntung, mungkin
malah dapat menangguk keuntungan dari terjadinya inflasi (inilah lingkaran
‘keharusan berinvestasi’). Di lain pihak, tipe-tipe seperti individu B
biasanya adalah para penerima gaji dan pensiunan. Kehilangan 10 juta secara
substansial telah mengurangi daya beli mereka. Dan mereka ini biasanya tak
tahu-menahu tentang investasi. Ketergantungan mereka terhadap uang tunai
dalam bentuk pendapatan tetap dan tunjangan pemerintah (yang nilainya selalu
jauh di belakang laju inflasi) secara perlahan telah memiskinkan mereka.
Kebiasaan berhemat dan menabung ala
‘Etika Protestanisme’ Max Weber adalah
sia-sia belaka dalam hal ini, karena bila pajak seperti pajak penjualan dan
pajak pertambahan nilai hanya memajaki apa yang dibelanjakan individu, maka
inflasi memajaki semua uang tunai yang dimiliki individu, dan bahkan sampai
ke pendapatan yang masih belum kita terima di masa kini. Mengutip Anatole
France: ‘Hanya orang miskin yang membayar tunai, dan itu bukan karena
keluhuran, tapi karena kredit mereka ditolak.’
Namun, masalah ihwal
nilai finansial bukan terletak pada seberapa fiktifnya ia, melainkan pada
kenyataan bahwa kini ia telah menjadi realitas tempat kita tinggal di
dalamnya; sebuah sistem sosio-ekonomi yang tumbuh semakin dominan. Dalam tiga
puluh tahun terakhir, industri finansial telah menduduki peran penting dalam
masyarakat sebagai jaringan pertukaran global tempat aset-aset dari seluruh
dunia diciptakan, dibandingkan, diperdagangkan, dan dilenyapkan.
Kita mungkin
bertanya-tanya: kenapa industri finansial yang dalam satu abad terakhir ini
setidaknya telah empat kali jatuh bangun dihantam krisis (dekade 30-an,
70-an, 90-an, 2008) selalu mampu bangkit kembali dalam wujudnya yang lebih
anggun dan canggih? Jawabannya sederhana: karena kelihaian para pelaku di
dalamnya dan sarjana penyokong ideologinya dalam berinovasi. Melebihi
kecepatan para ahli sosial seperti antropolog dan sosiolog dalam mengkaji
fenomena ekonomi kontemporer, ekonom-ekonom seperti Robert Merton atau Merton
Miller selalu mampu menciptakan berbagai produk dan kebijakan yang didesain
agar dapat berkelit di antara berbagai regulasi. Jika kita melihat hal ini
secara sinis, tidakkah semua upaya ini adalah wujud pemenuhan dari
kepercayaan neoliberal mereka: bahwa keberadaan aturan-aturan – bahkan negara
– hanya menghambat perekonomian?
Kita bisa melihat
satu contoh sederhana tentang inovasi ini, misalnya MERS (Mortgage Electronic
Registration System). Korporasi ini dibuat di pertengahn 90-an untuk
memudahkan pencatatan transaksi jual-beli di AS. Dengan sistem online ini, semua transaksi perumahan bisa
dilakukan dengan lebih cepat dan mudah. Individu tak perlu lagi pergi ke
kantor-kantor pemerintah untuk mencatatkan transaksi mereka. Mereka bahkan
tak perlu lagi membayar biaya ini-itu. Dengan demikian, keberadaan MERS telah
membuat individu yang terlibat dalam jual-beli rumah dapat menghemat waktu,
energi, dan bahkan uang mereka.
Akan tetapi, tentu selalu
terdapat keburukan dari sistem M-C-M. Ketika kita mulai menganggap rumah
bukan sebagai tempat tinggal kita dan keluarga, melainkan hanya sekadar
komoditi perantara untuk menumpuk kekayaan, maka azab hanya tinggal menunggu
waktu untuk datang menimpa. Di tahun 2008, MERS akhirnya kena batunya akibat
krisis subprime mortgage; ketika rumah-rumah dibeli bukan
untuk ditempati, ketika harga rumah terus naik hanya karena dikerek oleh
emosi (bukan rasio, seperti yang diagungkan finansialisasi), dan ketika kita
bahkan tak lagi tahu rumah mana yang dimiliki siapa. Saat ini, keberadaan
MERS mulai digugat. Tapi tentu saja, ia tetap akan berumur lebih panjang
daripada pencetusnya: Fannie Mae dan Freddie Mac, yang telah lebih dulu masuk
liang kubur.
Bila teori ekonomi
klasik melihat komoditi sebagai sesuatu yang netral, sederhana, dan
transparan, maka dapat kita katakan bahwa teori finansial sungguh-sungguh
meyakini hal tersebut. Semua komoditi di pasar finansial tampak begitu
sederhana. Asumsinya, dengan jibunan informasi yang saat ini tersedia dengan
gratis di Abad Informasi, maka setiap individu memiliki hak dan risiko yang
sama untuk menangguk untung-rugi. Dan berbicara tentang risiko, kini konotasi
negatifnya telah jauh berkurang dengan adanya disiplin ilmu risk management (yang balik lagi ke atas,
mengasumsikan bahwa risiko bisa diukur di abad timbunan informasi).
Pengaruh dari
prinsip-prinsip kuantitatif tertentu dalam kapitalisme kontemporer adalah
faktor yang merubah khayalan sosial. Instrumen finansial modern berasumsi
bahwa beberapa bentuk spesifik dari resiko dapat dikumpulkan menjadi suatu
bentuk abstrak dan dapat ditentukan oleh kalkulasi matematis. Objektivikasi,
kalkulasi, dan distribusi risiko bersandar pada koleksi data yang lebih luas
dan akurat dan juga pada tenaga komputer yang canggih secara matematis.
Terdapat satu idiom
tentang manajemen risiko ini: jangan pernah menaruh semua telur di satu
keranjang. Bagi para bankir, bila sebuah sistem memungkinkan kita untuk
melabeli segala sesuatu dengan harga tertentu dan, dengan demikian,
membuatnya dapat diperdagangkan, maka kita bisa menyebarkan risiko ke
pihak-pihak yang paling mampu menanggungnya. Namun, satu hal yang luput dari
perhatian, para bankir biasanya selalu menyebarkan risiko dengan memperkenalkan
risiko jenis baru ke dalam sistem. Produk finansial seperti derivatif adalah
contohnya. Hakikat derivatif, tak lain tak bukan, adalah secondary bet; sejenis taruhan kedua.
Ilustrasinya: bila
babak pertama pertandingan antara MU vs. WBA berakhir dengan keunggulan tim
tamu 0-1, dan kita semua tahu bahwa tim sekelas MU tentu tak akan takluk di
kandang sendiri (atau, dengan kata lain, MU adaah jenis saham yang baik),
maka saya dan semua orang yang rasional serta berani mengambil risiko akan
‘mencuci’ taruhan, dan kembali memegang MU di babak kedua. Skor akan kembali
ke 0-0, dan pertandingan dilanjutkan. Tapi, ternyata WBA kembali unggul satu
gol. Skor akhir: 0-2. Saya dan orang-orang senasib kalah di taruhan pertama
sekaligus taruhan kedua.
Gambaran di atas tak
hendak menyatakan bahwa produk derivatif takkan pernah membawa profit,
seperti halnya mengatakan bahwa MU tak mungkin selalu kalah ketika telah
tertinggal satu gol di babak pertama. Tapi, seringkali, yang terjadi juga
bukan seperti itu. Faktor-faktor tak terukur seperti psikologi dapat muncul.
Seringkali, yang terjadi adalah kekalahan ganda; kejatuhan beruntun. Atau
istilahnya: dampak yang bersifat sistemik.
Sebenarnya, dan ini
juga ironinya, pandangan tentang hakikat komoditi sebagaimana dilihat teori ekonomi
klasik dan diresapi teori finansial telah jauh-jauh hari dibantah. Kita bisa
merunut tahunnya sampai ke 1923, ketika Marcel Mauss menulis The Gift. Menurutnya, lingkaran penerimaan dan
pemberian hadiah dalam masyarakat adalah cara mencegah perang. Atau, dengan
kata lain, sirkulasi barang tak pernah bersifat netral ataupun sederhana
secara hakiki, melainkan adalah sebuah fenomena resiprokal yang melibatkan
seluruh individu dalam masyarakat. Dan jika berbicara tentang keterlibatan
seluruh individu, maka sekali lagi pandangan ekonomi formal yang berprinsip
‘ekonomi untuk ekonomi’ akan tumbang. Individu-individu kaya yang menangguk
uang dari pasar finansial yang bak kasino tak boleh mengesampingkan kesadaran
dan tanggung jawab moral mereka terhadap anggota masyarakat lainnya dengan,
misalnya, bersilat lidah bahwa ranah ekonomi tak ada sangkut pautnya dengan
ranah sosial-politik-budaya, sehingga seluruh aktivitas mereka di dalam
‘kasino’ tak akan berdampak apapun pada kehidupan masyarakat.
Jika kita ingat rumusan
J.M. Keynes tentang MV=PY, maka sudah terang sekali bahwa jumlah uang di
pasar harus selalu setara dengan jumlah barang. Para pelaku finansial di Wall
Street telah mengabaikan logika sederhana ini dengan terus-menerus menggoreng
harga saham sampai setinggi langit, sedangkan output barang
yang dihasilkan ‘Main Street’ takkan pernah mencapai tingkat yang sama dengan
jumlah uang yang beredar. Pasar mata uang berbeda dari semua jenis pasar
lain. Bila di pasar lain pedagang menukar barang dengan uang, maka para
pedagang valas bertransaksi tanpa melibatkan barang konkret apapun. Sekarang,
bagaimana mungkin seseorang bisa mengelak dari kenyataan sederhana ini dan
tetap bersikukuh bahwa kebijakan ekonomi hanya untuk kepentingan ekonomi?
Bahkan ekonom
seperti David Ricardo pun telah mengingatkan kita: ‘tak ada negara maupun
bank dengan kekuasaan tak terbatas untuk menerbitkan uang kertas yang tak
akan menyalahgunakan kekuasaan itu.’ Namun faktanya kini, uang modern tak
hanya dicirikan sebagai unit akun dan alat pembayaran, tapi juga tempat
penyimpan nilai. Uang jenis ini, tak seperti garam atau kakao misalnya, tak
hanya digunakan untuk memperoleh barang, tapi juga bisa disimpan sebagai
bentuk kekayaan dalam dirinya sendiri.
Uang modern yang
‘dicetak’ secara tak terbatas, yang secara intrinsik tak bernilai, hanya bisa
terus berlaku bila ada institusi kuat seperti negara yang menjaminnya.
Misalnya Dolar AS, yang diasumsikan sebagai ‘as good as gold.’ Karena
besarnya hegemoni AS di planet kita, maka pada akhir tahun 90-an, 70 persen
cadangan devisa dunia memakai dolar.
Tapi sebelumnya,
kita dapat berhenti sejenak untuk bertanya: ‘Dengan apakah negara kuat
seperti AS menjamin Dolar AS yang disimpan oleh tiap-tiap kita di rumah
masing-masing?; Apakah jaminannya adalah sesuatu yang konkret?’ Jawaban untuk
keduanya: ternyata tidak.
Kita bisa merunut
kembali ke zaman Presiden Abraham Lincoln ketika sedang terjadi perang
saudara di AS. Pada 28 Februari 1862, pemerintah AS mencetak uang kertas
untuk membiayai ha-hal seperti pembayaran gaji tentara. Namun hal ini pada
gilirannya menciptakan sistem mata uang berlapis, karena pemerintah tetap
menghendaki agar pajak impor tetap dibayar dalam koin emas atau perak, selagi
di lain pihak mereka membayar para serdadu dan kreditor dengan uang kertas
yang hanya ditopang oleh janji. Sederhananya, pemerintah berjanji untuk
membayarkan nilai pada lembaran kertas pada satu waktu tertentu. Artinya,
uang kertas tak lain daripada aktivitas pemerintah memaksakan berutang pada
warganya sendiri; dan hebatnya lagi, utang ini adalah obligasi tanpa bunga.
Jadi ironinya di
sini: individu dipaksa meminjamkan hartanya pada pemerintah, dan pemerintah
berjanji akan mengembalikannya kelak suatu hari di masa depan. Tanpa bunga.
Bahkan tanpa kepastian bahwa harta akan benar-benar kembali ke pangkuan
pemiliknya.
Mungkin sebagian
dari kita akan segera terpikir tentang Federal Reserve atau Fort Knox, bunker
penyimpan emas di AS, dan berargumen bahwa timbunan emas di sana mewakili
sistem moneter AS; semacam jaminan keamanan psikologis untuk menggaransi
lembar uang di dompet kita. Namun hal ini juga keliru. Emas di Fort Knox dan
Federal Reserve sama sekali tak ada kaitannya dengan Dolar AS. Ketika
Presiden Richard Nixon secara resmi memutus ikatan antara Dolar dan emas pada
Agustus 1971 karena kebijakan perang Vietnam yang membuat suplai Dolar
meningkat di pasar (yang pada gilirannya menimbulkan inflasi), sistem Bretton
Woods pun berakhir. Bagi Nixon yang khawatir kalau-kalau negara-negara lain
yang merasa dirugikan karena Dolar AS yang mereka pegang saat itu
terdevaluasi hampir sepertiga nilainya terhadap emas (di tahun 1995, Dolar AS
bahkan sudah terdevaluasi hampir 12 kali lipat terhadap emas) akan
berbondong-bondong menukarkan emas mereka, ‘putus hubungan’ antara uang
kertas dan emas tampaknya menjadi keputusan tercerdas yang pernah dibuatnya.
Kini, tak satu ons
pun emas di dunia ini yang berdiri di balik Dolar AS. Dengan kata lain, uang
kertas yang kini nilainya mengambang bebas tak ubahnya lembaran cek kosong. Kertas
di saku kita bukan emas, tak juga perak. Negara tak akan menukar kertas kita
selain dengan kerta lainnya. Kertas di saku kita hanyalah mata uang fiat. Ia
bertumpu pada hegemoni pemerintah, dan pada keyakinan orang-orang yang
menggunakannya; orang-orang seperti kita. Frase yang disodorkan kepada kita
bukan lagi ‘Payable to the Bearer on Demand,’ melainkan diganti menjadi ‘In
God We Trust.’
Dalam General Theory, Keynes menyebut karakter uang yang
seperti ini sebagai ‘the fetish of liquidity’ (jimat
likuiditas). Disebut ‘jimat’ karena, dari perspektif makroekonomi Keynesian,
tak ada sesuatu yang bisa kita namai sebagai likuiditas dalam komuniti secara
keseluruhan. Faktanya, uang bukanlah kekayaan, dan oleh karenanya, sistem
finansial modern akan terus-menerus menderita karena kontradiksi intrinsik
antara apa yang mungkin dilakukan oleh individu dan apa yang tepat bagi
komuniti. Kontradiksi ini akan menciptakan krisis bagi sistem finansial
kapanpun individu memutuskan untuk menimbun uangnya atau menunda konsumsi dan
investasi. Untuk mengatasi ‘jimat likuiditas’ ini, Keynes sampai merasa perlu
dilakukan sebuah reformasi moneter, yang akan memahami uang hanya sebagai
perantara yang dioper dari tangan ke tangan, diterima dan dibagikan, dan
lenyap ketika tugasnya rampung.
Bila ‘jimat
likuiditas’ tak teratasi, maka kita akan dikungkung oleh jerat kapitalisasi.
Sebagai cara menilai sesuatu dari sudut pandang finansial, dapat
didefinisikan bahwa kapitalisasi adalah proses mempertimbangkan expected return yang akan dihasilkan dari sebuah
investasi. Aturan-aturan untuk mengalokasikan uang dalam masyarakat saat ini
hampir semuanya dicirikan oleh teknik penilaian finansial yang demikian.
Segala sesuatu – mulai dari proyek-proyek sains, proyek pemberdayaan, ide-ide
kreatif, sampai ke penanggulangan bencana – dinilai dengan apa yang disebut
oleh para spesialis penilaian finansial sebagai biaya kapital, yakni:
mengukur seberapa berharganya membiayai hal-hal tersebut berkenaan dengan
ketidakpastian yang melingkupinya (biasanya dihitung dengan suku bunga).
Akibatnya, tentu saja segala sesuatu kini terorientasi karena penilaian yang
demikian, dan mungkin akhirnya malah dimungkinkan untuk terbentuk semata-mata
untuk tujuan kapitalisasi. Saat ini, jerat kapitalisasi telah mengalihkan
kekayaan dari para pedagang (berjaya di zaman penaklukan kolonial) dan
industrialis (berjaya di zaman industri) ke tangan para pemodal. Produksi tak
lagi mengontrol perekonomian, karena para pemilik alat produksi sudah bukan
merupakan suatu kelas tertentu. Kelas pemodal tak perlu memiliki alat-alat
produksi; mereka hanya perlu mengontrol pergerakan arus uang dan bentuk uang.
Produk-produk
finansial yang diciptakan para pelaku pasar finansial, tak bisa tidak, adalah
sesuatu yang teramat canggih. Contohnya saja uang elektronik seperti kartu
kredit. Kemunculan kartu kredit merevolusi pola konsumsi dan pembayaran. Ia
menawarkan kesempatan bagi para individu untuk memakai uang yang belum mereka
peroleh, tapi diperkirakan akan diperoleh suatu saat nanti. Dengan
mengandalkan pendapatan di masa depan ini, seorang pemegang kartu mampu
bertindak layaknya bank sentral; ia mampu menciptakan uang, dan itu
dilakukannya hanya dengan melakukan konsumsi. Pembelian sebuah barang di toko
seharga x akan meningkatkan jumlah uang beredar di pasar seharga x. Toko tak
ambil pusing apakah konsmen benar-benar memiliki uang di Bank. Satu hal yang
pasti, mereka menerima uang, para pegawainya bisa digaji, dan pemerintah
mendapat pajak penjualan.
Dengan kata lain,
pembelian yang dilakukan individu telah menciptakan uang dengan meminjamnya
dari hari esok dan mengonsumsinya di pasar hari ini. Kartu kredit dengan
limit tagihan tertentu tak ubahnya kebijakan ‘uang mengalir bebas’ yang
dijalankan negara-negara saat ini; kita boleh menciptakan uang sebanyak yang
kita mau, asal tak menyerempet jurang inflasi. Kartu kredit juga melakukan
prosedur layaknya bank; limit tagihan tak ubahnya kebijakan cadangan wajib di
bank yang dapat menggandakan uang dari ketiadaan. Bila cadangan wajib yang
harus disimpan sebuah bank adalah sebesar 10 persen , maka bila saya menabung
1 juta, bank dapat menggandakannya sampai mencapai 10 juta, karena ketika
sebuah bank mencantumkan angka 10 juta di saldonya, maka dana likuid yang
dibutuhkannya sebagai jaminan bahwa ia ‘sehat’ hanyalah 10 persen dari
totalnya, yakni 1 juta (diperoleh dari tabungan saya). Sisa 9 juta adalah
uang gaib yang bebas dipakai bank untuk kepentingan bisnisnya. Dan
demikianlah bank beserta kartu kredit bertindak layaknya lemak di dalam
tubuh. Jika terlalu banyak, maka ia akan menghalangi kelincahan. Jika terlalu
sedikit, ia akan membuat badan menjadi sakit.
Namun yang
seringkali terjadi, lemak finansial ini memang diproduksi terlalu banyak –
berhubung betapa gampang dan lapangnya jalan yang disediakan oleh sistem
untuk membuat kita menjadi konsumtif (dan memang itulah prasyarat agar tak
terjadi overproduction) – persis seorang
penderita gangguan pencernaan yang tak tahu kapan saatnya berhenti makan
karena terus-menerus merasa lapar.
Komoditi tak pernah
merupakan sesuatu yang ‘sederhana,’ terlebih dalam sistem finansial saat ini.
Kemampuan mereka untuk selalu berkelit dari regulasi membuktikan hal ini.
Dengan demikian, hujan informasi takkan pernah berbanding lurus dengan
kemudahan dalam berspekulasi dan mengukur risiko. Selain itu, produk-produk
yang diciptakan dalam sistem pasar bebas sebenarnya malah terlalu rumit untuk
diperdagangkan. Produk dibuat, dijual, masuk ke dalam neraca saldo seseorang,
dan hanya berakhir di situ. Sama sekali tak ada penetapan harga ala pasar
bebas.
Asumsi bahwa “nilai sebuah aset adalah harganya ketika diperdagangkan
di pasar” jauh lebih mudah diucapkan ketimbang diterapkan. Buktinya,
bank-bank hanya dapat menebak harga dengan memakai model. Dengan kata lain,
mereka hanya berandai-andai.
Dengan memakai
analogi sepakbola sekali lagi, maka hal ini akan tampak jelas. Bila MU
membuka kompetisi dengan menang 19 kali berturut-turut di liga Inggris dengan
skor konstan 5-0, maka pada partai ke-20, apa yang bisa kita harapkan? Bila
di partai ke-1 MU hanya memberi handicap 1,
maka seiring kemenangannya dari pekan ke pekan, handicap yang diberikannya, tak bisa tidak,
hanya akan terus naik. Di pekan ke-20, kita akan menyaksikan MU memberi handicap 3. Tapi, kita bahkan tak sedang berbicara
tentang berapa gol lagi yang mampu dan akan dilesakkan MU. Kita membicarakan
tentang apakah MU bahkan akan mampu menang lagi di partai ke-20.
Model yang
berbasis ilmu probabilitas akan memberikan jawaban ‘iya,’ sedangkan kita
semua tahu bahwa tak ada tim yang akan menang selamanya.
Sama halnya, harga
saham yang ditebak dengan memakai model juga sebenarnya tak pernah
menunjukkan nilai aslinya. Yang ditunjukkan semata-mata adalah kecenderungan
yang akan terjadi di masa depan dengan memakai fakta dan data di masa lampau.
Buktinya, perusahaan kadangkala membeli sahamnya untuk mengurangi supply dan meningkatkan demand untuk menaikkan harga. Hal serupa juga
dilakukan pemerintah, dengan bank nasional yang bisa membeli mata uang
sendiri dalam jumlah besar untuk mendongkrak harga, atau melakukan hal
sebaliknya untuk memaksa harga turun. Tak ada kepastian; yang ada hanya
harapan demi harapan dan intervensi sesekali. Demikianlah yang marak terjadi
di era finansialisasi: kegemaran untuk meramal dan menjadikannya sebagai
standar nilai; sehingga fenomena seperti bubble dianggap
sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja.
Karl Popper sendiri
butuh waktu lama untuk meyakinkan dirinya bahwa ilmu probabilitas layak
digolongkan ke dalam disiplin ilmu matematika. Resolusinya adalah sebagai
berikut: bahwa probabilitas tak bisa dijerat dengan teknik falsifikasi karena
ia hanya membuat kepastian dan ketepatan perhitungan tentang kecenderungan
yang akan terjadi di jangka panjang. Jadi, bila kita melempar satu koin dan
terdapat kemungkinan 50/50 untuk keluarnya gambar dan angka, hal ini tidaklah
menyiratkan bahwa tiap dua kali lemparan akan menghasilkan masing-masing
sekali gambar dan sekali angka. Bisa saja kita melempar lima kali dan
mendapati bahwa yang keluar terus-menerus adalah angka. Namun hal tersebut,
menurut Popper, tak akan memfalsifikasi probabilitas karena ilmu ini memang
tak berniat menyatakan kepastian untuk jangka waktu saat ini.
Bagi saya pribadi,
semuanya sederhana saja. Aktivitas di pasar finansial sebenarnya tak ada bedanya
dengan kegiatan taruhan bola. Di jangka panjang, hanya individu-individu
bermodal besar dan para spekulan yang akan selalu menangguk keuntungan. Dan
dari segi risiko maupun argumen tentang open information,
kedua jenis aktivitas berbagi kemiripan yang sama persis. Bedanya bagi saya,
taruhan bola, terutama yang online, masih
sedikit lebih bermoral daripada pasar finansial, karena sebelum masuk ke
situs, biasanya kita akan ditanya tentang kesediaan kita menaggung risiko
bila kalah. Artinya, setiap individu yang masuk ke dalam situs, ceteris paribus, adalah orang-orang dengan
‘kesadaran’ yang sama. Hal ini berbeda dengan aktivitas di pasar finansial,
tempat segelintir orang tanpa rasa tanggung jawab dan moral di nuraninya
berjudi dengan selubung nama ‘spekulasi’ dan ‘investasi.’ Anggota masyarakat
lain tak tahu-menahu tentang aktivitas mereka dan tak pernah menyatakan
kesediaan untuk turut serta dalam permainan. Dan ajaibnya, bila menang,
pelaku pasar akan ‘naik ke surga’ sendiri, namun bila kalah, ia akan menarik
anggota masyarakat yang tak tak tahu-menahu ini bersama-sama ‘terjun ke
neraka.’
Tapi, tentu saja,
takkan ada yang bisa disalahkan bila kita meyakini pandangan neoliberal,
mengutip Margaret Thatcher, bahwa “tak ada sesuatu yang dinamakan masyarakat;
yang ada hanya individu pria dan wanita, dan keluarga.”
Bila finansialisasi
adalah A-Gama (sesuatu yang tak membuat kacau), maka tentulah ia adalah agama
paling individualis – dalam pengertian hakikat, subjek, maupun egoisme – yang
pernah tercipta di muka bumi.
●
Kepustakaan
Doria, Luigi and Luca Fantacci. ‘Community and Money, Local
and European.’ Theorizing the Contemporary,
Cultural Anthropology Online. May 17, 2012. http://culanth.org/?q=node/575
Elyachar, Julia. ’The Passions of Credit and the Dangers of
Debt.’ Theorizing the Contemporary,
Cultural Anthropology Online. May 17, 2012. http://culanth.org/?q=node/577
Guyer, Jane I. ‘Life in Financial Calendrics.’ Theorizing the Contemporary, Cultural Anthropology
Online. May 17, 2012.
http://culanth.org/?q=node/565
Hertz, Ellen, Leins, Stefan. ‘The “Real Economy” and its
Pariahs: Questioning Moral Dichotomies in Contemporary Capitalism.’ Theorizing the Contemporary, Cultural
Anthropology Online. May 17, 2012.
http://culanth.org/?q=node/576
Lepinay, Vincent Antonin. ‘What Can Anthropologists of Finance
Teach Us About the MERS We Now Find Ourselves In?’ Theorizing the Contemporary, Cultural
Anthropology Online. May 17, 2012.
http://culanth.org/?q=node/572
Maurer, Bill. 2006. ‘The Anthropology of Money.’ Annu. Rev. Anthropol. 35:15–36.
Muniesa, Fabian. ‘Coping with the Discount Rate.’ Theorizing the Contemporary, Cultural
Anthropology Online. May 17, 2012.
http://culanth.org/?q=node/566
Ortiz, Horacio. ‘Why Does (or Doesn’t) Finance Need an
Anthropology?’ Theorizing the Contemporary, Cultural Anthropology Online. May 17, 2012. http://culanth.org/?q=node/568
Poon, Martha. ‘Why Does Finance Need an Anthropology? …Because
Financial Value is Real.’Theorizing the Contemporary,
Cultural Anthropology Online. May 17, 2012.
http://culanth.org/?q=node/564
Tett, Gillian. ’An Anthropologist on Wall Street.’ Theorizing the Contemporary, Cultural Anthropology Online. May 17, 2012. http://culanth.org/?q=node/580
Weatherford, Jack. 2005. Sejarah Uang.
Yogyakarta: Bentang Pustaka.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar