Kamis, 21 November 2013

Menjaga Kewibawaan Mahkamah Konstitusi


Menjaga Kewibawaan Mahkamah Konstitusi
Marwan Mas  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45 Makassar
MEDIA INDONESIA,  20 November 2013



SATU kalimat pendek yang paling tepat dialamatkan ke pada Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu `miris dan menyedihkan'. Begitulah gambaran kondisi MK dan hakimnya saat ini yang pernah begitu sangat dihormati, tetapi saat ini dilecehkan, dicaci-maki, dan diamuk massa. Pelecehan terhadap MK begitu telanjang dipertontonkan saat sidang perselisihan hasil pemilihan umum kepada daerah (pemilu kada) Provinsi Maluku yang dimohonkan pasangan calon Herman Adrian Koedoeboen-Daud Sangadji (14/11).

Begitu Ketua MK Hamdan Zoelva selesai mengucapkan, “menolak permohonan keberatan pemohon“, puluhan orang warga pendukung salah satu pasangan calon langsung berteriak dan memprovokasi bahwa `MK maling'. Tentu saja, hal itu diikuti rekan-rekannya dalam bertindak anarkistis di ruang sidang (Media Indonesia, 15/11).

Insiden di ruang sidang MK sekaligus menunjukkan bahwa kredibilitas MK masih rendah setelah kasus suap menjerat mantan Ketua MK Akil Mochtar. Jika dulu MK dihormati karena putusannya saat menguji undang-undang terhadap UUD 1945 begitu progresif dan memiliki nilainilai keadilan lantaran melindungi hak konstitusional rakyat, kini hancur lebur akibat putusan perselisihan hasil pemilu kada. Hujatan dan pelecehan wibawa MK betul-betul sudah berada pada titik nadir.

Seharusnya ruang sidang pengadilan steril dari potensi kerusuhan dan kekerasan, meski sidang dinyatakan terbuka untuk umum. Tujuannya ialah agar para hakim bisa memeriksa perkara, memberikan pertimbangan, mencerna, dan menganalisis perkara dengan hati tenang dan pikiran jernih agar putusannya didasari hati nurani dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Karena itu, para perusuh harus diproses dan dijatuhi hukuman yang setimpal.

Jangan ada resistansi

Setidaknya ada dua aspek yang perlu dimaknai dari amuk massa l di ruang sidang hakim konstitusi yang sedang membacakan putusan. Pertama, bukan hanya pelecehan terhadap pengadilan (contempt of court), melainkan juga sebagai indikasi masih belum pulihnya kepercayaan sebagian masyarakat terhadap hakim konstitusi yang menangani perkara sengketa hasil pemilu kada. Ulah Akil Mochtar telah menghancurkan sembilan pilar j konstitusi yang menjadi pilar untuk menegakkan konstitusi.

Sengketa pemilu kada telah merobohkan MK yang selama ini begitu dibanggakan lantaran putusannya mampu menepis keraguan masyarakat, bahwa peradilan di negeri ini tidak ada yang steril dari mafia dan korupsi. Delapan hakim konstitusi j saat ini harus membangun kembali citra yang sudah rusak itu, terutama hakim konstitusi yang pernah satu panel dengan Akil. Ia harus mampu membuktikan bahwa dirinya bersih dari kasus suap dan korupsi dalam memeriksa dan memutus perkara. Sebab dari situlah awal keruntuhan kepercayaan publik.

Hakim konstitusi juga tidak boleh `resistansi terhadap pengawasan dari luar'. Maka itu, rencana MK untuk membentuk `Dewan Etik MK' bisa menjadi salah satu batu sandungan untuk memulihkan kepercayaan publik. Betapa tidak, dasar hukum pembentukan Dewan Etik sangat lemah, bahkan berseberangan dengan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2013 yang sebentar lagi akan diuji `objektivitasnya' di DPR.

Jika DPR menerimanya menjadi undang-undang, keberadaan Dewan Etik akan mubazir, bahkan akan berimplikasi terhadap proses penganggaran di MK untuk membiayai operasionalnya.

Kedua, amuk massa merupakan ancaman serius terhadap demokrasi langsung. Hampir semua elite politik di daerah tidak siap kalah dalam pemilu kada. Mereka hanya mau menang, padahal tidak mungkin semua pasangan menjadi kepala daerah karena hanya satu pasangan calon yang akan terpilih. Rumor tentang adanya jual-beli putusan MK seolah masih menghantui para perusuh saat putusan pemilu kada Provinsi Maluku dibacakan. Ini juga bisa dijadikan alasan untuk meninjau kembali demokrasi langsung di daerah dalam memilih kepala daerah.

Sekiranya ada yang belum percaya pada hakim konstitusi tidak berarti disikapi dengan aksi anarkistis. Memang sejumlah fasilitas persidangan dirusak oleh massa, tetapi kerusakan materi tidak seberapa substansial jika dibandingkan dengan hancurnya wibawa MK. Kita wajib menjaga MK sebagai lembaga negara yang akan menegakkan konstitusi, menegakkan hukum, dan keadilan. Pasalnya, di tangan hakim konstitusi yang menentukan arah demokrasi dan pemenuhan hak-hak konstitusional, warga negara, karena putusannya, bersifat final dan mengikat. Tidak ada upaya hukum untuk melawan putusan MK sehingga hakim perlu diberi ruang yang luas dan steril dari ancaman untuk memeriksa dan menjatuhkan putusan.

Ubah persepsi

Berperkara di MK setelah kasus Akil sepertinya serbasalah. Mengabulkan atau menolak permohonan sengketa pemilu kada akan selalu dicurigai. Ini disebabkan pandangan para pemohon, bahwa `biar saja kita kalah dalam perhitungan Komisi Pemilihan Umum (PKU daerah), tetapi nanti menang di MK'. Ini merupakan kontroversi terhebat di MK lantaran sudah tertanam dalam persepsi publik bahwa hakim konstitusi mampu mengubah `kebenaran demokrasi' menjadi `kebenaran hukum' dengan cara membatalkan keputusan KPU daerah.

Ini kejadian pertama di dunia, ruang sidang hakim konstitusi diobrakabrik oleh pihak yang berperkara akibat tidak percaya pada hakim. Mereka tidak takut lagi menghadapi ancaman tuduhan pelecehan terhadap lembaga peradilan. Persepsi ini harus diubah bahwa hakim konstitusi sebagai `wakil Tuhan' di dunia dalam memutuskan perkara tidak akan dipengaruhi uang dan berani melawan intervensi.

MK harus tetap menjadi sandaran terakhir bagi para pencari keadilan. Itulah sebabnya, hakim konstitusi diberi level tertentu yang `harus negarawan' karena tidak lagi memikirkan harta dan kekuasaan. Negarawan sejati selalu mendahulukan kepentingan rakyat dan memegang nilai-nilai keadilan dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan.

Ketua baru MK mengemban tugas berat untuk mengubah persepsi publik. MK harus dikembalikan pada posisinya seperti dulu yang `dihormati' karena putusannya menyentuh nilai-nilai keadilan saat memutus uji materi undang-undang. Itu yang harus disosialisasikan untuk meyakinkan masyarakat bahwa saat memeriksa dan memutus perkara pemilu kada akan dilakukan seperti saat memutus uji materi undang-undang. Memang ini tidak gampang seperti membalikkan telapak tangan, sebab boleh jadi akan membutuhkan waktu yang lama. Butuh tindakan darurat dan keseriusan untuk meletakkan kembali kepercayaan masyarakat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar