Pejabat Bea Cukai nakal tampaknya
semakin menjadi sorotan. Pada Mei 2008 dalam sidak KPK, juga di Kantor
Pelayanan Utama (KPU) Tanjung Priok ditemukan uang dalam bentuk berbagai
mata uang baik dolar US, dolar Australia atau Singapura yang jika
dijumlahkan senilai Rp 500 juta. Uang yang tidak jelas pemiliknya itu hanya
dalam satu hari kerja. Entah berapa nilai uang "tidak bertuan"
itu dalam sebulan atau setahun. Ini baru di satu kantor Bea Cukai (BC),
padahal sedikitnya ada 130 pelabuhan di Indonesia.
Kini tindakan korupsi yang berani di BC merambah
kemana-mana sampai kepada pejabat Eselon III yang umumnya kader pemimpin
potensial. Kepala Subdit Penindakan dan Penyidikan (P2) KPU BC Tanjung
Priok Heru Sulastyono (HS) baru-baru ini menambah buram kinerja kepabeanan
Indonesia dengan korupsi senilai Rp 11,4 miliar dengan modus kejahatan
asuransi dan dikenai undang-undang tindak pidana korupsi. Moral HS juga
tergolong tidak patut dicontoh karena upaya pencucian uang haram itu
dilakukan sampai nikah siri abal-abal dengan istri mudanya. Dia memenuhi
persyaratan sebagai pejabat dengan indeks prestasi korupsi sempurna, cerdas
di sisi teknis tetapi rusak moralnya.
Penelitian LP3EI (2012) menunjukkan bahwa porsi biaya
logistik Indonesia sudah menyentuh titik 24 persen dari total PDB tahun
lalu. Dengan demikian nilai realisasinya sekitar Rp 1.820 triliun terdiri
biaya penyimpanan Rp 546 triliun, transportasi Rp 1.092 triliun dan
administrasi Rp 182 triliun. Sebagai perbandingan biaya logistik di
Malaysia sekarang sekitar 15 persen, Amerika Serikat dan Jepang
masing-masing 5-10 persen. Di samping sangat mahal biayanya, LP3EI juga
menyoroti waktu pelayanan yang buruk karena rata-rata durasi rilis barang
ekspor-impor dari gudang pabean paling cepat 5,5 hari.
Tingginya biaya
logistik hampir pada semua moda, baik laut, sungai, darat, udara dan kereta
memang sangat menyedihkan. Pertimbangan keamanan dan murahnya logistik
seharusnya menjadi konstrain utama pemerintah dan perhatian penting swasta
untuk investasi.
Ketika porsi logistik sudah sampai dengan 24 persen
padahal belum pajak impor (BM), PPN, PPh, PPnBM dan fee lainnya tentu akan
membuat investor berpikir dua kali ketika hendak menanamkan modalnya di
Indonesia. Siapapun akan berhitung jika minimal 46,5 persen uangnya hangus
untuk hal yang tidak produktif, padahal negara lain memiliki skema lain
yang lebih masuk akal.
Logistik dengan moda laut terutama yang menjadi titik
fokus tingginya biaya. Infrastruktur adalah kambing hitam pertama yang
patut disalahkan, kemudian birokrasi kepelabuhanan berikutnya dan para
broker atau agen mendapat giliran sesudahnya. Keberadaan broker logistik
yang harus diwaspadai adalah peranannya dalam mengaduk-aduk informasi untuk
sebesar-besarnya mendapatkan keuntungan. Siklus logistik Indonesia memang
luar biasa rumit, ironisnya para broker justru nyaman dalam kerumitan agar
pesaing baru segan masuk.
Bagi ship-owner atau liner asing munculnya para broker
di Indonesia sebetulnya tidak menambah biaya overhead, karena mendapatkan
imbalan dari pengguna jasa di dalam negeri. Tarif biaya liner tetap tidak
berubah dalam dolar AS per cubic meter (CBM) atau freight ton (FRT).
Prinsip cabotage sesuai Instruksi Presiden 5/2005 tentang pemberdayaan
industri pelayaran nasional tetap tidak bisa diwujudkan kendati sudah 8
tahun sejak diimplementasikan. Jadi malah menjadikan lebih mahal biaya
logistik di dalam negeri. Keberadaan agen dan para broker logistik ini
harus ditata ulang agar jalur perjalanan barang semakin ringkas dan mudah.
Struktur biaya baik resmi dan siluman harus di-beleid, agar seragam.
Standar operasi para agen dan broker moda laut itu
begitu bervariasi sehingga membingungkan pengguna jasanya. Jenis pekerjaan
itu tidak mudah diikuti sejak kontainerisasi, proses konsolidasi sampai
loading ke kapal untuk ekspor. Di sisi impor pekerjaan unloading dari kapal
ke dalam pergudangan kawasan kepabeanan, pembongkaran (striping) di kawasan
pelabuhan, penyelesaian pabean, pengeluaran barang dari gudang dan kemudian
inland trucking sampai tujuan akhir. Dalam setiap tahap pekerjaan logistik
selalu berkonsekuensi biaya yang tidak murah dan berbelit.
Lalu, minimnya infrastruktur, menambah lebih besar biaya
sebagai ongkos tambahan kepada pengguna jasa atau investor. Faktor
ketersediaan pelabuhan sangat kasat mata dilihat sebagai keterbelakangan
infrastruktur Indonesia. Hampir sangat muskil ditemukan pelabuhan atau
dermaga bertebaran di pantai Indonesia dengan kedalaman drought 9 meter
agar kapal ukuran feeder dapat sandar. Apalagi mengharapkan kapal ukuran
Panama (standar terusan Panama) yang membutuhkan drought minimal 21 meter. Bahkan
keberadaan jetty untuk sandar tongkang atau LST (landing ship tank) dengan
kedalaman drought 2-4 meter juga langka. Infrastruktur mahal seperti itu
hanya ada jika misalnya ada kepentingan investasi tertentu oleh korporasi
skala besar.
Fee BC menjadi salah satu yang tidak kalah kontribusinya
dalam menaikkan biaya logistik Indonesia. Biaya siluman dan fee tetap tidak
terpecahkan kendati pihak bea cukai menyanggahnya. Memang di kawasan
pelabuhan ada 17 instansi pemerintah yang berkepentingan dengan subyek
masalah masing-masing. Segala kepentingan tersebut bermuara akhirnya
bermuara pada petugas BC. Dengan demikian, BC menjadi tempat utama kambing
hitam dan keluhan atas pelayanan. Padahal, BC sebetulnya tidak diuntungkan
dengan semakin mahalnya biaya biaya gudang (demurrage) karena proses pabean yang berkepanjangan. Justru
yang diuntungkan adalah pihak ketiga yang notabene bukan gudang negara.
Persoalannya akan lain, jika misalnya petugas pabean kongkalikong untuk
motif keuntungan pribadi. Jadi, banyak yang perlu direformasi agar biaya
logistik Indonesia dalam tataran rasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar